
Kereta api-ilustrasi
STRATEGIC ASSESSMENT. Menanggapi adanya pendapat bahwa program mudik gratis yang diselenggarakan Kementerian Ketenagakerjaan bertentangan dengan Surat Edaran Menaker No. 6/2/PW.06/III/2025 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menilai bahwa interpretasi tersebut keliru dan berpotensi menyesatkan. SE Menaker memang melarang permintaan dalam bentuk THR atau sebutan lain yang ditujukan untuk kepentingan pribadi atau institusi negara. Namun dalam konteks program mudik ini, tidak ada transaksi atau permintaan dana kepada perusahaan untuk kepentingan pribadi maupun Kementerian. Justru yang terjadi adalah, perusahaan memberikan fasilitas kepada pekerja untuk mudik, dan Kemnaker memfasilitasi koordinasi pelaksanaan program tersebut.
“Apa yang terjadi adalah kolaborasi multi-pihak demi tujuan sosial, yaitu membantu pekerja agar bisa pulang kampung dengan aman dan tanpa biaya,” jelas Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz.
Riden melanjutkan, “Menyamakan program mudik gratis dengan gratifikasi adalah penyempitan makna yang berlebihan. Ini bukan permintaan dana untuk pejabat atau kementerian, tetapi dukungan perusahaan terhadap pekerja. Bahkan dalam banyak kasus, perusahaan sudah rutin menyelenggarakan mudik gratis tiap tahun. Jadi ini bukanlah sesuatu yang baru.”
Dengan demikian, program Mudik Gratis yang diselenggarakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI pada 27–28 Maret 2025 bukanlah bentuk gratifikasi, melainkan wujud kolaborasi sosial yang berpihak kepada buruh.
Riden menambahkan, justru pendekatan yang kolaboratif seperti ini harus didorong agar negara hadir bersama dunia usaha dalam memberikan perlindungan sosial non-upah bagi buruh. Program mudik gratis memberikan harapan, kemudahan, dan kebahagiaan bagi pekerja yang ingin merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung halaman.
FSPMI mengajak semua pihak untuk kembali ke semangat dasar dari kebijakan dan pelayanan publik, yaitu untuk memastikan kesejahteraan rakyat, terutama kaum pekerja. Jangan sampai interpretasi sempit atas aturan justru mengorbankan manfaat besar yang sudah dirasakan para pekerja dan keluarganya, mengingat program mudik gratis menjadi solusi penting bagi pekerja yang selama ini menghadapi kesulitan ekonomi untuk pulang ke kampung halaman dan merayakan Hari Raya bersama keluarga.
“Bagi buruh, mudik bukan sekadar tradisi. Ia adalah kebutuhan emosional dan sosial yang sangat bermakna. Banyak buruh harus menabung berbulan-bulan, bahkan berutang, hanya untuk membeli tiket pulang. Maka ketika ada program mudik gratis, itu adalah bentuk keberpihakan yang patut diapresiasi, bukan dicurigai,” ujar Riden.
“Kami menilai bahwa program ini bukan untuk kepentingan elite, tapi untuk rakyat pekerja. Yang dibantu adalah buruh, bukan pejabat. Karena itu, narasi soal gratifikasi sangat tidak relevan dalam konteks ini,” lanjutnya.
Negara dan dunia usaha sudah semestinya hadir memberi kemudahan, bukan malah ditarik ke dalam perdebatan yang mengaburkan niat baik.