STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Korupsi di Tanah Air bukannya mati, tetapi justru makin menjadi-jadi. Prihatinnya lagi, korupsi justru dilakukan oleh aparat penegak hukum. Baru-baru ini KPK menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap jual-beli putusan di Mahkamah Agung. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya; termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara dan pihak swasta.
Hakim Agung Sudrajad Dimyati bukan penegak hukum pertama yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya ada Jaksa Pinangki. Ia terlibat dalam suap dan gratifikasi dalam kasus Djoko Tjandra, pelaku skandal Bank Bali. Pada awal tahun 2022, KPK juga menangkap Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Pasalnya, ia menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah.
Penangkapan para aparat penegak hukum, terutama hakim agung, tentu mempermalukan lembaga peradilan. Penangkapan mereka sekaligus menjatuhkan kepercayaan publik pada penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, hakim dipandang sebagai ‘wakil tuhan di dunia’. Kalau ‘wakil tuhan’-nya korup dan rakus, bagaimana hukum ditegakkan?
Keadilan Tumbang
Masyarakat sudah capek melihat tindak kejahatan korupsi tiada henti di negeri ini. Korupsi sudah seperti kanker stadium tinggi. Korupsi menjerat hampir semua lini. Apalagi ternyata korupsi justru melibatkan aparat penegak hukum. Berdasarkan data KPK, ada 34 koruptor yang merupakan aparat penegak hukum.
Korupsi juga seperti lingkaran setan. Pasalnya, korupsi melibatkan banyak pihak di dalam berbagai instansi pemerintah dan penegak hukum. Karena itu ada peluang mereka saling menutupi kebusukan sesama kolega. Sampai hari ini rakyat masih menunggu kelanjutan dugaan adanya aliran judi online di kepolisian. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana sebesar Rp 155 triliun dari aktivitas perjudian online yang diduga mengalir ke oknum anggota kepolisian.
Sebelumnya, seorang perwira polisi di Polda Sumatra Selatan mengaku setiap bulan harus memberikan setoran kepada atasannya yang menjabat Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumsel. Jumlahnya sebesar Rp 500 juta setiap bulan. Ia sendiri menjadi terdakwa kasus dugaan penerimaan suap atau fee Rp 10 miliar yang diduga bersumber dari Dinas PUPR Kabar Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.
KPK, yang jadi ujung tombak pemberantasan korupsi, juga tidak bersih dari pelanggaran. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terlibat dalam sejumlah pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran tindak pidana. Namun, ia lolos dari jerat hukum. Ia hanya mendapat sanksi kode etik, lalu mengundurkan diri.
Jika aparat penegak hukum terlibat korupsi, suap dan menerima gratifikasi, maka keadilan dan penegakan hukum sudah tentu dipertanyakan. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan sepanjang tahun 2020 rerata sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi terlalu ringan. Hanya 4 tahun. Pemerintah juga royal memberikan remisi alias pemotongan masa tahanan terhadap terpidana korupsi. Pada bulan September ini saja ada 23 terpidana korupsi yang bebas bersyarat. Khusus Jaksa Pinangki, ia mendapatkan diskon masa tahanan hingga 60%. Pemerintah beralasan bahwa hal itu adalah amanat undang-undang.
Peradilan juga tidak aman dari intervensi politik. Sering hukum berlaku tumpul kepada mereka yang bersama rezim, tetapi tajam kepada kelompok yang berseberangan.
Islam Tegakkan Keadilan
Dalam Islam, kedudukan hakim amatlah penting. Ia diperintahkan Allah SWT untuk berlaku adil dengan menerapkan syariah-Nya dalam peradilan. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Selanjutnya Rasulullah saw. menjelaskan sekaligus memperingatkan para hakim tentang kedudukan mereka kelak di akhirat. Sabda beliau:
«اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ اِثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ»
Sungguh hakim itu ada tiga golongan; dua di neraka dan satu di surga: (1) hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan perkara dengan ilmunya, maka ia berada di surga; (2) hakim yang memberikan putusan kepada manusia atas dasar kebodohan, maka ia di neraka; (3) hakim yang berlaku curang saat memberikan putusan, maka ia di neraka (HR Ibnu Majah).
