STRATEGIC ASSESSMENT. Rancangan Undang-undang (RUU) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-undang (UU) oleh DPR RI pada Selasa (21/3). Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan bahwa itu merupakan hal yang positif dan membuat investor lebih tenang.
“Buat saya itu suatu yang positif, bahwa apa, ada sesuatu saat ini yang dikatakan certainty, kepastian, karena selama ini semuanya wondering, apalagi yang namanya investor, ” tuturnya di Plataran Heritage Borobudur Hotel, Magelang, Jawa Tengah.
Menurutnya, dengan disahkannya undang-undang tersebut dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia, yaitu membuka banyak lowongan kerja yang pada akhirnya dapat mengurangi angka kemiskinan.
“Certainty sudah ada, dengan demikian investor lebih tenang, lebih confidence membawa untuk pendanaan lebih masuk lagi. Lari-larinya untuk apa? Untuk lapangan pekerjaan kok, untuk akhirnya mengurangi kemiskinan,” terangnya.
Sebagai informasi, pada Selasa (21/3/2023) kemarin, DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) dalam rapat paripurna.
Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di kompleks parlemen, Selasa (21/3). Rapat pengesahan Perppu Ciptaker turut dihadiri pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto. Rapat pengesahan Perppu Ciptaker dihadiri 75 secara fisik, dan sebanyak 210 hadir secara daring. Sisanya, sebanyak 95 tidak hadir dan izin. Sehingga total rapat dihadiri 380 anggota dewan.
Di tengah Rapat Paripurna itu fraksi Demokrat dan PKS sempat menyatakan penolakan terhadap pengesahan Perppu Ciptaker. Kedua fraksi melayangkan interupsi saat Ketua DPR Puan Maharani menanyakan kepada peserta sidang, apakah Perppu Ciptaker dapat disetujui. Sementara, fraksi PKS menyatakan walk out atau keluar rapat paripurna setelah perwakilan fraksi, Bukhori Yusuf menyampaikan interupsi.
Sementara, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana menilai Pengesahan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi undang-undang (UU) pada Sidang Paripurna di DPR 21 Maret 2023 itu melanggar konstitusi.
Denny mengatakan di dalam Pasal 22 Ayat 2 UUD 1945 jelas diatur sebuah Perppu harus dirapatkan dalam rapat paripurna diterima jadi UU atau tidak pada sidang berikutnya. Rapat Paripurna setelah penerbitan Perppu itu, kata Denny, adalah pada 16 Februari silam.
“Karena pengesahan ini sudah terlambat. Syarat sebuah Perppu disahkan itu adalah pada masa sidang DPR setelah Perppu diterbitkan yang berakhir 16 Februari 2023,” ujar Denny,
Perppu Ciptaker diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Desember 2022, di mana saat itu DPR tengah reses masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 dari 16 Desember 2022-9 Januari 2023. Kemudian pada 16 Februari 2022 itu, DPR menggelar Rapat Paripurna yang menutup masa sidang III 2022-2023.
Sebab waktunya sudah terlewati, kata Denny, menurut UUD Pasal 22 ayat 2 itu seharusnya Perppu Ciptaker itu dicabut. Oleh karena itu, menurutnya pengesahan yang sekarang itu tidak sah.
“Dalam UUD Pasal 22 ada 3 hal. Perppu dikeluarkan untuk kegentingan yang memaksa, harus disetujui DPR, dan kalau tidak disetujui harus dicabut,” tuturnya.
DPR resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna DPR ke-19 masa persidangan IV tahun sidang 2022-2023 pada Selasa (21/3/2023). Pengesahan itu lantas menimbulkan pro dan kontra, terutama soal perbedaan pendapat antara pemerintah dan pihak buruh. Di satu sisi, pemerintah mengklaim buruh akan banyak menerima banyak manfaat dari penerapan UU Cipta Kerja.
Sebaliknya, pihak buruh menganggap banyak muatan dalam UU Cipta Kerja yang merugikan mereka.
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan tujuan UU Cipta Kerja sesuai bingkai pasal 4 dan pasal 18 undang-undang Dasar 1945 terkait dengan perlindungan dan kepastian hak bagi pekerja buruh.
