STRATEGIC ASSESSMENT. Pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih tinggi dibandingkan periode Joko Widodo (Jokowi). Kondisi ini menandai kemampuan daya beli masyarakat yang lebih tinggi. Namun, laju inflasi di era SBY juga sangat tinggi dibandingkan era Jokowi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era SBY mencapai 5,74% dan konsumsi rumah tangga menyentuh 4,75%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi mencapai 4,09% sementara konsumsi rumah tangga tumbuh 3,75%.
Perlu dicatat jika ekonomi Indonesia mengalami resesi pada 2020 setelah Covid-19 menghantam dunia. Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pada kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.
Tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga menandai membaiknya kemampuan spending atau belanja masyarakat.
Konsumsi rumah tangga Indonesia secara historis biasanya tumbuh 5%. Namun, pertumbuhan tersebut mulai jatuh ke bawah 5% pada 2017. Melandainya konsumsi rumah tangga pada 2017 bahkan menjadi perdebatan panas karena dianggap sebagai bukti nyata pelemahan daya beli.
BPS secara khusus menulis laporan tersebut dalam Analisis Isu Terkini 2017. BPS menggunakan konsumsi riil untuk membedah daya beli. Sepanjang 2014-2017 memang terlihat adanya peningkatan meskipun dengan pertumbuhan yang relatif stabil antara 3,5-4,0% pada setiap kuartal.
Perbandingan dengan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi per kapita antar kuartal cenderung melemah. Pertumbuhan konsumsi riil pada kuartal I-2014 masih tercatat 5,23% tetapi angkanya terus turun hingga mencapai 4,93% pada kuartal III-2017.
Inflasi Era SBY dan Jokowi
Satu perbedaan besar dari era SBY dan Jokowi adalah inflasi. Laju inflasi terbilang sangat tinggi di era SBY yakni mencapai 7,11% pada era SBY sementara pada era Jokowi hanya 3,61%.
Inflasi bahkan sempat menembus 11,06% pada Desember 2008 setelah Presiden SBY menaikkan harga BBM subsidi.
Inflasi sepanjang tahun yang tercatat di era Jokowi adalah 8,36% pada 2014 di mana Jokowi tidak memerintah secara penuh.
Inflasi berperan penting dalam menopang daya beli. Melandainya inflasi menandai semakin murahnya harga barang sehingga makin banyak barang yang diharapkan bisa terbeli. Inflasi yang rendah akan menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Namun, inflasi yang rendah juga bisa mencerminkan ambruknya permintaan. Kondisi ini terjadi pada 2020 di mana inflasi hanya mencapai 1,68% dan menjadi yang terendah dalam sejarah.
Inflasi anjlok karena daya beli melemah setelah ekonomi hancur lebur akibat pandemi Covid-19.
Inflasi secara umum disebabkan oleh dua hal yakni naiknya permintaan (demand pull inflation) atau naiknya harga (cost push inflation).
Demand pull inflation biasanya terjadi karena permintaan yang datang lebih tinggi dibandingkan pasokan yang tersedia. Penyebabnya beragam termasuk membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, cost push inflation lebih disebabkan oleh kenaikan produksi atau kebijakan pemerintah seperti harga BBM subsidi. Selain inflasi, pendapatan juga akan berdampak besar terhadap daya beli. Semakin tinggi tingkat pendapatan semakin kuat juga daya beli. Bagi mereka yang pendapatan tetap maka kemampuan daya beli akan merosot jika terjadi kenaikan harga yang terus menerus atau inflasi yang terus meningkat.
Besarnya pendapatan per kapita atau rata-rata semua penduduk bisa menjadi salah satu cara mengukur kemampuan daya beli.
Data BPS menunjukkan pendapatan per kapita Indonesia melonjak 236,9% di era SBY dari Rp 9,3 juta pada 2004 menjadi Rp 31,34 juta pada 2014. Pendapatan per kapita di era Jokowi meningkat 47% menjadi Rp 46,1 juta pada 201.
Rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita di era SBY mencapai 13,1% sementara di era Jokowi sebesar 5,72%. Dengan melihat perbandingan di atas, SBY masih unggul dari sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga serta pendapatan per kapita. Namun, Jokowi menang dari sisi penanganan inflasi inflasi.
Secara data, daya beli masyarakat akan lebih baik di era SBY dibandingkan era Jokowi. Sebagai perbandingan lain adalah kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Dalam catatan CNBC Indonesia, UMP tidak pernah naik double digit sejak 2017.
Padahal, pada era SBY, UMP hampir selalu naik di atas 10%. Pada 2013, misalnya, UMP naik 19,1% sementara pada 2014 sebesar 17,44%.
Primadona industri pengolahan alias manufaktur di Indonesia kian memudar setiap tahunnya. Meski masih menjadi motor utama perekonomian, kinerjanya terus lesu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2022 pertumbuhan ekonomi secara kumulatif mencapai 5,31%. Berdasarkan lapangan usahanya, produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan mencapai Rp 3.591,77 triliun dengan laju pertumbuhan 4,89%.
Kinerja industri pengolahan pada 2022 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19 atau 2019 yang tumbuh 3,8%. Industri pengolahan selalu menempati ranking pertama dalam nilai PDB. Namun, andil industri pengolahan terhadap PDB terus menyusut.
