STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sudah ditegaskan, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam kaitan dengan itu, sudah tidak perlu diragukan lagi, bahwa listrik adalah cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara.
Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas, harus kita maknai dalam kerangka konstitusi. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada ketentuan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi No 001-021-0211/PUU-I/2002 terkait dengan pengujian UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Disebutkan di sana, bahwa penguasaan negara dalam kacamata konstitusi haruslah berada dalam 5 dimensi: kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.
Ketika kita bicara bagaimana listrik bisa dinikmati rakyat Indonesia, ada beberapa tahapan yang harus dilewati, yaitu mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi, hingga retail atau penjualan. Oleh karena itu, penguasaan negara harus mencakup semua tahapan tersebut. Tetapi sayangnya, saat ini telah terjadi privatisasi, karena tahapan tersebut diserahkan ke pihak swasta. Terutama di pembangkitan dan retail.
Seharusnya di semua tahapan tersebut dikuasai oleh negara melalui perusahaan BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero) yang diberi mandat berdasarkan undang-undang untuk mengelola sektor ketenagalistrikan. Dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada perusahaan swasta yang pada akhirnya menyebabkan diskriminasi dan pelanggaran terhadap hubungan kerja serta tingkat kesejahteraan terhadap Tenaga Alih Daya (TAD). Dalam jangka panjang, privatisasi akan berdampak pada mahalnya tarif listrik yang merugikan masyarakat luas.
Swastanisasi sektor ketenagalistrikan bukan saja pelanggaran terhadap konstitusi, tetapi juga menyebabkan ketidakpastian terhadap status hubungan kerja, menurunnya kesejahteraan para buruh, dan perlindungan K3 yang bekerja di sektor ketenagalistrikan. Khususnya mereka yang bekerja sebagai Tenaga Alih Daya (TAD) di pelayanan handal (YANDAL) yang dulunya bernama Pelayanan Teknik (YANTEK); seperti Penanganan Gangguan Alat Pengukur & Pembatas (APP), Penanganan Gangguan Sambungan Rumah (SR), Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Rendah (JTR), Penanganan Gangguan Gardu Distribusi, Penanganan Gangguan Jaringan Tegangan Menengah (JTM), hingga Penanganan Gangguan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bermaksud melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Pusat PT PLN (Persero) pada hari Senin, tanggal 7 November 2022 dengan mengusung 7 (tujuh) tuntutan berikut:
1. Tolak privatisasi di sektor ketenagalistrikan
2. Tolak Penurunan Upah Pekerja/Tenaga Alih Daya (TAD)
3. Tolak Perubahan Status Hubungan Kerja
4. Tolak Jenis Pekerjaan Berdasarkan Volume Based dan Pola Kemitraan
5. Tolak Dana Talangan Pelanggan PLN
6. Stop Kecelakan Kerja di Lingkungan Kerja PLN
7. Angkat TAD Menjadi Pekerja Tetap di PLN
Jakarta, 2 November 2022
Riden Hatam Aziz, Presiden FSPMI
Abdul Bais, Ketua Umum Pimpinan Pusat SPEE FSPMI