Nabi saw. juga bersabda:
«مَنْ وَلِيَ الْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ»
Siapa saja yang menjabat sebagai hakim, sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau (HR Abu Dawud).
Imam as-Sindi rahimahulLaah menjelaskan tentang makna ‘dia disembelih tanpa menggunakan pisau’, “Artinya, dia disembelih dengan penyembelihan yang berat, karena penyembelihan dengan pisau lebih mudah bagi hewan sembelihan; berbeda jika tanpa pisau.”
Karena itulah Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “Mestinya hari-hari seorang hakim itu hanya terbagi dua. Sehari di pengadilan dan sehari lagi ia habiskan untuk menangisi dirinya.”
Karena itu pula di mata generasi salafush-shalih jabatan hakim adalah jabatan yang berat. Banyak para ulama dulu yang menghindar bahkan menolak jabatan tersebut. Ayyub as-Sukhtiyani berkata, “Sungguh saya mendapati orang yang paling berilmu itu adalah orang yang paling kencang berlari menghindar dari jabatan (hakim) itu.”
Untuk itu Islam memberikan sejumlah solusi dalam peradilan agar tidak menjadi masalah. Pertama: Jabatan hakim hanya diisi oleh orang-orang alim dan benar-benar bertakwa. Sebuah musibah jika hakim dijabat oleh orang yang jahil dan rakus kekuasaan. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berkata, “Siapa saja yang mengurus urusan kaum Muslim, kemudian dia menyerahkan urusannya itu kepada seseorang karena kecintaan atau kekerabatan di antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.”
Kedua: Hakim hanya mengadili dengan menggunakan hukum Islam, bukan dengan hukum yang lain. Hukum Islam adalah hukum Allah SWT. Inilah satu-satunya hukum yang menjamin keadilan bagi umat manusia. Bebas dari intervensi manusia dan tidak bisa ditafsirkan sesuai hawa nafsu. Dosa besar jika hakim menjatuhkan vonis hukuman dengan hukum buatan manusia. Allah SWT berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu keberatan apapun atas putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Hukum buatan manusia sering berisi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan kekuasaan dan uang. Hanya mereka yang berkuasa dan berduit yang bisa mendapatkan keadilan. Akibatnya, justru orang-orang zalim yang sering dimenangkan di pengadilan. Padahal Nabi saw. telah mengingatkan:
«مَنْ أَعَانَ عَلَى خُصُومَةٍ بِظُلْمٍ أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ لَمْ يَزَلْ فِي سَخَطِ اللهِ حَتَّى يَنْزِعَ»
Siapa saja yang membela perlawanan (terhadap kebenaran) secara zalim atau membela kezaliman, maka dia selalu berada dalam kemarahan Allah hingga dicabut nyawanya (HR Ibnu Majah).
Ketiga: Hakim diwajibkan menerapkan hukum secara adil sesuai ketetapan syariah. Peradilan Islam tidak mengenal banding, apalagi remisi. Nabi saw. pernah marah kepada Usamah bin Zaid ra. karena mencoba membatalkan vonis hukum potong tangan bagi seorang perempuan bangsawan yang mencuri. Beliau bersabda:
«أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Apakah kamu hendak memberi keringanan dalam hukum dari hukum-hukum Allah?” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah. Lalu bersabda “Wahai sekalian manusia, sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak menghukum). Sebaliknya, jika orang-orang yang rendah dari mereka mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Muslim).
Keempat: Khalifah sebagai kepala negara juga akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para hakim, sebagaimana terhadap pejabat negara lainnya. Jika ditemukan penambahan harta yang tak wajar, Negara akan menyitanya sebagai milik Baitul Mal. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi dimasukkan ke Baitul Mal (Syahiid al-Mihraab, hlm. 284).
Jelas sudah, hanya Islam solusi tepat menangani gurita korupsi khususnya di lembaga peradilan. Islam adalah satu-satunya jalan terbaik untuk mendatangkan keadilan untuk semua golongan.[]
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50). []