STRATEGIC ASSESSMENT. Warisan ekonomi yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Kondisi moneter dan fiskal Indonesia saat ini sangat rapuh, di mana kenaikan harga komoditas seperti minyak, gas, dan kelapa sawit hanya menguntungkan segelintir pengusaha tambang dan perkebunan serta pemerintah. Sementara itu, masyarakat umum terus menderita akibat kenaikan pajak dan harga bahan bakar. Hal ini menciptakan ketidakadilan ekonomi yang signifikan di tengah masyarakat.Total utang pemerintah Indonesia telah mencapai Rp8.353 triliun. Peningkatan utang ini sebagian besar disebabkan oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri. Penerbitan SBN diperlukan untuk membiayai defisit anggaran yang semakin membengkak akibat berbagai kebutuhan, termasuk penanganan pandemi COVID-19 yang memerlukan alokasi anggaran yang besar. Pandemi ini menimbulkan krisis kesehatan yang berimbas pada ekonomi, menyebabkan pemerintah harus meningkatkan belanja untuk bantuan sosial, kesehatan, dan stimulus ekonomi.
Pada tahun 2024, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 hingga 5,7 persen. Pertumbuhan ini diharapkan didorong oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah ketidakstabilan fiskal dan moneter serta kebutuhan untuk menyeimbangkan anggaran negara yang terus-menerus defisit. Ketidakstabilan ini terutama disebabkan oleh kebijakan fiskal yang dinilai kurang efektif dalam mengelola utang dan pengeluaran negara.Kenaikan utang yang terus meningkat menambah beban pada anggaran negara. Pembayaran bunga utang yang besar mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk belanja produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selain itu, ketergantungan pada utang luar negeri juga meningkatkan risiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan suku bunga global, yang dapat memperburuk kondisi ekonomi jika tidak dikelola dengan baik.
Kondisi ekonomi Indonesia yang rentan terhadap krisis disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran negara menyebabkan defisit anggaran yang terus-menerus. Kedua, kebijakan fiskal yang kurang efektif dalam mengelola sumber daya dan belanja negara membuat pemerintah sulit untuk mencapai kestabilan ekonomi yang diharapkan. Ketiga, beban utang yang terus meningkat membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan investasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.Selain itu, ketidakstabilan politik dan sosial juga dapat mempengaruhi kondisi ekonomi. Kebijakan yang tidak konsisten dan sering berubah, serta ketidakpastian politik, dapat menurunkan kepercayaan investor dan menghambat masuknya investasi asing. Hal ini penting untuk diperhatikan karena investasi asing memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengelola utang dan anggaran dengan lebih efektif. Salah satunya adalah dengan meningkatkan efisiensi belanja negara dan mengoptimalkan pendapatan dari sektor-sektor yang memiliki potensi besar namun belum tergarap dengan maksimal. Reformasi struktural dalam bidang perpajakan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan basis pajak dan mengurangi ketergantungan pada utang.Secara keseluruhan, meskipun pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang cukup optimis, kondisi ekonomi Indonesia tetap rentan terhadap krisis. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih efektif serta upaya untuk menyeimbangkan anggaran negara menjadi kunci untuk mencapai kestabilan ekonomi jangka panjang. Pemerintah harus bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga manfaat dari pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
*) Disampaikan dalam Diskusi Publik dengan tema “Warisan Ekonomi di Akhir Masa Jabatan Jokowi (Gelombang PHK, Krisis Nilai Tukar dan Daya Beli Menurun)” yang diselenggarakan oileh Forum Insan Cita.