“Dengan undang-undang ini kehadiran negara hadir dalam bentuk hubungan industrial Pancasila yang mengutamakan hubungan triparted antara pemerintah pekerja dengan dikeluarkannya jaminan JKP atau jaminan kehilangan pekerjaan,” tegas Airlangga di dalam rapat paripurna DPR, Senin (5/10/2020). Menurutnya, program jaminan kehilangan pekerjaan yang berikan manfaat cash benefit, dan pelatihan untuk upgrading atau reskilling, serta akses informasi ke pasar tenaga kerja.
Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan hak-hak pekerja tetap ada dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, meski tidak dicantumkan. Dia mengungkapkan cuti melahirkan dan cuti haid tetap sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. “Mengenai isu hak cuti haid dan cuti melahirkan dihapus, kami tegaskan bahwa pengusaha wajib memberikan cuti dan waktu istirahat. Waktu ibadah, cuti haid, cuti melahirkan, waktu menyusui, kami tegaskan tidak dihapus dan tetap sesuai UU lama,” tegas Airlangga, Rabu (8/10/2020).
Sementara, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut 153 investor akan masuk pasca pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Bahlil mengatakan bahwa masuknya rencana investasi tersebut merupakan kabar baik karena akan membuka pasar kerja baru bagi jutaan masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. “Jadi enggak benar kalau hanya menguntungkan pengusaha, 153 perusahaan otomatis akan masuk ke Indonesia,” kata Bahlil, Rabu (7/10/2020).
Bahlil juga menegaskan bahwa priroritas pemerintah adalah tenaga kerja lokal. Tenaga kerja asing hanya dibutuhkan untuk pekerjaan di level-level tertentu atau posisi yang membutuhkan keahlian khusus.
Kerugian terkait pengesahan Perppu Ciptaker disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai setidaknya ada empat persoalan terkait pengaturan mengenai upah minimum dalam UU Cipta Kerja. Pertama, terdapat pasal yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Dengan menggunakan kata ‘dapat’, maka artinya UMK bisa ditetapkan dan bisa juga tidak.
Oleh sebab itu, KSPI meminta kata ‘dapat’ dihapuskan. Kedua, kenaikan upah minimum yang tidak jelas karena berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel indeks tertentu. Said mengatakan, indeks tertentu ini tidak jelas. Seharusnya cukup berbunyi, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak perlu indeks tertentu.
Ketiga, pasal baru yang mengatur dalam keadaan ekonomi dan keadaan ketenagakerjaan tertentu, formula kenaikan upah minimum bisa berubah. Pasal itu dinilai membingungkan sebab bertentangan dengan pasal sebelumnya yang mengatur formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Keempat, dihapusnya upah minimum sektoral. Mereka meminta upah minimum sektoral tetap diberlakukan.
Outsourcing tetap diperbolehkan dalam UU Cipta Kerja dengan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya ditentukan oleh pemerintah, tetapi tidak jelas pembatasannya berapa jenis pekerjaan. Mereka meminta pasal outsourcing harus kembali kepada UU No. 13/2003, karena dalam aturan itu yang boleh menggunakan outsourcing hanya di pekerjaan penunjang. Itu pun hanya dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan: cattering, security, driver, cleaning servis, dan penunjang perminyakan.
Terkait dengan pesangon, Said meminta uang penggantian hak 15 persen tidak dihilangkan, pesangon bisa di atas satu kali aturan. Terkait karyawan kontak, periode kontrak dan masa kontrak juga dinilai harus dibatasi. Meski pemerintah menyatakan cuti haid dan hamil tetap ada, tapi Said mengatakan ketentuan itu harus diperjelas dengan dituangkan dengan tegas bahwa upahnya tetap dibayar.
Sedangkan, Trend Asia, Organisasi masyarakat sipil independen di bidang transformasi energi, menyebut pasal-pasal yang terkandung dalam UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR disusupi oleh kepentingan pebisnis perusak lingkungan.
