STRATEGIC ASSESSMENT, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc (Ketua Dewan Guru Besar) mengatakan, isu-isu demokrasi menarik dan beberapa nilai yang sudah luntur seperti rasa malu terutama bila sedang rebutan jabatan. Perebutan kepemimpinan nasional perkembangannya luar biasa. Kampanye diharapkan berjalan lancar.
Prof. Dr. Muhammad Baiquni, MA (Sekretaris Dewan Guru Besar) mengatakan
Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch, Ph.D (Moderator/Guru Besar Fakultas Teknik UGM) mengatakan, banyak sekali pembicaraan di media bahwa budaya malu tidak hanya luntur namun sudah hilang. Rasa malu menjadi wacana ilmiah saja, masyarakat menunggu praksisnya. Rai gedhek sudah menjadi hal yang biasa ditengah masyarakat. Budaya malu dibandingkan dengan guilt culture. Shame culture tidak dijadikan sebagai self control sehingga tidak memberikan efek. Guilt culture dapat menimbulkan kesadaran. Budaya tidak tahu malu sudah menjadi biasa, apakah UGM memiliki resep-resep untuk mengatasinya.
.
Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum (Dekan Fakultas Filsafat) sebagai narasumber mengatakan, etika adalah ilmu untuk mempelajari yang baik dan yang buruk, sedangkan moral adalah tindakan. Nilai dasar demokrasi adalah keadilan karena mengutamakan kesetaraan hak dalam pengaturan hidup bersama. Demokrasi dalam konteks bangsa Indonesia bukan hanya merupakan “alat”, melainkan upaya sungguh-sungguh mewujudkan kesataraan hak, keadilan, dan kesejahteraan. Bahaya demokrasi procedural adalah amoral. Baju demokrasi, tetapi sejatinya oligarki, sehingga demokrasi telah kehilangan ruhnya yaitu suara rakyat yang dapat dibeli. Bongkar demokrasi procedural yang bersembunyi dibalik “kepastian hukum” yang ilutif. Konsep budaya malu diperkenalkan Jean Jacques Rousseau, dimana rasa malu menjadi rantai, sehingga rasa takut akan pengawasan publik membentuk kultur bekerja dengan baik. Bagaimana rasa malu bukan sekedar emosi pribadi, namun merupakan konstruksi sosial dari ekspektasi kolektif. Moralitas yang dieksternalisasi oleh Emmanuel Levinas, pertemuan tatap muka menjadi kekuatan dahsyat yang memandu perilaku. Sedangkan budaya bersalah adalah moralitas yang terinternalisasi. Budaya bersalah karena adanya tanggung jawab moral yang terinternalisasi dalam individu seperti dikemukakan Immanuel Kant. Eksplorasi budaya bersalah berakar pada tanggung jawab pribadi mengajak individu untuk memperhatikan konsekuensi dari segala tindakannya. Budaya malu tidak kompatibel dalam demokrasi liberal. Budaya malu penting dikembangkan dalam Masyarakat demokratis sebagai bentuk kontrol terhadap penguasa. Budaya malu hilang karena bebalnya penguasa atau kontrol publik terhadap penguasa kurang kuat. Ocehan netizen dianggap angin lalu oleh pejabat publik seperti sudah berstatus tersangka tapi tidak mau mundur dari jabatan, ini merupakan bentuk krisis moral yang akut.
Prof. Dr. Faruk, S.U (Fakultas Ilmu Budaya) sebagai narasumber mengatakan, walaupun rasa malu ada dimana-mana, namun konsep terkait hal memalukan ada di budaya setempat. Mungkin ada pemahaman yang berbeda terkait apa yang memalukan dan tidak memalukan, karena konsepnya tidak dapat dipandang dari sisi demokrasi semata. Malu adalah ketidaberhargaan yang disembunyikan, sedangkan martabat adalah keberhargaan yang dipamerkan. Martabat harus ditunjukkan agar timbul keteladanan. Fenomena kehilangan muka terjadi ketika martabat dipamerkan namun berbeda faktanya seperti pemalsuan jenasah, manipulasi hukum, terkena OTT, kegagalan, dimutasi, bangkrut dan lain-lain. Strategi menyelamatkan muka yaitu agresi keluar, agresi ke dalam (bunuh diri, membuang diri), membela diri (fitnah, ndableg dan sumpah) serta rendah hati untuk mencegah risiko kehilangan muka dengan menghormati orang lain, termasuk duduk dibelakang bentuk rendah hati. Hilangnya rasa malu karena formalisasi budaya, formalisasi hukum, pencitraan dan dominasi.
Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D (Ahli psikologi budaya/Fakultas Psikologi) sebagai narasumber mengatakan, kita harus berani salah namun tidak boleh berbohong. Budaya malu terletak pada sesuatu yang tidak tertulis, justru orang yang berbuat malu berlidung dibalik pemikiran tidak ada hukum yang dilanggar. Negara sekuler justru bersih dari korupsi dibandingkan negara yang kuat agamanya. Budaya malu menjadi indikator adanya harga diri dan integritas. Budaya malu adalah sistem nilai sosial dimana orang akan malu ketika melanggar etika dan moral. Kunci dalam budaya malu adalah pengawasan sosial dan kuatnya kontrol. Silat lidah, kelicikan ditambah kekuasaan adalah upaya rasionalisasi dusta. Cara mengatasinya adalah proses penegakkan hukum harus tegas. Pembiaran akan menyebabkan meluasnya budaya anti malu, karena orang akan berpegang pada hukum tertulis dibandingkan norma. Budaya malu sudah hilang saat ini. Budaya malu harus ditanamkan jika Indonesia berjaya di tahun 2045 seperti budaya malu tidak berbuat jujur, budaya malu berbuat keonaran, budaya malu untuk mencontek atau menjiplak. Budaya malu tidak berkembang akibat minimalnya peran keluarga, dampak media sosial dan dampak pembelajaran yang hanya mengutamakan pikir dibandingkan rasa.
Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P (Ahli Kebijakan Publik) sebagai narasumber mengatakan, malu dalam politik sangat penting. Dalam jangka panjang, etika akan menentukan nasib bangsa ke depan. Budaya dan etika menentukan peradaban dan kemajuan bangsa seperti yang ditunjukkan Tiongkok. Etika rasa malu dalam berpolitik harus dilembagakan dalam sistem politik dan budaya kita, dengan mengutamakan guilt culture.