STRATEGIC ASSESSMENT. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) masih dalam proses untuk mengusut dugaan pelanggaran etik dalam putusan soal batas usia capres-cawapres. Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan ada 16 orang profesor yang telah mengajukan laporan pelanggaran ke hakim MK.
Ketua sekaligus anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyampaikan aduan terkait hakim MK semakin banyak yang masuk. Dia menegaskan MKMK hanya menangani persoalan etik hakim dan tidak bisa mengubah keputusan yang sudah diputuskan.
“Kita kan baru dilantik tiga hari, harus kerjanya cepat dan perkaranya yang melapor banyak sekali. Bahkan bertambah lagi, 3 lagi. Dari kemarin 14 sekarang jadi 17 (laporan). Tambah lagi ada 16 guru besar membuat laporan. Ini disediakan waktu cuma 30 hari, kami kan cuma 30 hari MKMK ini, dan kemudian berkaitan juga dengan pendaftaran calon,” kata Jimly.
“Karena di antara laporan itu ada permintaan untuk mengubah pencapresan sampai begitu, padahal kita ini hanya kode etik, hanya menegakkan kode etik hakim, bukan mengubah keputusan MK,” lanjutnya.
Jimly menuturkan persepsi yang muncul dari berbagai laporan yang masuk beragam. Dia mengatakan tak mudah untuk memproses hal tersebut hingga akhirnya diputuskan sidang dilakukan secara terbuka.
“Jadi persepsi publik dan juga tercermin di laporan itu macam-macam. Jadi kita harus luruskan. Dan tidak mudah karena menyangkut persepsi publik. Maka kami sudah ya bersepakat mengadakan persidangan terbuka. Itu tidak sesuai dengan aturan yang dibuat MK tapi kita bikin terbuka sepanjang menyangkut pelapor,” ujarnya.
Jimly mengatakan sidang akan tertutup saat memeriksa para hakim. Dia menuturkan banyak laporan tapi waktu MKMK terbatas.
“Nanti untuk memeriksa para hakimnya baru tertutup. Kita bikin begitu supaya bukan hanya memutus menyelesaikan perkara, tapi juga untuk komunikasi publik, meredakan kemarahan, kecewaan dan lain sebagainya. Banyaknya laporan waktunya pendek, dan ini pada orang emosi-emosi semua lagi ya kan, karena menyangkut pertarungan kekuasaan,” ucapnya.
“Permintaannya kayak begitu (sidang terbuka) tapi kan saya bilang saya buka kesepakatan untuk argumentasinya apa, karena yang mengajukan orang-orang ahli semua. Coba yakinkan kami lembaga penegak kode etik hakim ini bisa menilai putusan,” lanjutnya.
Jimly menyampaikan mempersilakan para pelapor memberikan argumen yang jelas mengenai MKMK boleh menilai putusan. Dia menilai, aduan terhadap para hakim merupakan persoalan serius.
“Kalau soal pribadi saya tentang putusan kan sejak sebelum diputus saya sudah ngomong. Tapi ini kan udah diputus MK. Apakah MKMK boleh menilai putusan. Siapa tahu kita bisa bikin terobosan, tapi argumennya apa, biar bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Saya minta para pelapor termasuk profesor coba meyakinkan kami bertiga. Jadi ini soal serius bukan soal tidak serius apalagi menyangkut pilpres yang mendapat perhatian publik,” imbuhnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode pertama Jimly Asshiddiqie telah dilantik menjadi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Jimly mengatakan rapat perdana MKMK akan digelar pada pertengahan pekan ini.
“Nanti saya mau usul dulu sama bertiga ini, bila perlu Rabu, kalau Rabu terlalu cepat, Kamis gitu,” kata Jimly kepada wartawan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.
Hari ini, Jimly dilantik menjadi anggota MKMK bersama akademisi Bintan Saragih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Jimly mengatakan waktu 30 hari sebenarnya cukup pendek untuk memproses 10 laporan yang masuk ke MKMK.
Dia mengatakan MKMK harus kerja cepat. Langkah pertama yang akan dilakukan, lanjutnya, ialah membahas cara kerja dan jadwal.
“Karena ini kan berdasarkan Peraturan MK yang baru yang baru direvisi ya, PMK terbaru. Nanti kita akan pelajari,” kata dia.
Jimly mengatakan dirinya ingin menggelar sidang secara terbuka karena pelaporan ini sudah banyak diketahui publik. Dalam persidangan akan diberikan kesempatan untuk menunjukkan bukti-bukti dari para pelapor hingga dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengumumkan tiga nama anggota Mahkamah Kehomatan MK. Mereka adalah Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan anggota Dewan Etik MK Bintan Saragih, dan hakim konstitusi paling senior Wahiduddin Adams. Dalam Pasal 27A Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, keanggotaan MKMK terdiri dari unsur tokoh masyarakat, akademisi, dan hakim aktif. Para anggota MKMK tersebut nantinya akan mengusut dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim terkait putusan yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka bisa maju pada Pilpres 2024.
Profil singkat ketiga anggota MKMK:
Jimly Asshiddiqie Dikutip dari laman resmi MK, Jimly merupakan Ketua MK periode 2003-2008 sebelum digantikan oleh Mahfud MD. Pria kelahiran Palembang 17 April 1956 ini sebelumnya menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia pada 1998. Harian Kompas 17 Agustus 2003 memberitakan, Jimly saat itu dicalonkan oleh pemerintah dan DPR RI. Penunjukan Jimly menjadi hakim MK pun tak mengherankan. Pasalnya, ia pernah menjadi tim ahli pemerintah untuk penyusunan RUU MK. Ia juga menjadi anggota tim ahli Badan Pekerja MPR yang turut menyumbangkan pemikiran untuk amandemen UUD 1945. Selepas menjadi Ketua MK, Jimly sempat menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017.
Bintan Saragih Bintan Saragih menjadi anggota MKMK yang berasal dari unsur akademisi. Diketahui, Bintan juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Etik MK periode 2017-2020 sebagai anggota Majelis Kehormatan. Ia memiliki latar belakang pendidikan sarjana di Universitas Indonesia dan meraih gelar doktor di bidang hukum tata negara di Universitas Padjajaran.
Wahiduddin Adams Wahiduddin Adams, kelahiran Palembang 17 Januari 1954 ini merupakan hakim konstitusi yang paling senior. Sebelum menjabat sebagai hakim konstitusi, Wahid sebenarnya sudah akan pensiun dari jabatannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Saat itu, ia sempat berencana akan mengisi masa pensiunnya menjadi dosen. Bahkan, surat keputusan (SK) PNS sudah dipindahkan menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, Wahid kemudian mengurungkan niatnya dan mengajukan diri menjadi hakim konstitusi. Ia pun sukses terpilih menjadi hakim konstitusi sejak 2014.