STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Partai Buruh dan Serikat Buruh menyesalkan ketidakhadiran Dewan Perwalilan Rakyat (DPR) RI dalam sidang lanjutan judicial review UU PPP yang digelar hari ini, Rabu (24/8). Menurut Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin, ketidakhadiran DPR mencerminkan bahwa lembaga ini tidak menjunjung tinggi supremasi hukum.
“Ketika diundang Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keterangan, harusnya datang. Sebagai bentuk tanggungjawab publik kepada masyarakat,” kata Said Salahudin.
“Karena mereka lah yang membentuk undang-undang itu,” tegasnya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, sudah menjadi keharusan bagi DPR untuk memberikan keterangan kepada pemohon dan masyarakat bagaimana proses pembentukan UU PPP. Sehingga menjadi terang benderang apakah pembentukan undangg-undang itu sudah sesuai prosedur hukum.
“Atas ketidakhadilan DPR, kami meminta kepada Mahkamah agar tidak perlu lagi mendengarkan keterangan dari DPR. Sebab mereka sudah diberikan kesempatan, tetapi tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan dengan baik,” kata Said Salahudin.
Sementara itu, terkait dengan keterangan pemerintah, Said Salahudin menilai, pernyataan pemerintah yang mengatakan pemohon tidak memiliki legal standing, tidak dijelaskan dengan argumentasi, Tidak kuatnya legal standing pemohon di bagian mana. Seolah pemerintah hanya asal menolak tanpa ada argumentasi apapun.
Terpisah, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan bahwa UU PPP “ikonstitusional”. Undang-undang ini dibuat bukan karena adanya kebutuhan hukum, tetapi karena akal-akalan hukum. Untuk memuluskan pembahasan kembali omnibus law UU Cipta Kerja.
“Kami sebagai kaum buruh tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan UU PPP. Padahal kita tahu, muara dari pembentukan undang-undang ini sebagai pintu masuk untuk melegalkan omnibus law,” tegas Said Iqbal.
Menurut Iqbal, omnibus law merugikan kaum buruh karena di sana mengatur outsourcing seumur hidup tanpa batasan pekerjaaan, tidak ada periode kontrak sehingga buruh bisa dikontrak berulangkali, upah murah yang menyebabkan daya beli rendah, PHK dipermudah, nilai pesangon dikurangi, dan jam kerja fleksibel.