STRATEGIC ASSESSMENT. Potret dunia saat ini tidak setampan yang dibayangkan, karena masih diwarnai kondisi perekonomian global belum sepenuhnya bangkit akibat pandemi Covid-19, langsung diperburuk dengan adanya perang, kebijakan lockdown di China, gangguan rantai pasokan, krisis energi dan krisis pangan dan stagflasi telah memukul pertumbuhan ekonomi. Ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat perang Ukraina dan Rusia, memang menjadi salah satu sebab inflasi tinggi di berbagai negara. Gangguan rantai pasok akibat aksi saling balas sanksi antara Dunia Barat dan Rusia membuat distribusi beberapa komoditas utama dunia menjadi terganggu, yang berakibat kelangkaan di satu sisi dan kenaikan tajam harga komoditas di sisi lain.
Prediksi atas potret dunia saat ini dari sisi ekonomi yang belum membaik diprediksi sejumlah lembaga ekonomi global seperti disampaikan Presiden Bank Dunia, David Malpass (7/6/2022) melalui laman internet Bank Dunia. Menurut IMF, ada sejumlah tantangan yang wajib diwaspadai diantisipasi oleh negara-negara di dunia agar tidak terjun dalam jurang resesi ekonomi global, misalnya perang antara Rusia dan Ukraina serta pengetatan kebijakan moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve System) atau The Fed.
Sementara itu, Juru bicara IMF Gerry Rice (9/6/2022) mengatakan, IMF akan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini. Pemangkasan dilakukan setelah pada April lalu lembaga tersebut memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen. Pemangkasan dilakukan di tengah berlanjutnya kemerosotan kondisi ekonomi global. Salah satu kemerosotan dipicu oleh perang yang berkecamuk antara Rusia dengan Ukraina, dan lonjakan inflasi di sejumlah negara. Selain itu, kemerosotan juga dipicu oleh perlambatan ekonomi China sebagai akibat dari lockdown yang diberlakukan negara tersebut demi menekan penyebaran Covid. IMF memperingatkan Amerika Serikat menghadapi kembalinya stagflasi yang pernah mereka alami pada 1970-an. Staglasi mereka khawatirkan bisa menekan pertumbuhan ekonomi, mendongkrak angka pengangguran dan harga barang.
Lembaga lainnya yang memprediksi potret dunia akan berpotensi menuju resesi global yang sebelumnya akan terjadi stagflasi dan shrinkflation disampaikan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Konfederasi Industri Inggris (CBI), Badan Bea Cukai Korea Selatan dan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat, Bahkan IMF dan Bank Dunia memproyeksikan sedikitnya 60 negara akan ambruk akibat resesi global.
Selain masih buruknya perekonomian global, hal lainnya yang membuat situasi akan semakin sulit adalah potensi terjadinya krisis energi (energy crisis) dan krisis pangan (food crisis).
Krisis energi dan krisis pangan
Presiden Vladimir Putin mengatakan kepicikan para politisi Eropalah yang memicu krisis energi, bukan Rusia. Rusia siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis pangan global. Putin menilai klaim politisi Barat, masalah di pasar makanan global dimulai selama pandemi COVID-19, jauh sebelum Rusia memulai operasi militer khusus di Ukraina. Putin mencirikan keputusan negara-negara Barat untuk memberikan sanksi kepada produsen pupuk Rusia sebagai kebijakan picik, bodoh, dan keliru yang mengarah kepada jalan buntu.
Untuk energi, Rusia mencatat bahwa negara-negara Barat melebih-lebihkan kemungkinan sumber energi alternatif, dan kebijakan “berpandangan pendek” Brussels berada di balik krisis harga saat ini. Putin menepis klaim bahwa Rusia diduga berusaha memblokir ekspor biji-bijian Ukraina, menyebut tuduhan itu sebagai “gertakan” dan menunjukkan bahwa cara termurah untuk mengekspor biji-bijian Ukraina sebenarnya adalah mengirimnya melalui Belarusia, tetapi ini akan memerlukan pencabutan sanksi terhadap Minsk. “Kiev juga masih memiliki akses untuk mengirimgandum ke Sungai Danube, dan melalui Polandia,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo memiliki perhatian serius terhadap adanya potensi krisis pangan. Hal ini tidak lepas dari situasi global saat ini, termasuk adanya konflik antara Ukraina dan Rusia yang merembet ke berbagai negara. Negara lain seperti Indonesia pun ikut terkena dampaknya, dimana harga beberapa komoditas seperti gandum menjadi mahal. Namun Indonesia juga turut serta menjadi penyebab krisis minyak goreng di negara lain karena penutupan kran ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya beberapa waktu lalu.
Presiden Joko Widodo mengingatkan ancaman krisis pangan nasional karena 22 negara telah memutuskan untuk menghentikan aktivitas ekspor pangannya untuk menjaga suplai domestik. Negara-negara yang telah melarang ekspor makanan mulai dari gandum, biji-bijian, minyak, buah-buahan hingga daging beberapa bulan pasca terjadinya konflik Rusia dan Ukraina tersebut di antaranya Argentina, Mesir, India, Aljazair, Iran, Kazakhstan, Kosovo, Turki, Ukraina, Rusia, Serbia, Tunisia, Kuwait, Malaysia dan Indonesia.
Ancaman krisis pangan ini bukan yang pertama kali dalam tiga tahun belakangan. Di awal masa pandemik, Food and Agriculture Organization/FAO atau Badan Pangan dan Pertanian PBB juga pernah memperingatkan mengenai potensi terjadinya krisis pangan sebagai dampak dari pandemi corona. Pasalnya, banyak negara menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah, termasuk pembatasan sosial berskala besar seperti yang diterapkan di Indonesia.
Secara teknis, rantai pasokan makanan melibatkan interaksi yang kompleks, seperti di sektor pertanian yang melibatkan petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, pengecer dan lainnya, mulai dari level domestik sampai ke pasar dunia. Pangan berbahan baku gandum, kedelai, minyak kedelai, terigu, daging, dan lainnya akan mengalami kelangkaan suplai, lalu mengerek harga secara drastis, yang akan merongrong daya beli masyarakat.
Menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius. Raihan nilai tersebut mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8). Parahnya lagi, posisi Indonesia makin memburuk tahun 2021 karena makin terpuruk ke posisi 73 dari 117 negara. Skornya makin tergerus menjadi 18. Artinya, Indonesia sangat membutuhkan kepastian pasokan bahan pangan, agar ancaman kelaparan bisa diminimalisasi. Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri, termasuk beras dan jagung.
Berdasar data Biro Pusat Statistik(BPS) pada 2018 misalnya, Indonesia paling banyak mengimpor jagung dari Argentina, yakni sebanyak 238,06 ribu ton atau senilai 51,56 juta dollar AS. Bahkan dari penjelasan Jokowi belum lama ini, impor jagung Indonesia tembus 800.000 ton. Tentu akan sangat berbahaya bagi Indonesia jika salah satu negara asal impor jagung nasional itu menutup pintu ekspornya. Suplai pakan ternak akan kering, harga daging terkerek naik dan akan membebani puluhan juta rumah tangga. Pemerintah harus mengantisipasi agar tidak terjadi kelangkaan komoditas bahan makanan dan sayuran di level domestik, baik dengan diplomasi ekonomi, atau dengan penguatan kapasitas produksi komoditas bahan pokok nasional, dan atau dengan pembenahan tata kelola rantai pasok bahan pokok nasional.
Terkait krisis energi, Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikan negara harus menanggung biaya sebesar Rp 234 triliun atas kebijakan pemerintah yang tidak pernah melakukan penyesuaian kenaikan tarif listrik sejak 2017 bagi pelanggan yang tidak mampu. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha menjelaskan sejak tahun 2017 pemerintah sebenarnya tidak pernah menaikkan tarif listrik untuk seluruh golongan tarif pelanggan. Akibatnya pemerintah harus berkorban banyak atas kebijakan menahan kenaikan tarif listrik. Terlebih tidak hanya kepada pelanggan penerima subsidi listrik saja, namun pemerintah juga menanggung biaya bagi masyarakat golongan yang masuk dalam kategori mampu.
Setidaknya, empat indikator yang menjadi penyebab naiknya tarif listrik untuk golongan kaya itu. Diantaranya adalah asumsi makro ekonomi, haga minyak mentah indonesia atau ICP, inflasi dan harga batu bara.
Potret ekonomi global, shrinkflantion muncul
Selain Bank Dunia, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 sebesar 3 persen secara tahunan. Proyeksi ini lebih rendah dari perkiraan semula di akhir tahun lalu, yakni 4,5 persen. Penurunan ini diproyeksi berlangsung hingga tahun 2023 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,8 persen. Berdasarkan laporannya, penurunan ekonomi merupakan sebab dari konflik antara Rusia dengan Ukraina. Konflik ini menghasilkan krisis kemanusiaan bagi jutaan orang. OECD berpendapat, pertumbuhan ekonomi tidak akan merata di seluruh dunia. Ada sebagian besar negara, terutama di Eropa akan tumbuh jauh lebih lemah. Pasalnya, negara itu mengimpor bahan bakar dari Rusia. Pemberlakuan embargo atas minyak dan batu bara Rusia turun berdampak pada proyeksi ekonomi di tahun depan. Ada risiko kekurangan bahan pangan tinggi di banyak negara-negara berkembang, mengingat punya ketergantungan pada ekspor pertanian dari Rusia dan Ukraina. Tekanan dari sisi penawaran juga meningkat sebagai akibat dari konflik serta restriksi di China.
Dalam laporan yang sama, OECD memproyeksi rata-rata inflasi mencapai 5,5 persen di negara maju utama pada tahun 2022, dan mencapai 8,5 persen secara global. Namun inflasi akan surut pada tahun 2023 karena rantai pasokan dan tekanan harga komoditas akan berkurang.
Sementara, Dirjen CBI Tony Danker (13/6/2022) mengatakan, Konfederasi Industri Inggris (CBI) setelah memangkas prospek pertumbuhan seiring melonjaknya inflasi. CBI menjadi lembaga ketiga yang memangkas perkiraan pertumbuhan untuk Inggris dalam seminggu terakhir. Menyusul penurunan peringkat dari Kamar Dagang Inggris dan peringatan dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahwa Inggris yang memiliki prospek paling lemah dari semua ekonomi utama kecuali Rusia.
CBI memperkirakan ekonomi Inggris akan tumbuh 1,0% pada tahun depan, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,0%. Sementara tahun ini, lembaga ini memproyeksi ekonomi tumbuh 3,7% karena melihat output yang lebih baik dari tahun lalu. CBI mendesak pemerintah mengganti potongan pajak yang besar atas investasi bisnis yang akan berakhir, dan untuk menghindari tindakan sepihak dalam perselisihan dengan Uni Eropa mengenai aturan perdagangan pasca-Brexit untuk Irlandia Utara.
Sedangkan, Badan Bea Cukai Korea Selatan mencatat ekspor untuk 10 hari pertama menyusut 12,7% yoy pada Juni 2022. Impor justru tumbuh 17,5% yang membuat neraca perdagangan menjadi defisit US$ 6 miliar. Produk sampingan, ekspor semikonduktor tumbuh 0,8% dan produk minyak bumi melonjak 94,5%, tetapi ekspor mobil, suku cadang mobil, dan perangkat komunikasi nirkabel masing-masing turun 35,6%, 28,8%, dan 27,5%. Berdasarkan tujuan, pengiriman ke China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa masing-masing menyusut 16,2%, 9,7%, dan 23,3%. Sementara itu, Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) mencatat indeks harga konsumen AS meningkat lebih besar dari perkiraan 8,6% yoy pada bulan lalu, kenaikan terbesar sejak Desember 1981. Kondisi itu menghancurkan harapan karena inflasi telah mencapai puncaknya, dan membuat pasar makin khawatir terhadap kebijakan ketat The Fed yang dapat menyebabkan perlambatan ekonomi.
Ditengah pelambatan ekonomi global, kini muncul shrinkflation di mana-mana. Shrinkflation merupakan salah satu jenis inflasi di mana perusahaan mengecilkan produk dan menjualnya dengan harga yang sama dari kertas toilet, yogurt, kopi, hingga keripik jagung, produsen diam-diam mengecilkan ukuran paket tanpa menurunkan harga, melansir AP, hal ini dilakukan Yoghurt Chobani Flips, Nescafe Azera Americano dan kopi Folgers, sabun cuci piring Vim, botol Gatorade, Cottonelle Ultra Clean Care, disebabkan inflasi tinggi karena perusahaan bergulat dengan kenaikan biaya bahan, pengemasan, tenaga kerja, dan transportasi. Berdasarkan data S&P Global, tingkat inflasi harga konsumen global naik sekitar 7% pada Mei, kecepatan yang kemungkinan akan berlanjut hingga September.
Shrinkflation adalah praktik mengurangi ukuran suatu produk sambil mempertahankan harga barang. Menaikkan harga per jumlah tertentu adalah strategi yang digunakan oleh perusahaan, terutama di industri makanan dan minuman, untuk secara diam-diam meningkatkan margin keuntungan atau mempertahankannya dalam menghadapi kenaikan biaya produksi. Dalam penelitian bisnis dan akademis, shrinkflation juga disebut sebagai perampingan paket. Penggunaan yang kurang umum dari istilah ini dapat merujuk pada situasi ekonomi makro di mana ekonomi berkontraksi sementara juga mengalami tingkat harga yang meningkat. Shrinkflation adalah istilah yang terdiri dari dua kata terpisah: shrink yang artinya menyusut dan inflasi. “Penyusutan” dalam shrinkflation berhubungan dengan perubahan ukuran produk, sedangkan bagian “-flation” mengacu pada inflasi yakni kenaikan tingkat harga. Shrinkflation pada dasarnya adalah bentuk inflasi tersembunyi.
Indonesia menuju resesi ekonomi?
Resesi ekonomi terjadi saat suatu negara mengalami penurunan angka produk domestik bruto (PDB) selama lebih dari dua kuartal dalam setahun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif. Resesi dapat menyebabkan penurunan profit perusahaan, peningkatan pengangguran, melemahnya daya beli masyarakat, dan bahkan kebangkrutan ekonomi. Resesi merupakan siklus ekonomi yang selalu terjadi.
Indonesia dan Jerman, masuk masa resesi akibat pandemi Covid-19. Sebelumnya 2012, krisis keuangan yang melanda sejumlah negara-negara di Eropa. Housing bubble pada 2008 di Amerika Serikat yang mengakibatkan bank investasi terbesar di dunia Lehman Brothers gulung tikar. Wilayah Asia Tenggara sendiri pernah mengalami keterpurukan ekonomi yang dimulai dari Thailand kemudian merambat ke Indonesia dan beberapa negara wilayah Asia lainnya pada 1997 hingga 1999.
Sejumlah pemikir ekonomi dunia seperti Joseph Schumpeter dalam jurnalnya yang berjudul The Analysis of Economic Change pada 1935, menelisik ulang teori siklus ekonomi ini terjadi setiap tujuh hingga 11 tahun. Sementara Nikolai Kodrantiev, pakar ekonomi Uni Soviet, merumuskan hipotesisnya dalam buku The Major Economic Cycles, bahwa siklus ekonomi ini terjadi setiap 45 hingga 60 tahun sekali. Sejarah mencatat serangkaian resesi global yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Resesi ekonomi merupakan siklus yang tidak bisa dielakkan. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat pun bisa tidak siap mengatasi laju inflasi yang tinggi, sehingga menaikkan suku bunga dengan cepat. Perlambatan ekonomi juga bisa diindikasikan dari tingkat utang global, dan saat ini negara-negara maju mengalami tren kenaikan utang yang bisa mengganggu perekonomian.
Kenaikan harga komoditas dan tingkat inflasi yang tinggi dapat memicu perlambatan ekonomi. Indonesia perlu mempersiapkan kebijakan moneter sehingga resesi ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi masyarakat. Sementara terhadap masyarakat luas, agar pada fase-fase pesatnya pertumbuhan ekonomi, masyarakat perlu menabung. Indonesia perlu membenahi data, agar subsidi yang disalurkan pemerintah tepat sasaran dengan melibatkan sektor finansial untuk menyalurkan subsidi tepat sasaran.
Pertumbuhan ekonomi selalu bergantung pada beberapa hal meliputi sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), inovasi teknologi, serta pembentukan modal. Siklus resesi bisa memanjang atau memendek tergantung pada ketahanan dari sisi permintaan dan penawaran. Pertumbuhan ekonomi bisa terbentuk dari produksi sejumlah sektor seperti jasa, manufaktur, dan pertanian. Sisi pembelanjaan atau pengeluaran suatu negara digerakkan oleh faktor konsumsi, investasi, kegiatan belanja negara, dan ekspor-impor. Jika kondisi ini terjaga, maka Indonesia akan bebas resesi, apalagi perang Rusia-Ukraina tidak berdampak langsung pada perekonomian di Indonesia.
*Penulis adalah alumni pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).