sTRATEGIC ASSESSMENT. Selama 10 tahun wahyu keprabon menaungi PDIP. Presiden Jokowi membuat wahyu keprabon betah di atas kandang Banteng. PDIP hendak mempertahankan wahyu tersebut, tapi ia telah pergi.
Jokowi mendapatkan wahyu keprabon dengan susah payah. Sebagai nubuat Prabu Brawijaya V yang muksa di Gunung Lawu, ia akan muncul 500 tahun lagi setelah menghilang untuk menyerahkan wahyu keprabon kepada penerusnya. Sebagai Damarwulan–pencari rumput di kandang Banteng–tentu Jokowi bukan trah darah biru. Tanpa memiliki wahyu keprabon tentu ia tidak dapat menjadi presiden. Lewat laku yang keras maka Jokowi mendapatkan wahyu keprabon warisan Prabu Brawijaya V. Inilah mengapa aura Jokowi begitu kuat dan tak bisa digoyang.
Ada kepercayaan yang telah lama dikenal oleh masyarakat, yaitu wahyu keprabon atau “ndaru” atau lintang kemukus. Nenek moyang kita tidak melihat hasil survei untuk mengetahui siapa yang bakal berkuasa. Mereka hanya melihat ke mana arah wahyu keprabon jatuh ketika dini hari. Kepercayaan semacam ini masih bertahan. Survei hanya untuk elit-elit politik sementara rakyat menunggu turunnya wahyu keprabon untuk menentukan pilihan.
Permadi pernah mengatakan wahyu keprabon yang dimiliki Gus Dur tersimpan pada cincinnya. Kita tidak tahu di mana letak wahyu keprabon Jokowi. Sejarawan Onghokham pernah menulis artikel berjudul “Wahyu yang Hilang, Keraton yang Guncang”. Ia menguraikan goncangnya keraton Mataram akibat hilangnya wahyu keprabon. Setiap perpindahan kekuasaan ditandai dengan perpindahan wahyu keprabon. Dan tanda-tanda kepindahan itu ditunjukkan dengan goncangnya istana. Saat ini tanda-tanda itu sudah mulai muncul.
Tanda kegoncangan terlihat di istana Banteng. Penyebab kegoncangan adalah sepak bola. Ini cocok dengan bentuk wahyu keprabon yang berbentuk bola api. PDIP sepertinya meremehkan sepak bola. Mereka menganggap sepak bola merupakan hiburan semata. Padahal inilah olah raga yang digemari rakyat jelata/kaum marhaen.
Sebagaimana ramalan Jayabaya, kita memasuki zaman kaliyuga, zaman yang sulit. Hantaman ekonomi akibat pandemi membuat hidup rakyat serba sulit. Saat-saat seperti ini sepak bola merupakan pelipur lara bagi rakyat jelata. Kita bisa melihat sendiri gelaran Piala Dunia 2022 di Qatar. Argentina yang memenangkan gelaran Piala Dunia bisa mengobati derita rakyatnya yang sedang terkena krisis. Jutaan rakyat Argentina menyambut kemenangan tersebut dengan tumpah ruah di jalanan. Bila saja Lione Messi mencalonkan diri menjadi presiden, pasti akan terpilih karena ia telah dianggap sebagai pahlawan bahkan santo bagi rakyat Argentina.
Semangat solidaritas penggemar sepak bola tidak bisa dipandang sepele. Kita mengenal bagaimana solidaritas Bonex, Viking, Aremania, Jack Mania dan lain-lain dalam mendukung tim sepak bola kesayangan mereka. Militansi mereka begitu kuat sehingga ke manapun tim kesayangan mereka bertanding akan didukung. Dan ketika tim nasional bertanding, mereka akan bersatu demi merah putih. Kalah menang mereka akan mendukung tim nasional, bangga mengobarkan semangat nasionalisme.
Siapakah para penggemar bola? Mereka adalah orang-orang biasa, buruh pabrik, kaum miskin perkotaan dan tak sedikit pengangguran. Lewat sepak bola mereka menunjukkan eksitensi sebagai bagian dari kaum yang tak beruntung. Maka tak mengherankan kalau solidaritas mereka begitu kuat. Semua ini tak dilihat oleh PDIP.
Geger geden gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U 20 dan gagalnya timnas U 20 tampil, menjadi titik balik dalam perpolitikan Indonesia. Nasionalisme klebinger PDIP telah menjegal mereka sendiri. Ideologi usang Bung Karno mereka angkat kembali, sementara situasi dunia sudah banyak berubah. Dan rakyat jelata tidak peduli semua itu. Mereka hanya ingin melihat tim nasional bertanding di Piala Dunia U 20. Mereka hanya ingin meneriakkan kata Indonesia hingga menggetarkan dinding stadion.