Juru kampanye Trend Asia Novita Indri mengatakan saat menerbitkan Perpu Cipta Kerja, pemerintah berdalih untuk menyelamatkan ekonomi, atas dasar kegentingan krisis iklim, dan krisis pangan. Namun Perpu ini justru melanggengkan perusakan lingkungan oleh negara dan oligarki. Sampai pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang, kata dia, semakin menunjukkan transisi energi yang berulang kali digembar-gemborkan para penyelenggara negara hanya omong kosong.
Novita menjelaskan dalam pasal 128A misalnya, disebutkan soal royalti nol persen kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP/IUPK) yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batu bara. Pasal ini disisipkan di antara pasal 128 dan pasal 129 dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Artinya, Royalti nol persen ini akan dinikmati bila perusahaan besar batu bara melakukan proyek peningkatan “nilai tambah” semu melalui kegiatan hilirisasi seperti gasifikasi batu bara.
Ia menyebut pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-undang merupakan cara pemerintah memberi subsidi paling baru bagi industri batu bara. Selain itu, aturan ini akan terhubung dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang saat ini dibahas oleh DPR.
Menurutnya, hal ini menambah deretan keistimewaan bagi industri energi kotor dalam memperpanjang umur penggunaan batu bara, sumber energi yang dalam proses hulu hingga hilirnya jelas menimbulkan kerusakan dan bencana bagi lingkungan dan manusia.
“Akal-akalan ini hanya akan mengunci Indonesia dalam laju kenaikan emisi yang dapat memperparah krisis iklim yang artinya bertolak belakang dengan alasan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja, dan juga akan menjadi batu sandungan upaya transisi energi,” ujar Novita.
Tim Advokasi Trend Asia Adhitiya Augusta mengungkap pasal lain dalam Perpu yang memperparah krisis iklim. Hal ini tercermin dalam Pasal 110 A yang disisipkan di antara pasal 110 dan pasal 11 dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ia menuturkan aturan ini justru memberi kelonggaran pada perusahaan yang menggunakan hutan secara ilegal. Dengan disahkannya Perpu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan tersebut tidak akan dikenai sanksi pidana apabila mengurus izin sebelum 2 November 2023.
“Keberadaan Pasal 110 A dalam UU Cipta Kerja lagi-lagi memberi karpet merah kepada pengusaha sektor energi yang berniat mengalihfungsikan hutan lindung menjadi hutan tanaman energi yang digunakan sebagai bahan “oplosan” batu bara dalam menciptakan energi listrik di PLTU sebagai biomassa (pelet kayu),” kata Adhitiya.
Potensi pengalihan fungsi dan luas hutan lindung ini semakin memperparah krisis iklim dan menghambat proses transisi energi yang bersih serta berkelanjutan. Pembabatan hutan pun dapat semakin merajalela akibat pengubahan Pasal 18 UU Kehutanan yang menghilangkan ketentuan batas minimal luas kawasan hutan dari yang semula harus dipertahankan minimal 30 persen. Hal ini terlihat pemerintah memprioritaskan ekonomi, investasi dan kelancaran usaha industri ketimbang perlindungan terhadap hutan, lingkungan serta pengentasan krisis iklim.
Adhitiya menuturkan, mulanya dalam UU P3, negara tidak mengakui metode pembentukan “omnibus” lalu direvisi menjadi diakui. Ia menyebut Pemerintahan Jokowi telah mengubah negara hukum menjadi negara yang “rule by law”. Menurutnya, pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ini penuh dengan “conflict of interest” dari para pebisnis di sektor energi dan tambang. Ini terlihat jelas dengan pengesahan revisi UU KPK, UU Mineral dan Batu bara, UU IKN, dan KUHP yang telah dilakukan sebelumnya.
Dengan alasan kegentingan yang dibuat-buat, ia menilai pemerintahan sekarang melegitimasi kekuasaan dan pembentukan kebijakan yang dalam prosesnya problematik, serta melanggar prinsip participation meaningful dan ugal-ugalan (fast-track legislation and cruelty process). Bahkan melanggar hak-hak asasi manusia, baik itu hak-hak prosedural maupun hak-hak substantif demi keuntungan segelintir pihak (Red/berbagai sumber).