
Ledakan Rudal-Foto diambil dari Reuters
STRATEGIC ASSESSMENT. Serangan besar-besaran kelompok perlawanan Palestina; Hamas, yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa telah menewaskan lebih dari 700 orang di Israel. Lebih dari 100 orang lainnya diculik. Angka korban tewas di Israel itu dilaporkan Times of Israel dengan mengutip para pejabat setempat. Israel secara resmi mengumumkan keadaan perang pada hari Minggu. Jumlah korban tewas di pihak negara Yahudi itu diperkirakan akan terus bertambah karena korban luka mencapai ribuan, banyak di antaranya dalam kondisi serius. Kantor Pers Pemerintah, sebuah badan yang beroperasi di bawah Kantor Perdana Menteri Israel, mengatakan bahwa jumlah sandera di Gaza mencapai lebih dari 100 orang.
Hamas dan Jihad Islam sesumbar pada Minggu malam bahwa mereka menyandera sekitar 130 orang Israel, mengeklaim bahwa ini termasuk sandera tingkat pejabat tinggi militer. Operasi Badai al-Aqsa dimulai sejak Sabtu dengan tembakan ribuan roket ke berbagai wilayah di Israel. Hamas mengeklaim telah menembakkan 5.000 roket dalam 20 menit, namun Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mencatat ada lebih dari 2.000 roket yang menyerang negara Yahudi tersebut. Serangan ribuan roket itu gagal dicegat sistem pertahanan rudal Iron Dome, di mana banyak roket menghantam gedung dan instalasi militer Israel. Sesaat setelah serangan ribuan roket, ratusan milisi Hamas memasuki kota-kota di Israel selatan dan mengumbar banyak tembakan. Mereka juga menculik orang-orang yang diklaim sebagai tentara Zionis.
IDF sebelumnya mengatakan Israel telah diserang dari udara, darat, dan laut oleh Hamas. Sebagai respons, Israel telah meluncurkan Operasi Pedang Besi. Jet-jet tempur Zionis membombardir target-target di Gaza.
Ratusan orang mengikuti unjuk rasa mendukung Palestina di gedung Opera House Sydney dan Gedung Parlemen di Canberra disinari dengan cahaya berwarna bendera Israel, yakni biru dan putih, sebagai bentuk solidaritas Australia terhadap Israel.
Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan slogan-slogan seperti “Bebaskan Palestina”, sementara beberapa menyalakan flare.
Chris Mann, Premier atau kepala pemerintahan di negara bagian New South Wales mengutuk unjuk rasa tersebut, karena menanggapnya sebagi bentuk perayaan terhadap apa yang dialami oleh warga Israel. Laporan dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB menyebutkan sudah lebih dari 187.500 warga yang mengungsi di Gaza.
UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, menampung lebih dari 137.000 orang di sekolah-sekolah di Gaza.
Dunia cemas dengan pecahnya perang antara Israel-Palestina. Genderang perang resmi ditabuh usai Israel dihujani ribuan roket serangan Hamas pada Sabtu (7/10). Mengutip CNN, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah negaranya akan melakukan “balas dendam besar” atas serangan yang dilakukan pasukan Hamas. Ia juga bersiap untuk “perang yang panjang dan sulit”.
Pernyataan perang Israel disepakati kabinet hanya beberapa jam usai serangan Hamas. Ini adalah yang pertama kali dideklarasikan dalam 50 tahun terakhir sejak 1973, di mana kala itu terjadi Perang Yom Kippur. Perang Yom Kippur berlangsung pada 6 Oktober-26 Oktober 1973. Ini merupakan perang antara Israel dengan negara-negara Arab yang dipimpin oleh Suriah dan Mesir.
Hingga Minggu (8/10), setidaknya 700 orang di Israel tewas dan lebih dari 2.000 jiwa terluka akibat serangan Hamas. Sementara itu, 400 warga Palestina di Gaza tewas terkena serangan balasan Israel via udara yang menyasar wilayah padat penduduk.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai eskalasi Israel-Palestina menambah ketidakpastian ekonomi global. Apalagi, dunia belum benar-benar pulih dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina.
Yusuf yakin Indonesia tidak akan mengalami dampak langsung dari konflik tersebut. Akan tetapi, ia mewanti-wanti gejolak harga komoditas hingga perubahan harga pangan dunia.
“Untuk konflik Israel-Palestina sebenarnya yang dikhawatirkan adalah ketika ini tidak hanya melibatkan kedua negara tersebut, namun melibatkan negara-negara terutama di Timur Tengah yang beberapa di antaranya adalah negara produsen minyak,” kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com.
“Artinya ketika negara-negara ini (produsen minyak) terindikasi melibatkan diri pada konflik geopolitik antara Israel dan Palestina, maka ini saya kira bisa berpengaruh terhadap pergerakan harga komoditas minyak, berpotensi akan mengalami kenaikan,” imbuhnya.
Meski begitu, Yusuf melihat Indonesia masih punya peluang untuk bertahan di tengah panasnya konflik tersebut. Alasannya, Indonesia dianggap punya pasar domestik yang relatif besar.
