
STRATEGIC ASSESSMENT. Sebelum Perang Tarif yang disaksikan seluruh dunia pada tahun 2025 ini, perang dagang 2018-2020 telah terjadi namun tidak secara vulgar terekspos, niscaya demikian hal itu menyebabkan perdagangan dunia turun 3% dan GDP global turun 0,8%.
Tarif 32% yang dikenakan pada impor dari Indonesia bukan angka kecil, sementara Tiongkok menghadapi situasi yang lebih parah dengan adanya balasan perang tarif akibat Transhipment yang digagasnya.
Hal ini telah menciptakan Ancaman Fragmentasi Ekonomi Global, Fragmentasi ini tidak hanya berdampak pada perubahan rantai pasok global, tata kelola ekonomi global tetapi juga pada pembentukan blok-blok ekonomi baru yang berpotensi mengisolasi negara-negara tertentu.
Terdapat 3 Sikap utama yang mungkin terjadi yaitu : Pertama, negara-negara melawan dominasi AS dengan membentuk blok ekonomi baru; atau Kedua, dunia ikut skenario AS dan semakin tunduk pada hegemoni Amerika Serikat. Ketiga, sikap Negara-negara yang mencoba bernegosiasi dan netral, lebih lunak dalam memposisikan diri.
Dinamika Geopolitik dan Posisi Indonesia di Indo-Pasifik
Persaingan strategis antara negara-negara major power tidak hanya termanifestasi dalam bentuk perang dagang, tetapi juga meningkatnya ketegangan di berbagai flashpoint global. Konflik yang masih berlangsung antara Rusia dan Ukraina, eskalasi situasi di Gaza dan Timur Tengah, serta memanasnya ketegangan di Laut Tiongkok Selatan menjadi catatan utama dalam dinamika Lingkungan strategis.
Sejak Peacefull Rise China 3 dekade lalu sukses membuka berbagai alternatif Bargaining position China dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi 8-10% maka China menjadi penantang hegemoni AS. Tata kelola perekonomian dunia perlahan berubah dan memiliki implikasi terhadap stabilitas regional dan global, apalagi dengan banyaknya kerja sama multilateral, KTT dan pertumbuhan ekonomi BRICS.
Salah satu flashpoint lingkungan strategis yang cukup rentan adalah Indo-Pasifik. Wilayah yang strategis ini berada di depan langsung Indonesia, dengan kekuatan militer yang sudah tergelar, dunia harus bersiap menghadapi skenario terburuk, yaitu pecahnya perang terbuka di sejumlah kawasan sebagai konsekuensi dari ketegangan ini.
Peran Indonesia Menghadapi Perang Tarif
Indonesia secara geopolitik berada di kawasan Indo Pasifik yang menjadi wilayah strategis. Sebagai kawasan sentral, Indo Pasifik merupakan episentrum pertumbuhan ekonomi, inovasi teknologi, dan diskursus isu-isu kawasan. Indonesia perlu mengambil peran strategis dalam mencegah konflik terbuka di kawasan.
Beberapa hal yang perlu dipersiapkan dan diperankan lebih kuat oleh Indonesia adalah :
✅Prioritas pertama dengan memperkuat struktur ekonomi domestik, menjaga daya beli masyarakat, serta menjaga stabilitas harga sehingga ketahanan ekonomi nasional terbangun.
✅ Berupaya menarik investasi untuk pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Kolaborasi dengan pengusaha lokal dan luar negeri.
✅Diversifikasi perdagangan dan Kemitraan strategis dengan berbagai multilateral.
✅Memperkuat ASEAN Economic Forum dan solidaritas negara ASEAN +
✅Diplomasi Adaptif dalam menanggapi Perang Tarif Trump
✅ Meningkatkan Trust Public di dalam negeri, kawasan dan global dengan muncul sebagai “middle power” dan memberikan solusi.
✅ Penguatan Intelijen Ekonomi untuk Deteksi Dini. Indonesia perlu memperkuat peran intelijen ekonomi dalam memantau dinamika global, mendeteksi dini ancaman dampak perang tarif, dan melindungi sektor strategis. Sinergi antara intelijen, pembuat kebijakan, dan pelaku usaha akan meningkatkan kesiapsiagaan nasional terhadap tekanan ekonomi eksternal.
✅ Inisiasi Platform Konsultatif Global Selatan.
Indonesia dapat memimpin pembentukan Global South Economic Dialogue Initiative sebagai forum konsultatif negara-negara berkembang untuk berbagi strategi menghadapi perang tarif dan memperkuat posisi tawar bersama di panggung global. Inisiatif ini mencerminkan kepemimpinan Indonesia sebagai middle power yang proaktif, kolaboratif, dan visioner dalam mendorong sistem ekonomi global yang lebih adil dan inklusif.
Tentunya bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk memposisikan diri sebagai pihak yang netral dan bersahabat, namun negosiasi-diplomasi dan kemitraan harus terus diupayakan.
Momentum krisis harus dapat mendorong transformasi ekonomi, percepatan digitalisasi, dan transisi menuju ekonomi hijau dan energi terbarukan.
Indonesia perlu aktif mengembangkan perdagangan di kawasan potensial seperti Eropa, Asia Selatan, Timur Tengah sebagai alternatif dari ketergantungan barang-barang yang berasal dari AS.
Strategi Pemerintah Indonesia membangun hubungan baik dengan timur tengah menunjukkan berbagai alternatif diplomasi untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Kunjungan Pemerintah ke berbagai negara juga mencerminkan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) yang berusaha memainkan peran penyeimbang di tengah persaingan kekuatan besar.
Indonesia perlu memperkuat ketahanan domestiknya sekaligus mengedepankan Solidaritas. Dalam pergaulan Indonesia diperlukan kolaborasi sebagai kunci dalam menghadapi tantangan global saat ini.
Indonesia, dengan posisi strategisnya di kawasan Indo-Pasifik, memiliki peluang dan tanggung jawab untuk berkontribusi pada stabilitas dan kemakmuran bersama. Indonesia harus dapat melihat peluang di situasi krisis dan kondisi genting sekalipun.
Negosiasi dan komunikasi yang disusun pemerintah untuk menyikapi Perang Tarif merupakan hal yang positif dan perlu didukung. Hal ini perlu diikuti pula dengan pembangunan fundamental baik sisi ketahanan ekonomi dalam negeri dan perbaikan berbagai infrastruktur ketahanan nasional.
Oleh karena itu, dalam menghadapi fragmentasi ekonomi global dan eskalasi ketegangan geopolitik, Indonesia tidak cukup hanya bertahan tetapi harus tampil sebagai middle power yang aktif membangun solusi, serta memperkuat intelijen ekonomi sebagai instrumen strategis untuk menjaga kepentingan nasional di tengah ketidakpastian global.
Dr.Stepi Anriani.,M.Si
Pengamat Intelijen dan Keamanan Nasional,
Dosen Analisis Intelijen di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN)