STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Media asing asal Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), menyoroti proses revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai mengancam demokrasi. Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Said, mengatakan dalam RKHUP demokrasi dan hak asasi manusia akan dalam bahaya. Salah satu pasal yang berbahaya adalah hukuman mati, yang tampaknya tak akan dihapus meski ada kampanye Amnesty sejak 1960. Selain itu, muncul ketakutan soal pembatasan hak-hak perempuan.
SCMP menuliskan KUHP di Indonesia saat ini kembali seperti pada 1918 saat kolonialisme berlangsung. Seiring berjalannya waktu, naskah itu mengalami perubahan, menyusul kemerdekaan Indonesia pada 1945. Namun, hingga kini pemerintah belum merilis draf terbaru ke publik menyusul protes meluas pada 2019 lalu. Padahal naskah ini akan ditandatangani pada Juli mendatang.
Pada 22 Juni lalu, Kementerian Hukum dan HAM Indonesia kemudian memanggil Aliansi Nasional untuk Reformasi KUHP untuk membahas masalah yang berkaitan dengan draf tersebut di Jakarta.
Namun, aliansi menolak diskusi. Mereka menilai pertemuan itu tak menunjukkan partisipasi yang berarti dari publik. “Aliansi menyambut undangan pemerintah untuk diskusi draf RKUHP, pembahasan ini tak menjadi partisipasi yang berarti karena seharusnya dilakukan di sesi parlemen dengan draf yang dipublikasikan secara transparan,” ujar Citra Referandum Simamora dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang menjadi salah satu aliansi itu.
Desakan publik yang terus berlanjut, membuat pemerintah kemudian merilis hanya 14 dari ratusan pasal untuk menenangkan rakyat. Dalam naskah itu, ditemukan sejumlah pasal yang akan berdampak pada kaum minoritas dan dapat mengekang kebebasan sipil. Berdasarkan 14 pasal dalam RKUHP, mereka melarang aborsi kecuali dalam kondisi kesehatan tertentu atau jika hamil karena diperkosa. Dengan catatan, belum berusia 12 pekan atau tiga bulan.
Dalam pasal lain di RKUHP juga berdampak ke kaum minoritas, seperti pasal yang merujuk ke penistaaan agama dan kritik dari pemerintah yang elastis dan lentur. Draf tersebut mencakup aturan berhubungan seksual sebelum menikah, dan kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, dan mengkriminalisasi kelompok LGBTQ. Menanggapi perilisan 14 pasal itu, Citra mengaku aliansi tak puas. Ia menekankan transparansi terkait semua pasal, termasuk yang dianggap kontroversi. Kelompok yang lain menekankan pemerintah harusnya menyesuaikan undang-undang baru yang memiliki nilai-nilai keindonesiaan dari undang-undang zaman kolonial.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikabarkan tinggal diketok untuk disahkan di DPR. Menanggapi hal ini, Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM UI berencana menggelar aksi penolakan pengesahan RKUHP pada Selasa, 28 Juni 2022. Koordinator Departemen Sosial dan Politik BEM UI, Melki Sedek Huang menyebut rencana demo tersebut sudah diumumkan pada aksi 21 Juni 2022.
Dalam tuntutan di aksi sebelumnya, Melki meminta pemerintah dan DPR segera membuka draf RKUHP, memberi ruang partisipasi, dan membuang pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP dalam waktu 7×24 jam. Jika tuntutan tak dipenuhi, mahasiswa bakal menggelar demo besar-besaran.
Melki menjelaskan, di rapat 25 Mei 2022 DPR menyatakan terdapat 14 isu krusial dalam RKUHP yang akan dibahas. Tetapi, Melki menyatakan pihaknya melihat ada lebih dari 14 hal bermasalah dalam RKUHP yang harus dibahas.
“Yang bahkan sedari 2019 terdapat 24 poin dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang tak kunjung dibahas. Kami juga dengan keras akan menolak pasal-pasal yang mengancam kebebasan sipil dan demokrasi seperti Pasal 273 tentang Larangan Unjuk Rasa, Pasal tentang Penghinaan Presiden, Pasal tentang Penghinaan Lembaga Negara dan Kekuasaan Umum, dan banyak pasal lainnya,” kata Melki.
Politikus yang biasa disapa Bambang Pacul tersebut mengklaim RKUHP sebagai produk hukum terbaik yang dihasilkan DPR. Dia bahkan menyebutnya sebagai mahakarya Komisi III. “RKUHP adalah masterpiece Komisi III, tentu bukan Komisi III yang hari ini saja, tapi sudah dari dulu. Ini adalah buah kita yang luar biasa,” ujarnya. Saat ini, kata politikus PDIP itu ada 14 isu di RKUHP yang sedang dibahas. Tetapi pembahasan tersebut dikatakan telah rampung dan hanya menunggu persetujuan.
Dia mengatakan DPR telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk membawa RKUHP ke rapat paripurna. Tetapi hingga kini pemerintah belum memberi jawaban karena ada perbedaan diksi yang mesti disepakati.
Bambang yakin bahwa RKUHP tidak akan menyengsarakan rakyat. Dia memastikan juga dokumen undang-undang itu bakal terbuka untuk publik. “Saya meminta masyarakat untuk tidak khawatir. DPR telah bersurat ke Presiden namun belum dikirim balik ke DPR. Memang sempat ada perbedaan kata-kata, tapi ini sudah selesai,” katanya.
Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyoroti soal Rancangan KUHP (RKUHP) yang kini drafnya masih ditutup pemerintah. Suparji menilai RKUHP masih bernuansa kolonial karena pembaruannya tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan.
Suparji juga menganggap, secara substansi, RKUHP ini belum sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) maupun demokrasi. Dalam hal ini soal kebebasan berekspresi yang malah bisa berpotensi dikenai pidana. Menurutnya, solusi masalah perspektif HAM dan nilai demokrasi ini harus segera dirumuskan. Dia mengatakan prosedur kewenangan harus menjadi perhatian.
Selanjutnya, Suparji juga meminta pemerintah memperhatikan tentang upaya restorative justice hingga social justice. Dia menyebut dalam menyusun RKUHP seharusnya terdapat unsur ideologi Pancasila hingga kearifan lokal.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menjelaskan pihaknya tetap mempertahankan pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Eddy mengatakan pemerintah tak memasukkan pasal tersebut ke dalam 14 isu krusial RKUHP.
Eddy menjelaskan alasan pemerintah tetap memasukkan pasal terkait penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dalam draf RKUHP. Eddy mengatakan pasal penghinaan pemerintah sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dinyatakan ditolak.
Sebagai informasi, RKUHP sedang berproses penyusunan dan direncanakan bakal disahkan bulan depan. Namun pasal-pasal krusial menuai kritik, di antaranya pasal soal penghinaan terhadap pemerintah dan penguasa. Berikut ini 14 isu krusial pemidanaan yang diakomodasi dalam RKUHP: Isu terkait the living law atau hukum pidana adat (Pasal 2); Isu terkait pidana mati (Pasal 200); Isu terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (Pasal 218); Isu terkait tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (Pasal 252); Isu terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih (Pasal 278-279); Isu terkait tindak pidana contempt of court (Pasal 281); Isu terkait penodaan agama (Pasal 304); Isu terkait penganiayaan hewan (Pasal 342); Isu terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (Pasal 414-416); Isu terkait penggelandangan (Pasal 431); Isu terkait aborsi (Pasal 469-471); Isu terkait perzinaan (Pasal 417); Isu terkait kohabitasi (Pasal 418) dan isu terkait perkosaan (Pasal 479).
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) meminta pemerintah dan DPR mencabut empat pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi. Ketua BEM Fakultas Hukum UI Adam Putra menyebutkan empat pasal tersebut yakni Pasal 218, Pasal 240, Pasal 353, dan Pasal 354.
Adam mengatakan Pasal 218 merupakan pasal yang sama dengan pasal penghinaan presiden yang dulu pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Diketahui, Pasal 218 mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Orang yang melakukan tindak pidana di muka umum dapat dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan dan denda maksimal Rp200 juta.
Pasal ini sempat ada dalam KUHP, tetapi dihapus MK pada 4 Desember 2006 melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK menilai pasal penghinaan kepala negara itu menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran parameter penghinaan tidak jelas. MK juga menilai pasal tersebut mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Selain itu, pasal tersebut dinilai mengabaikan prinsip persamaan di depan hukum.
Adam juga menyoroti Pasal 240 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah. Pasal 240 berbunyi, setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Menurut Adam, kalimat ‘berakibat terjadinya kerusuhan’ dalam Pasal 240 bermasalah. Pemerintah perlu menegaskan kembali jenis dan bentuk kerusuhan yang dimaksud pasal tersebut. “Kami khawatir bahwa dengan tidak dijelaskannya parameter kerusuhan ini nantinya apabila ada seseorang atau siapapun itu yang berpendapat, mengkritik pemerintah yang sah di sosial media dan viral, menimbulkan kehebohan di ranah elektronik, itu dapat juga dianggap sebagai kerusuhan,” tuturnya.
Selanjutnya, Adam menilai Pasal 353 dalam RKUHP tak relevan. Pasal 353 berbunyi setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Adam juga menyoroti Pasal 354 RKUHP. Pasal itu mengatur hal yang sama dengan Pasal 353, tetapi lebih mengerucut dengan menyasar penghinaan di ranah elektronik. Pada pasal tersebut, tak ada ketentuan mengenai delik aduan seperti di Pasal 353. Ia pun mempertanyakan absennya ketentuan yang berdampak besar tersebut.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta agar draf Rancangan KUHP segera dibuka ke publik secara utuh. Salah satu isinya soal ancaman penghina anggota DPR, jaksa, polisi, hingga kepala daerah dipenjara 18 bulan. Apa apa alasannya?
“Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak agar pemerintah membuka draf RKUHP terbaru sesuai dengan ketentuan dan tata cara dalam Permenkumham 11/2021,” demikian siaran pers PSHK (17/6/2022).
PSHK mencatat RKUHP merupakan RUU operan (carry over) dari DPR periode 2014-2019. Atas hal itu, berlaku Pasal 71A UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 71A tersebut dijabarkan secara lebih teknis dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang (Peraturan DPR 2/2020). Dalam Pasal 110 ayat (3) Peraturan DPR 2/2020 mengatur bahwa DPR lanjut membahas RUU operan dalam pembicaraan tingkat I dengan menggunakan surat presiden dan daftar inventaris masalah (DIM) yang sudah ada pada DPR periode keanggotaan sebelumnya (Red/berbagai sumber).