STRATEGIC ASSESSMENT. Shijia Gao dan Dongming Xu dalam bukunya yang berjudul “Conseptual Modeling and Development of an Intelligence Agent Assisted Decision Support System for Anti Money Laundering” (2007) mengatakan, pembuatan atau pengembangan model dalam rangka mengantisipasi praktik pencucian uang (money laundering), dimana Gao dan Xu menamakan model mereka sebagai Anti Money Laundering System (AMLS). Dalam penelitiannya tentang AMILS ini, Gao dan Xu berangkat dari hasil temuan H. A Simon (1997) yang dikenal dengan proses pembuatan kebijakan sebagai kerangka kerja model pembuatan kebijakan anti money laundering.
Yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering adalah proses illegal atau kriminal atau “uang kotor” yang diperoleh dari sejumlah aktifitas illegal antara lain penjualan Narkoba, penjualan manusia, insider trading, penyuapan, pencurian atau tidak membayar pajak.
Praktik pencucian umum pada dasarnya melalui tiga tahap yaitu penempatan (placement) yaitu uang kotor tersebut ditransfer ke nomor rekening tertentu yang legal berdasarkan sistem keuangan, sehingga tidak termonitor aparat yang berwenang,layering atau pencairan atau pengiriman uang kotor tersebut dilakukan dengan banyak tahap dan melibatkan banyak orang/pihak sehingga tidak terdeteksi serta integrase yaitu uang kotor yang tidak terlacak tersebut digunakan untuk membiayai bisnis ekonomi atau membeli aset.
Terkait dengan praktik money laundering tersebut, maka sejak tahun 1989 kelompok negara maju yang tergabung dalam G-7 membentuk lembaga sebagai “watchdog” praktik money laundering yang dinamakan the Financial Acion Task Force (FATF).
Dalam penelitiannya, Gao dan Xu menggunakan model yang diperkenalkan oleh HA Simon yang memiliki 4 fase yaitu intelijen, bentuk/design, pilihan dan review/tinjauan ulang. Menurut Simon, dalam fase intelijen dicari informasi terkait dengan pencucian uang dan potensi terjadinya pencucian uang, setelah itu dibentuk design yaitu sebuah sistem yang secara otomatis mengidentifikasi bentuk-bentuk pencucian uang yang mencurigakan ataupun peristiwa terjadinya pencucian uang. Kemudian dalam fase memilih, akan membantu petugas investigasi membuat kebijakan atau langkah terkait tingkah laku pencucian uang, sedangkan dalam tahap review maka sistem anti money laundering membantu petugas untuk melakukan evaluasi dan mengubah keputusan sebelumnya.
Disamping model yang diperkenalkan Simon, juga dalam rangka mengantisipasi pencucian uang juga dikenal model intelligence agent (IA) dan multi agent systems (MAS) oleh Franklin dan Graesser serta Jennings, yang pada intinya menekankan pentingnya teknologi dalam rangka memerangi perubahan, tidak terstruktur dan kompleksnya bentuk pencucian yang.
Dalam sistem arsitekturnya, Gao dan Xu memperkenalkan skema dalam rangka memonitor praktik potensial pencucian uang dengan basis melalui hubungan antar klien dan dari transaksi ke transaksi dengan program yang disebut dengan “Know your costumer” dengan dua tipe yaitu agen yang mengawasi atau membuat profil klien serta agen yang memonitor transaksi keuangan.
Dalam “The Client Profile Monitoring Agent” akan diperoleh klasifikasi klien yang berisiko, frekuensi terjadinya money laundering dan intensitas pengawasan, karena sebelumnya dilakukan screening daftar nama, negara yang paling dicurigai, jaringan dan sumber keuangan, hubungan bisnis dan afiliasi politik. Sedangkan dalam “The Transaction Monitoring Agent” akan ditemukan rekening bermasalah, frekuensi perubahan rekening, hubungan rekening yang tersembunyi dll. Dari hasil temuan-temuan tersebut, kemudian diklasifikasi risikonya yang dibagi dalam 3 kategori yaitu risiko pelanggan, risiko geografi dan risiko produk atau transaksi.
Secara garis besar, model atau sistem yang dikenalkan Gao dan Xu dapat digambarkan yaitu sistem operasi intelijen menghadapi praktik pencucian yang diawali dengan pengumpulan data (data atau profil klien, permintaan transaksi, sejarah transaksi dll), kemudian dilakukan monitoring yang hasilnya ditulis dalam “risk report”, behavior/diagnose hasilnya dikenal dengan risk assessment report, kemudian reporting agent melaporkan tentang aktivitas-aktivitas yang mencurigakan kepada user untuk dibuat kebijakan mengantisipasi pencucian uang.
Untuk di Indonesia, dalam rangka mengantisipasi money laundering juga telah diperkuat dengan beberapa instrument hukum nasional seperti UU Nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, UU Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, dimana dalam pasal 2 ayat 2 UU ini menyebutkan bahwa harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana, Peraturan BI Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah di Indonesia serta Peraturan BI Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum tanggal 1 Juli 2009.
*) Pemerhati masalah intelijen. Tinggal di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.