STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Sejumlah proyek pembangunan jalan tol di Indonesia masih menyisakan polemik di tengah masyarakat, bahkan setelah jalan tol tersebut resmi beroperasi. Mayoritas di antaranya terjerat oleh permasalahan pembebasan lahan.
Pembebasan lahan merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam realisasi fisik pembangunan jalan tol. Penyelesaian tahapan ini menjadi tantangan baru dalam pengerjaan proyek, bahkan bisa berakibat pada tertundanya penyelesaian proyek. Namun di beberapa jalan tol yang telah beroperasi seperti Tol Cimanggis-Cibitung segmen Jatikarya dan Tol Semarang-Demak seksi 2, aksi unjuk rasa masih digelar oleh warga. Mereka menuntut uang ganti rugi dari pembebasan lahan tol tersebut.
Pengamat infrastruktur dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, setiap proyek memiliki permasalahan lahan yang beragam. Umumnya, salah satu penyebab dari belum selesainya permasalahan pembebasan lahan pada jalan tol yang sudah beroperasi ialah warga yang tidak sepakat dengan nilai ganti rugi yang ditawarkan.
“Bukan belum dibayarkan atau uangnya belum ada. Biasanya terkait nilai aset tanahnya, kesepakatan nilainya mungkin nggak cocok dengan masyarakat. Ujung-ujungnya yang terjadi deadlock. Rata-rata itu kasus yang sering terjadi. Sementara pembangunan jalan tol tidak boleh ditunda-tunda,” kata Yayat saat dihubungi detikcom.
Yayat mengatakan, menurut ketentuan undang-undang operator dapat menitipkan uang ganti rugi tersebut ke pengadilan negeri setempat apabila pemilik lahan tidak sepakat dengan jumlah ganti rugi yang ditawarkan atau disebut juga konsinyasi. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Sudah dikasi konsinyasi, uang dititip ke pengadilan tapi mereka tidak setuju. Akhirnya mereka tidak menerima uang tersebut dan bilang belum dapat uang ganti ruginya. Mungkin uangnya sudah ditetapkan dan dititipkan, kalau menunggu permasalahan selesai, tidak akan selesai itu jalan tolnya,” terangnya
Tidak hanya ketidaksepakatan nilai, akar masalah lainnya bisa saja disebabkan lantaran tanahnya sengketa. Dalam hal ini menurutnya permasalahan lebih kepada kepemilikan dari tanah tersebut.
“Bisa saja ada ahli waris yang tidak pas. Di antara ahli waris ada yang tidak sepakat. Ada ahli waris yang menerima atas nama tanah, tergantung kasus per kasus,” imbuhnya.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Toll Road Watch (ITRW) Deddy Herlambang mengatakan, persoalan yang menyangkut tanah warga memang sulit untuk diselesaikan. Hal ini jugalah yang kerap membuat pembangunan jalan tol jadi terhambat sehingga mundur dari target penyelesaian.
“Memang masalah lambatnya pembangunan jalan tol adalah pembebasan lahan karena lahannya kebanyakan status tanah girik sehingga kesepakatan antar warga dan keluarganya berubah-ubah harga per m2-nya, sehingga mengganggu equitas financial investornya atau BUJT-nya,” kata Deddy saat dihubungi terpisah.
Adapun yang dimaksud tanah girik ini merupakan status tanah yang konversi haknya belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Persoalan harga tanah yang berubah-ubah ini dapat mempengaruhi equitas dari Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) kurang dimata perbankan. Apabila dukungan finansial dari perbankan berkurang, maka akan mengakibatkan pembayaran lahan ke warga terganggu sehingga pengadaan lahan semakin lama diproses.
“Untuk menjadi BUJT minimum mempunyai equitas 30%, sisanya dapat diperbolehkan pinjaman dari perbankan. Apabila harga tanah berubah-ubah tentunya equitas BUJT kurang,” imbuhnya.
Deddy mengatakan, masalah pengadaan lahan yang berkaitan dengan warga memang terbilang cukup sulit untuk ditangani, namun di sisi lain juga bisa berdampak besar bagi sebuah proyek. Ia pun mencontohkan salah satunya yaitu pada proyek Double-Double Track (DDT) Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan.
“Contoh proyek DDT DJKA. Sudah dibayar lunas bisa batal kontraknya karena ahli waris meninggal, lalu ada ahli waris lain merasa berhak bisa menggugat ke pengadilan dan menang. Jadi masalah tanah rumit tidak hanya domain Kementerian PUPR namun BPN dan Pengadilan juga,” terangnya.
Sebagai tambahan informasi, persoalan ganti rugi tanah yang dipergunakan sebagai tol ini sempat mendapat perhatian Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Dalam momentum peresmian Tol Semarang-Demak Seksi 2 Sayung-Demak pada pekan lalu, Jokowi menemukan sejumlah masyarakat yang demo menuntut kepastian uang ganti rugi dari pembebasan lahan tol tersebut (Red/berbagai sumber).