“Pertumbuhan industri pengolahan sejak 2012 selalu di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pangsa industri pengolahan terhadap ekonomi nasional juga terus menurun dari tahun ke tahun,” ungkap BPS dalam dokumen yang diterima CNBC Indonesia, dikutip Rabu (7/6/2023). Sepanjang 2022, kontribusi industri pengolahan sebesar 18,34%, padahal pada 2019 mencapai 19,7%.
Secara rinci pangsa industri pengolahan terhadap ekonomi nasional pada 2019 mencapai 19,7%, naik tipis pada 2020 menjadi 19,87%, namun turun pada 2021 menjadi 19,24% dan pada 2022 pangsa industri pengolahan terhadap ekonomi nasional hanya mencapai 18,34%.
Berdasarkan pengeluarannya, data BPS menunjukkan, komponen pembentukan modal tetap bruto sepanjang 2022 tumbuh 3,33% secara kumulatif. Pertumbuhan PMTB pada 2022 tersebut lambat dibandingkan dengan kinerja pada 2019 yang mencapai 4,08%. Komponen ini terdiri dari pertumbuhan barang modal bukan bangunan serta kenaikan realisasi investasi.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengungkapkan, pelemahan industri manufaktur di Indonesia disebabkan oleh perusahaan asing yang tidak lagi masuk ke industri manufaktur berbasis ekspor, sehingga menyebabkan repatriasi profit perusahaan asing sangat besar. Faisal mengutip data Bank Dunia dalam World Development Indicators, kontribusi ekspor barang manufaktur Indonesia pada 2021 sebesar 44,9%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kontribusi ekspor manufaktur negara berpendapatan menengah atas yang sebesar 81,5%.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia pun masih kalah. Sebut saja Malaysia yang kontribusi ekspor manufakturnya 68,1%, Filipina 79,7%, Vietnam 86,4%, Korea Selatan 89,6%, dan China sebesar 93,6%.
“Struktur manufaktur yang lemah, membuat produk outputnya menjadi terbatas untuk dikirim ke luar negeri (ekspor). Kita makin bergantung dengan ekspor komoditas,” jelas Faisal dalam suatu diskusi publik pada awal 2023.
Di samping itu, kata Faisal industri manufaktur Indonesia yang kurang beragam. Kebanyakan adalah industri makanan dan minuman serta industri kimia dan obat-obatan. “Industri manufaktur kita melambat, karena sangat bergantung pada segelintir subsektor saja. Jadi, pondasinya lemah,” tuturnya.
Masalah ini, tentu tidak boleh dipandang sebelah mata, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5%, kenyataannya sektor yang paling fundamental terhadap struktur ekonomi nasional justru sedang mengalami pelambatan. Pemerintah sadar sepenuhnya, pertumbuhan sektor manufaktur nasional secara umum selalu berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi secara agregat.
Hal tersebut dijelaskan pemerintah di dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2024. “Pasca krisis ekonomi (Asian Financial Crisis/AFC) di tahun 1997-1998, pertumbuhan sektor manufaktur nasional secara umum berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi secara agregat,” tulis pemerintah, dikutip Rabu (7/6/2023). Pemerintah bahkan mengakui bahwa sektor manufaktur relatif stagnan dan bahkan melemah dalam menopang perekonomian nasional.
Di sisi lain, pertumbuhan investasi di Indonesia juga turut melambat, terutama pasca periode commodty boom pada 2010-2012. Pemerintah mencatat, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) nasional pada periode 2014-2019 sebesar 6,5 jauh di bawah tahun 1990-1996 yang mencapai 4,3. Kedua komponen perekonomian tersebut memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, serta mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan layak.
“Dorongan kepada revitalisasi industri dan peningkatan investasi menjadi sangat kritikal untuk mengembalikan laju perekonomian Indonesia kembali ke lintasan pra pandemi atau bahkan lebih kuat,” jelas pemerintah. Pengelolaan kekayaan negara (aset) merupakansalah satu representasi fungsi Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara(BUN). Total aset negara berada dalam tren yang meningkat sejak Era presiden Susilo Bambang Yudohoyono (SB) hingga presiden Jokowi.
Kenaikan aset ini salah satunya ditopang oleh peningkatan investasi jangka panjang yang dilakukan hingga saat ini. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) begini perkembangan total aset negara kita. Berdasarkan grafik di atas bisa dilihat total aset terus tumbuh dari tahun ke tahun. Sepanjang pemerintahan SBY (2004-2013) pertumbuhan paling besar terjadi pada tahun 2007 dengan pertumbuhan 31,17% dari tahun sebelumnya.
Sepanjang Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari tahun 2015, total aset negara juga terus mengalami kenaikan. Lonjakan total aset paling signifikan terjadi pada tahun 2019 dengan kenaikan mencapai 65.49% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kemudian, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan mencatat, nilaiaset negaramencapai Rp 11.098,6 triliun pada 2020.
Sebagai informasi, adapun aset pemerintah ini terdiri dari Barang Milik Negara (BMN) seperti aset lancar, tetap yakni tanah dan bangunan serta aset lainnya. Juga aset non BMN seperti investasi, kas hingga piutang.
Melihat peran penting aset negara dalam pelayanan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, sudah selayaknya aset negara dimaksimalkan penggunaan dan pemanfaatannya.
Dalam terminologi pengelolaan aset pemerintah, terdapat 2 (dua) istilah yaitu penggunaan dan pemanfaatan aset. Penggunaan aset digunakan dalam pengelolaan aset untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintah (www.cnbc.com)