STRATEGIC ASSESSMENT. Pilpres makin dekat. Suasana politik makin terasa hangat. Bahkan cenderung mulai panas. Terutama di kalangan para pendukung masing-masing capres-cawapres.
Para capres-cawapres makin intens tebar pesona. Masing-masing berupaya maksimal memoles citra. Sebagian mulai tampak amat dermawan. Di antaranya dengan tebar uang recehan dan beras lima kilogram. Semua tentu demi meraih simpati dan dukungan. Terutama dari rakyat yang kebanyakan awam. Masing-masing paslon tentu berharap mayoritas rakyat memilih mereka menjadi penguasa.
Masing-masing capres-cawapres tentu amat berhasrat menjadi pemenang. Masing-masing pastinya berambisi untuk menjadi penguasa. Tentu dengan berbagai cara. Kadang tak lagi peduli dengan cara-cara terpuji atau tercela.
Bahaya Ambisi Terhadap Kekuasaan
Jauh-jauh hari Rasulullah saw. telah mengingatkan umatnya agar berhati-hati terhadap ambisi berkuasa ini. Beliau bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan, sementara kekuasaan itu berpotensi menjadi penyesalan dan kerugian pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. mengingatkan kaum Muslim akan bahaya hubb ar-ri’âsah (cinta kekuasaan). Apalagi jika kekuasaan itu ternyata diraih dengan jalan manipulasi dan rekayasa. Di antara bahaya tersebut adalah bisa mendatangkan kerusakan pada agama para pelakunya. Nabi saw. bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ المَرْءِ عَلَى المَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih berbahaya bagi domba itu dibandingkan dengan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya (HR at-Tirmidzi).
Berkaitan dengan hadis di atas Ibnu Rajab antara lain menjelaskan, “Sabda Nabi saw. ini mengisyaratkan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia…”
Faktanya memang demikian. Karena ambisi terhadap jabatan dan kekuasaan, tak sedikit orang menghalalkan segala cara. Di antaranya merekayasa aturan yang ada, melakukan politik uang (money politic), menipu rakyat dengan pencitraan yang penuh kepura-puraan, dll.
Kekuasaan adalah Amanah
Kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw. bersabda:
أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ
Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil (HR ath-Thabarani).
Rasulullah saw. mengingatkan dalam hadis di atas bahwa hanya para pemimpin yang punya sifat kasih sayang dan adil yang akan selamat di hadapan Pengadilan Allah di akhirat kelak.
Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum.
Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan syariah Islam di tengah umat. Sebabnya, tidak ada keadilan tanpa penerapan dan penegakan syariah Islam. Karena itulah siapapun yang bakal menjadi penguasa, lalu saat berkuasa tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan syariah Islam, maka dia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni al-Quran) maka mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan (yakni al-Quran) maka mereka itulah kaum yang fasik (TQS al-Maidah [5]: 47).
Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi saw. mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR al-Bukhari).
Bahkan Nabi saw. mendoakan para pemimpin yang tidak amanah, yang menyusahkan umat, dengan doa yang buruk untuk mereka:
اللَّهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia membuat mereka susah, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia (HR Muslim).
Karena itulah kaum Muslim diperintahkan oleh Allah SWT agar memberikan amanah—terutama amanah kekuasaan—kepada orang yang benar-benar layak. Tentu layak berdasarkan kategori-kategori syariah. Di antara bukti kelayakannya adalah memiliki sifat adil, yakni mau menegakkan syariah Islam atas dirinya dan rakyatnya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerima amanah tersebut, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Berkaitan dengan ayat di atas, Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban pemimpin/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru…”
Demi Melayani Islam
Kekuasaan tidaklah haram. Bahkan dalam Islam kekuasaan amatlah penting. Kekuasaan itu amat dibutuhkan demi kemaslahatan agama dan umat. Begitu pentingnya, Rasulullah saw. pun berharap dapat meraih kekuasaan. Allah SWT berfirman:
وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا
Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (TQS al-‘Isra’ [17]: 80).
Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir, mengutip Qatadah, menyatakan: Nabi saw. amat menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau meminta kekuasaan agar bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudud Allah, menjalankan berbagai kefardhuan-Nya dan menegakkan agama-Nya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, hlm. 1134).
Kekuasaan juga harus dibangun di atas pondasi agama, yakni Islam, dan ditujukan untuk menjaga Islam dan syariahnya serta memelihara urusan umat. Imam al-Ghazali menyatakan, “Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 199).
Imam al-Mawardi juga mengatakan, “Berdasarkan dua hal ini (menjaga urusan dunia dan urusan agama) wajib mengangkat Imam/Khalifah agar menjadi penguasa saat ini, pemimpin umat, bertujuan agar agama terpelihara dengan kekuasaannya, dan kekuasaan berjalan di atas ajaran-ajaran agama dan hukum-hukumnya.” (Al-Mawardi, Adab ad-Dunyâ’ wa ad-Dîn, hlm. 220).
Dengan demikian kekuasaan harus diorientasikan untuk melayani Islam dan kaum Muslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariah Islam secara total, memelihara urusan dan kemaslahatan umat, menjaga Islam dan melindungi umat. Kekuasaan semacam inilah yang harus diwujudkan oleh kaum Muslim semuanya. Dengan itu kekuasaan akan menjadi kebaikan dan mendatangkan keberkahan bagi semua.
Kekuasaan semacam ini terwujud hanya dalam bentuk pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam, yang menerapkan syariah Islam secara kâffah. Bukan dalam wujud sistem pemerintahan yang anti syariah, baik sistem demokrasi ataupun yang lain.
Khilafah Islam akan mengatur urusan kaum Muslim dan seluruh warga negara dengan syariah Islam; seperti menjamin kebutuhan hidup mereka, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi.
Khalifah akan mengelola sumber daya alam agar bermanfaat bagi segenap warga; tidak dikuasai swasta apalagi jatuh dikuasai asing, seperti tambang migas, batubara, mineral, dll.
Khilafah Islam juga akan menjaga dan melaksanakan urusan agama seperti melaksanakan hudûd untuk melindungi kehormatan, harta dan jiwa masyarakat Muslim maupun non-Muslim.
Khilafah Islam juga akan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia. Khilafah pula yang akan memimpin jihad demi menyelamatkan kaum Muslim yang tertindas di berbagai negeri seperti di Palestina, Xinjiang, Myanmar dll.
Khatimah
Karena itu kepada siapapun yang punya ambisi berkuasa, apalah artinya kekuasaan jika tidak ditujukan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Kekuasaan seperti itu tidak ada gunanya bahkan akan berbuah penyesalan dan kehinaan pada Hari Kiamat.
Selanjutnya, kepada seluruh kaum Muslim, sudah saatnya Anda memilih penguasa yang mau menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Yakinlah, hanya dengan tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan, perubahan yang diinginkan akan benar-benar sesuai harapan, sekaligus mendapatkan ridha Allah SWT.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasul saw. pernah bersabda kepada Abu Dzar ra.:
يَا أَبَا ذَرّ إِنَّك ضَعِيف، وَإِنَّهَا أَمَانَة، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan/kekuasaan itu adalah amanah. Sungguh amanah kekuasaan itu akan menjadi kerugian dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali bagi orang yang mengambil amanah kekuasaan tersebut dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya. (HR Muslim). []