
STRATEGIC ASSESSMENT. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berhasil membuat gaduh dunia pekan lalu lewat penetapan tarif tinggi untuk setiap negara, termasuk Indonesia. RI akan dikenai tarif resiprokal atau timbal balik hingga 32% akibat besarnya defisit AS ke Indonesia.
Kebijakan tarif Trump memicu ketidakpastian global hingga saling serang perang dagang. Dampak yang dapat dirasakan rupiah diperkirakan akan besar mulai dari kaburnya investor asing di pasar keuangan Tanah Air hingga gejolak eksternal yang tinggi.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menilai kebijakan China membalas dengan tarif 34% atas impor barang AS merupakan kesalahan besar.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan dalam perang dagang tersebut, AS memiliki keunggulan besar dibandingkan China.
Scott mengatakan, harusnya Pemerintah China tidak melakukan langkah begitu cepat dengan membalas kebijakan AS. Melainkan dengan melakukan negosiasi.
Sejauh ini, katanya, Jepang berada di garis depan sebagai negara yang siap bernegosiasi, dan Gedung Putih mengharapkan banyak negara lain akan mengikuti.
“Saya pikir Anda akan melihat beberapa negara besar dengan defisit perdagangan yang besar segera maju. Jika mereka datang dengan proposal yang solid, saya pikir kita bisa mendapatkan kesepakatan yang bagus,” terang Bessent.
Ia juga mengatakan bahwa sekitar 70 negara telah menghubungi Gedung Putih untuk memulai pembicaraan, tetapi China bersikukuh akan “berjuang sampai akhir” dan telah memberlakukan tarif sebesar 34% terhadap produk-produk AS.
Sebagai balasan, Presiden Donald Trump menyatakan akan mengenakan tarif tambahan sebesar 50% terhadap impor dari China jika tarif itu tidak dicabut. Pada tahun 2024, AS mencatat defisit perdagangan hampir 300 miliar dolar dengan China, atau sekitar sepertiga dari total ketidakseimbangan perdagangan negara itu.
Melalui tarif ini, Trump berharap bisa membuka lebih banyak pasar bagi produk Amerika dan membawa kembali operasi manufaktur ke AS. Namun, pemerintahan ini tidak hanya fokus pada tarif murni dari negara lain, melainkan juga hambatan nontarif seperti manipulasi mata uang, pajak pertambahan nilai (VAT) di Eropa, dan metode lainnya yang menurut Gedung Putih merusak prinsip perdagangan yang adil.