Hilangnya wahyu keprabon di atas kandang Banteng juga berimbas pada Ganjar Pranowo. Ini menunjukkan bahwa kehadiran wahyu keprabon tidak bisa dipaksa. Ganjar Pranowo yang dalam berbagai survei menempati posisi teratas, jatuh gara-gara kesandung bola. Citranya runtuh karena dianggap sebagai salah satu pengganjal kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah dan gagalnya tim nasional U20 berlaga di ajang internasional. Lebih parah lagi, Ganjar dianggap sebagai Brutus yang menusuk Jokowi dari belakang. Tak salah pernyataan M. Qodari bahwa Ganjar telah menjadi anti tesa Jokowi. Tentu saja pendukung setia Jokowi akan berpaling ke figur lain. Sepertinya Kepala BIN, Budi Gunawan, sudah tahu sebelum kejadian sehingga sempat menyatakan bahwa aura Jokowi berpindah ke Prabowo.
Sebagaimana disampaikan Burhanudin Muhtahdi dalam surveinya, mayoritas pendukung PDIP dan Ganjar menghendaki kehadiran tim sepak bola Israel bertanding. Sementara PDIP dan Ganjar justru mengkhianati harapan mereka. Sampai saat ini, baik PDIP maupun Ganjar masih jumawa. Tidak ada permintaan maaf mereka kepada rakyat. Arus balik itu memang tak terbendung lagi. Sejarah telah berbelok sendiri.
Bila wahyu keprabon biasanya hilang ditandai intrik-intrik politik, kali ini hilang karena sepak bola. Ia telah pergi dari kandang Banteng.
Lantas kemana perginya wahyu keprabon? Sebagai partai baru, PSI mempelopori sebuah gagasan nasionalisme yang modern, bukan nasionalisme usang. Sebagai partai yang digawangi anak muda, PSI melihat geliat zaman. Ia berdiri tegak lurus mendukung Presiden Jokowi. Sejak awal PSI berpendirian sama dengan Jokowi: memisahkan olahraga dengan politik. Sikap PSI seirama juga dengan sikap Gibran, satu-satunya pejabat daerah yang menerima kedatangan timnas Israel. Pendirian seperti ini langsung mengerek popularitas Gibran. Dengan fenomena seperti itu, tentu popularitas PSI juga akan ikut naik.
Ada nubuat Ronggowarsito, bahwa di zaman edan hanya orang waras dan hati-hatilah yang akan selamat dari terjangan prahara. PSI telah mengambil sikap yang tepat dengan tidak ikut-ikutan edan. Mereka berhasil memahami gejolak rakyat sehingga tidak ikut-ikutan para pengumbar nasionalisme keblinger.
Pemilih kita rata-rata adalah pemilih yang diam tetapi menandai. Diam-diam mereka akan menandai partai atau tokoh yang telah mengecewakan mereka. Hilangnya wahyu keprabon dari kandang Banteng merupakan kesempatan bagi partai nasionalis seperti PSI untuk menampung arus balik. Giring Ganesa dan kawan-kawan harus terus-menerus menyampaikan sikap bahwa mereka berada di sisi rakyat.
Mengapa PSI bisa menerima limpahan wahyu keprabon yang telah pergi dari kandang Banteng? Kemunculan PSI berada pada waktu yang tepat. Disebutkan dalam Kitab Musasar, Jayabaya menyatakan bahwa kemunculan pemimpin baru (dalam hal ini setelah Jokowi) akan ditandai dengan prahara meletusnya gunung tertinggi di Jawa, yaitu Gunung Semeru.
Dari letusan Gunung Semeru tersebut akan muncul mawar merah yang segar. Seperti yang kita ketahui, Gunung Semeru telah mengalami erupsi besar. Ajaibnya, di antara bekas kawasan yang dilalui erupai dan terjangan abu vulkanik, ditemukan sekuntum mawar merah yang segar seolah-olah tidak tersentuh akibat letusan. Bunga mawar merah itu ditemukan Gubernur Jawa Timur, Khofifah.
Lewat akun istagramnya, Khofifah menuliskan:
“Bunga mawar ini saya temukan di dusun Curah Kobokan Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang saat meninjau dampak APG Gunung Semeru. Merah merona dan Cantik. Padahal, wilayah tersebut habis disapu awan panas guguran.”
Sebagaimana ramalan Jayabaya, bunga mawar yang merona merah merekah itu merupakan simbol dari kebangkitan hidup. Dan kita tahu, simbol PSI adalah mawar merah dengan sokoguru kaum muda yang masih bergelora gairah hidupnya. Tanda-tanda alam tersebut bisa jadi pertanda PSI akan mendapat limpahan wahyu keprabon. Kita tunggu.
*) Penulis adalah Alumnus Fakultas Filsafat UGM