STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Banyak rekan-rekan pengacara dari marga Hutabarat dan Simanjuntak se Jakarta ketika ditawarkan membela kasus Brigadir J semuanya takut karena berhubungan dengan Polri, walaupun akhirnya dengan perjuangan keras ada sebanyak 8 orang pengacara yang siap membela almarhum Brigadir J.
Demikian dikemukakan Kamaruddin Simanjuntak dalam seminar bertema “Selamatkan NKRI dari mafia di tubuh Polri” yang diadakan FKN TV, FNP (Front Nasional Pancasila) dan TP3 (Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan) di Jakarta (24/8/2022) seraya menambahkan, akibat membela Brigadir J, saya juga diserang oleh buzzer-buzzer, namun dalam kunjungan ke Jambi untuk mencari fakta banyak juga ibu-ibu yang memeluk dan menyanjung Kamaruddin Simanjuntak.
“Kita mendapatkan 11 saksi juga tidak mudah, karena perlu mendoktrin mereka dengan menyakinkan kita bukan melawan negara tapi menceritakan kebenaran,” ujar pengacara muda ini menceritakan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, namun semuanya dihadapi dengan tegar dan berani.
Menurutnya, banyak keterangan saksi saat pemeriksaan tidak ditulis lengkap oleh Penyidik Polri dalam BAI untuk dapat ditulis di BAP, termasuk bukti pengamatan visum Brigadir J yang dilakukan dokter yang ditugaskan tim pengacara Brigadir J ditolak petugas Polri.
“Kami membela Brigadir J karena kami menilai masyarakat rindu Polri yang humanis, dekat dengan rakyat. Pejabat Polri tidak boleh mendapatkan suap dari mafia. Mafia yang terkena Red Notice juga masih mudah keluar masuk ke Indonesia, juga merupakan indikasi adanya mafia di tubuh Polri.
Menurut Kamaruddin Simanjuntak, dari hasil observasinya dalam tubuh Polri ada tiga kelompok yaitu tutup rapat-rapat kasus Brigadir J, kelompok yang ingin kasus ini dibuka seterang-terangnya dan kelompok yang ingin mengkambing hitamkan Brigadir J. Banyak Penyidik sebenarnya ketakutan dalam menangani kasus Brigadir J, bahkan ada bintang 3 yang ketakutan.
Sementara itu, Irma Hutabarat mengatakan, sangat tragis kematian Brigadir J di mata orang Batak tidak disadari oleh Ferdy Sambo, karena Brigadir J mati sebelum meninggal, sehingga putus nilai marganya atau dalam budaya Batak dikenal dengan “mati ponggol”.
Menurut aktifis senior ini, kasus Ferdy Sambo adalah organized crimes, karena terlihat dari 97 oknum Polri yang diperiksa dalam kasus pembunuhan Brigadir J ini. “Kalau impunitas terjadi dalam kasus Ferdy Sambo, maka citra polisi akan hancur,” tegas Irma Hutabarat yang pernah menjadi wartawan Metro TV ini.
Sedangkan, pembicara lainnya, Letjen Purn Marinir Suharto mengatakan, yang kita takutkan sekarang ini adalah oligarki kepolisian yang sudah memberikan tawar menawar dengan pemerintah, apalagi kekuatan Jokowi ada di tangan Polri semenjak Polri menerapkan democratic policing, sehingga banyak pejabat tinggi Polri yang masuk menjadi pejabat di sejumlah kementerian dan lembaga.
“Kekuatan-kekuatan terselubung dalam Polri juga harus diselesaikan, hal ini mengacu kepada Mahfud MD bahwa “dalam Mabes Polri, ada Mabes Polri”. Presiden sebenarnya memberikan peluang Polri menjadi super body yang didukung DPR RI,” ujar mantan Irjen Departemen Pertahanan ini.
Saat ini, ujar purnawirawan jenderal bintang tig aini, Polri dapat mengerjakan semua pekerjaan kecuali tugas pokoknya, buktinya kesulitan menyelesaikan kasus Brigadir J dan tidak menindaklanjuti kasus pembunuhan laskar FPI di Km 50.
Dr. Heru Susetyo N mengatakan, kekayaan Ferdy Sambo patut dipertanyakan dengan gaji dan tunjangannya yang hanya Irjen Pol, karena tidak akan lebih dari Rp 50 juta namun memiliki banyak rumah dan mobil-mobil yang mewah.
“Kasus Brigadir J menginspirasi penyelesaian kasus-kasus lainnya yang belum selesai seperti kasus Km 50 dll, karena banyak penyimpangan penegakkan hukum. Kasus Brigadir J menjadi “pintu masuk” kesetaraan penindakan kasus-kasus yang melibatkan aparat hukum,” ujar aktifis Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM, red).
Sedangkan pembicara terakhir Dr. Anton Permana Simioni mengatakan, saya dipenjara karena mengkritisi Polisi dengan membuat videonya. Selama di penjara, juga masih “dikerjain” oleh polisi.
“Kita mengkritisi polisi karena mencintai polisi. Kejadian di Indonesia yang banyak salah, karena adanya kesalahan sistem. Sejak penerapan democratic policing oleh Tito Karnavian membuat posisi polisi menjadi garda utama, dan ini menyalahi UUD-1945 dan tidak heran jika 44 jabatan negara dipegang oleh petinggi Polri. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan sistematis dengan indikator kewenangan polisi yang sangat luas termasuk adanya Satgassus, dan kita berterima kasih dengan adanya kasus Brigadir J yang membuka semuanya,” ujar alumni Lemhanas ini.
Menurut Anton, Satgassus mungkin hanya dibubarkan secara administrative, namun masih kuat di lapangan, sehingga Satgassus juga harus diusut dan harus dikawal agar tidak menjadi preseden buruk.
Sebagai informasi seminar dengan moderator Rahma Sarita ini juga disiarkan melalui link youtube yaitu Mimbartube, Salwa Media Channel, Realita TV, Babeh Aldo Aje 135, FNN/Forum News Network TV, Youtuber Pejuang, Oligarki, People Power, Ibrahim aji channel, Ahmad Yani Channel, USM Channel dan https://www.youtube.com/watch?v=LtdLyIJBA70.