STRATEGIC ASSESSMENT. Dari tahun ke tahun, korupsi di Indonesia kian menunjukkan peningkatan; baik dari segi jumlah kasus, tersangka maupun potensi kerugian negaranya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah memaparkan capaian kinerja jajarannya di sepanjang tahun 2022. Dari hasil penanganan perkara korupsi yang ditangani, tercatat kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp 144,2 triliun (Merdeka.com, 7/01/2023).
Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, korupsi lahir dari banyak politisi yang dipilih lewat proses secara demokratis. Menurut dia, hal ini menjadi contoh bahwa demokrasi tak selalu mendukung lahirnya tata kelola yang baik.
Dia kemudian merinci penjelasan di atas dengan perjalanan demokrasi di Indonesia. Mula-mula, kata Mahfud, saat NKRI berdiri pada 1945 telah disepakati demokrasi sebagai sistem pemerintahan. “Ketika pemerintahan bermasalah, politik bermasalah, pilihannya selalu demokrasi. Pada 1945 tiba-tiba lahir demokrasi parlementer, demokrasi liberal dengan sistem parlementer. Pada 1959, karena demokrasi liberal bermasalah, lahir demokrasi terpimpin. Pada 1966 lahir demokrasi Pancasila,” ungkap Mahfud.
Kemudian, kata Mahfud, Reformasi 1998 melahirkan demokrasi agar tata kelola pemerintahan ini menjadi baik, terhindar dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Merujuk dari sejarah panjang tersebut, bangsa Indonesia selalu memilih demokrasi sebagai jalan keluar jika ada persoalan dalam pemerintahan (Kompas.com, 10/01/2023).
Faktanya, demokrasi pada era Reformasi malah makin subur dan menjadi-jadi. Transparency International Indonesia (TII), sebagaimana dikutip Detik.com, memaparkan hasil survei terkait korupsi di Indonesia. Survei dilakukan pada 15 Juni-24 Juli 2020. Hasilnya, TII mengatakan masyarakat menempatkan anggota legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Berikut urutannya: (1) Anggota Legislatif, 51%; (2) Pejabat Pemerintah Daerah, 48%; (3) Pejabat Pemerintahan, 45%; (4) Polisi, 33%; (5) Pebisnis, 25%; (6) Hakim/Pengadilan, 24%; (7) Presiden/Menteri, 20%; (8) LSM, 19%; (9) Bankir, 17%; (10) TNI, 8%; (11) Pemuka Agama, 7%.
Ini artinya, pilihan atas sistem demokrasi bukanlah jalan keluar dan solusi bagi aneka persoalan yang ada, terutama korupsi. Demokrasi—yang notabene lahir dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan)—justru menjadi biang atau akar segala persoalan yang ada, termasuk korupsi. Alhasil, selama demokrasi bercokol di negeri ini, korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.
Solusi Hakiki
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.
Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’ di awal. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.
Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi, antara lain: Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.
Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanâ’ah dengan pemberian Allah SWT, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih ridha Allah SWT. Karena itu mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan ‘izzul Islâm wal Muslimîn. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Teladan Rasulullah saw. dan Para Khalifah
Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Tidak ada yang meragukan keimanan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, Rasulullah saw. tetap menasihati dirinya. Bahkan ketika ia diutus ke Yaman dan sudah melakukan perjalanan, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil dia kembali. Ketika Muadz ra. kembali, beliau bersabda:
أَتَدْرِي لِمَ بَعَثْتُ إِلَيْكَ؟ لَا تُصِيبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُولٌ. وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القِيَامَةِ. لِهَذَا دَعَوْتُكَ، فَامْضِ لِعَمَلِكَ
Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusul dirimu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulûl, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu (QS Ali Imran [3]: 61). Karena inilah aku memanggil dirimu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu (HR at-Tirmidzi).
Selain itu adalah keteladanan. Rasulullah saw., walaupun memegang banyak harta negara, hidup sederhana. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata:
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia, Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya (HR at-Tirmidzi).
Setelah Rasulullah saw. pengganti beliau dalam urusan pemerintahan, yakni Khalifah Abu Bakar ra., hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari. Menjelang wafat, beliau berwasiat agar mengembalikan harta dari Baitul Mal itu jika ada kelebihannya.
Pengganti beliau, Khalifah Umar ra., juga hidup sederhana. Khalifah Umar ra. pernah meminta masukan kepada Salman al-Farisi. Apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Khalifah Umar mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada masyarakat yang menggunjingkan Umar yang sering mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan makan. Sejak saat itu Khalifah Umar tidak pernah makan dengan dua macam lauk.
Tidak hanya diri mereka sendiri yang bersih dari korupsi. Mereka juga menjaga agar kerabatnya tidak menggunakan jabatan ayah atau saudaranya untuk memperkaya diri mereka. Suatu ketika Khalifah Umar ra. melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta anaknya, beliau menyuruh anaknya untuk menjual unta tersebut. Modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada anaknya. Laba penjualannya dimasukkan ke dalam Baitul Mal kaum Muslim.
Pejabat juga dituntut untuk menjaga harta rakyat. Tidak boleh ada yang hilang atau tersia-sia. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Imam Ali ra. Khalifah Umar ra. menjawab, “Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat. Tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim.” (As-Samarqandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).
Jika Khalifah Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin Al-Ash (Ibn ’Abd Rabbih al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, 1/46–47).
Ini untuk kasus yang syubhat. Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, hukumannya adalah ta’zir. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati; bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.
Khatimah
Alhasil, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah. []
—*—
Hikmah:
Imam al-Ghazali rahimahulLâh berkata:
فَفَسَادُ الرَّعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ باِسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالْجَاهِ
Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357). []