STRATEGIC ASSESSMENT. Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian dengan entengnya mengatakan kalau harga beras mahal bisa memakan ubi, singkong atau makanan pokok non beras lainnya. Pendapat mantan Kapolri ini mendapatkan respons yang beragam.
Menurut Odie Hudiyanto, makan singkong adalah usulan dan alternatif. “Tidak ada paksaan. Jadi dikembalikan kepada rakyat,” kata Direktur Eksekutif SOLIDARITAS ini kepada Redaksi melalui jawaban WA, seraya menambahkan tugas pemerintahan adalah membuat stabilitas harga beras dan ketika harga beras mahal kewajiban pemerintah memberikan subsidi.
Sementara itu, di Pekanbaru, Riau, Amril Jambak mengatakan, ide pemerintah tidak populis. Soalnya, sebagai negara agraris, pemerintah harusnya mencari solusi menggairahkan pertanian padi, dengan berbagai banyak hal yang dilakukan.
“Tanaman lain selain padi, bukan jadi utama pengganti beras. Apakah pernyataan ini memperkuat pemerintah untuk terus melakukan impor beras,” kata aktifis dan pengamat sosial yang sering mengadakan diskusi ini.
Sedangkan, di Meulaboh, Aceh Barat, aktifis senior menilai sangat setuju dengan ide Mendagri, namun para pejabat negara saja yang makan ubi/singkong, termasuk semua aparatur negara. “Coba saja para pejabat makan ubi 3 hari saja bagaimana rasanya. Pejabat itu asal bunyi saja,” ujarnya ketus.
Sementara di tempat terpisah, Achmad Yakub menyatakan, niat baik ajakan Menteri Dalam Negeri kepada masyarakat untuk mengganti konsumsi beras ke sumber makanan non karbohidrat non beras seperti jagung, singkong, umbi-umbian, sagu, sorgum dan lainnya merupakan hal strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.
“Indonesia adalah negara dengan kekayaan karagaman hayati terbesar ke-3 setelah Brazil dan Colombia. Sejak lama upaya diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal diupayakan, bahkan sudah ada peraturan pemerintah (PP) Nomor 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganeka-ragaman Komsumsi Pangan,” ujar aktifis senior ini seraya menambahkan, perlu sosialisasi dan edukasi terus menerus kepada masyarakat secara massif, pendidikan konsumsi yang beragam, bergizi dan berimbang melalui jalur pendidikan formal dan non-formal secara berkelanjutan. Karena tidak serta merta mengubah selera lidah, perlu waktu membentuknya dan perlu juga pendekatan budaya, sosial dan antropologis.
“Mengingat sebenarnya kita punya pengalaman seperti masyarakat di Indonesia Timur seperti Papua, dulu juga tidak mengenal nasi. Setiap hari, mereka makan olahan sagu sebagai makanan pokok. Namun pada masa Orde Baru,dampak negative program ketahanan pangan berbasis beras salah satunya terpola secara sosial membuat kesan bahwa orang yang tidak makan nasi berarti miskin. Hal itu membuat orang-orang Papua yang sebelumnya makan sagu mulai beralih ke nasi, bahkan saat ini lebih banyak orang Papua yang setiap harinya makan nasi ketimbang makan sagu. Di tempat lain, misalnya di Wonosobo, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT), mulanya mereka juga tidak makan nasi sebagai makanan pokok, melainkan jagung,” ujar politisi PPP ini.
Menurut Achmad Yakub yang maju sebagai caleg dari Dapil Sumatera Selatan ini, substitusi dan diversifikasi pangan Nusantara layak untuk didukung dan disegerakan, karena banyak nilai manfaatnya misalnya sebagai contoh Indonesia dapat berhemat sekitar Rp. 32 triliun hingga Rp. 36 triliun per tahun bila dapat melaksanakan substitusi 60% hingga 70% tepung gandum dengan tepung mocaf.
“Untuk melaksanakan diversifikasi pangan perlu juga disiapkan pasar dan industry pangan olahan, produk santapan berbahan baku pangan lokal, misalnya mie serta roti dari tepung singkong, mesti lebih intens diperkenalkan ke publik. Kalau ini tersedia saya yakin petani dengan sendirinya akan giat menanam singkong, umbi-umbian lainnya karena bernilai ekonomi dan menyehatkan bagi konsumen, tentu penolakan akan surut dengan sendirinya,” ujar caleg PPP ini kepada Redaksi.