Ia menyebut pasar domestik tidak terlalu terpengaruh terhadap kondisi perekonomian global secara langsung. Dengan begitu, perekonomian tanah air masih bisa bergerak atau cenderung aktif dibandingkan negara-negara yang ketergantungan dengan perekonomian global.
“Saya kira kalau konteksnya Indonesia, kita juga sudah melihat di beberapa periode krisis geopolitik sebelumnya dampak ke Indonesia itu sebenarnya tidak langsung dan relatif kecil. Sehingga saya kira menjaga kondisi pasar domestik merupakan hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk tetap kuat di tengah kedua gejolak,” jelasnya.
Yusuf pun berpesan agar Pemerintah Indonesia tidak jemawa dan terus berupaya meningkatkan perekonomian dalam negeri. Ia menyarankan beberapa sektor yang perlu digenjot, antara lain industri manufaktur.
Menurutnya, sektor ini adalah salah satu kue Indonesia yang perlu diperhatikan, terutama dalam urusan menjaga pertumbuhan ekonomi. Jika industri manufaktur bisa tetap terjaga di tengah gejolak, maka ekonomi Indonesia akan senantiasa tumbuh.
Ia meramal komponen perekonomian Indonesia juga akan berubah ke depan. Beberapa aspek yang bakal bereaksi terhadap konflik Israel-Palestina, antara lain ekspor, investasi, dan konsumsi masyarakat.
“Misalnya kalau kita bicara ekspor tentu harga dari komoditas global yang meningkat itu berpotensi juga akan ikut mempengaruhi kinerja dari ekspor. Namun, di saat bersamaan terjadi potensi kenaikan harga minyak sehingga nilai impor minyak juga berpengaruh,” tutur Yusuf.
“Sementara itu, investasi secara umum sebenarnya tidak akan terlalu berdampak langsung dari kondisi geopolitik. Konsumsi rumah tangga juga akan relatif sama. Artinya, keduanya akan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi dari perekonomian di dalam negeri,” sambungnya.
Ketegangan yang terjadi antara Israel dan Palestina memicu kenaikan harga minyak. Seperti diketahui ketegangan mendidih setelah kelompok militan Hamas melakukan penyerangan besar-besaran pada beberapa wilayah Israel secara tiba-tiba pada Sabtu kemarin.
Harga minyak telah melonjak lebih dari 4% pada Senin. Dilansir CNBC, patokan harga minyak global Brent ditutup 4,2% lebih tinggi pada US$ 88,15 per barel.
Senada, West Texas Intermediate (WTI) AS naik 4,3% menjadi US$ 86,38 per barel. Kenaikan harga ini menjadi yang terbesar sejak 3 April 2023 yang lalu. Analis meyakini kenaikan harga yang terjadi sifatnya hanya spontan dan mungkin bersifat sementara.
Konflik yang terjadi di Israel dan Palestina diyakini juga tidak secara langsung membahayakan sumber utama pasokan minyak. “Seperti yang telah ditunjukkan oleh sejarah, reaksi positif terhadap harga minyak cenderung bersifat sementara dan mudah dikalahkan oleh kekuatan pasar lainnya,” kata Vivek Dhar,Direktur Penelitian Pertambangan dan Energi Commonwealth Bank.
Dari dua negara yang berkonflik itu, tidak ada pihak yang merupakan pemain minyak utama. Israel memang memiliki dua fasilitas kilang minyak dengan kapasitas gabungan hampir 300.000 barel per hari, tapi menurut informasi Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat, negara itu hampir tidak memiliki produksi minyak mentah dan kondensat. Hal serupa juga terjadi pada wilayah Palestina yang tidak menghasilkan minyak.
Yang justru banyak dikhawatirkan adalah konflik tersebut terjadi di depan pintu wilayah penghasil dan ekspor minyak utama bagi konsumen global. Iran, yang dekat dengan dua negara itu dikenal menjadi negara yang kaya minyak dan menjadi perhatian utama pasar. Ada kekhawatiran konflik akan meluas ke wilayah tersebut.
“Ada juga risiko konflik meningkat secara regional. Jika Iran terlibat dalam hal ini, mungkin akan ada masalah pasokan, meskipun kita belum berada pada tahap itu,” kata Direktur Energi, Iklim, dan Sumber Daya Eurasia Group, Henning Gloystein.
Sementara itu, bila bicara jalur logistik, 40% ekspor minyak dunia melalui Selat Hormuz, Presiden Rapidan Energy Group Bob McNally memproyeksikan bila konflik meluas dan membuat Iran turun tangan dan ikut menghajar Israel sangat berpotensi menyebabkan kenaikan harga minyak US$ 5-10 per barel.
Selat Hormuz dianggap sebagai titik transit minyak terpenting di dunia, dan terletak di antara Oman dan Iran. Namun, bukan hanya Iran yang harus diwaspadai oleh investor, harga minyak mentah bisa naik jauh lebih tinggi jika ada keterlibatan kelompok militan Lebanon, Hizbullah.