STRATEGIC ASSESSMENT. Moscow dan Kiev. Perang atau invasi Rusia ke Ukraina sudah masuk 1 bulan pada 24 Maret 2022 dan diluar prediksi banyak pakar militer dan pertahanan bahkan intelijen, invasi Rusia ke Ukraina tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Bahkan dalam beberapa perkembangan terakhir justru Rusia dikabarkan mulai “kelimpungan” menghadapi perjuangan heroik rakyat Ukraina termasuk sejumlah petinju besar kelahiran Ukraina seperti Vitaly dan Vladimir Klitscho, Alexander Usyk dan lain-lain turut berperang.
Beberapa perkembangan strategis yang menghiasi invasi Rusia ke Ukraina yang dikutip dari beberapa sumber antara lain komandan intelijen Rusia dari FSB dikenakan tahanan rumah, sejumlah pejabat pendukung pemerintah telah dicopot termasuk Jenderal Roman Gavrilov, tewasnya Letnan Jenderal Andrei Mordvichev, Komandan Angkatan Darat Umum ke-8 Distrik Militer Selatan Angkatan Bersenjata Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin telah memecat 1.000 staf pribadinya karena takut mereka akan mencoba meracuninya, mundurnya beberapa wartawan dari Rusia karena muak dengan propaganda Rusia seperti Zhanna Agalakova dari Channel 1, Lilia Gildeyeva dan Vadim Glusker dari NTV, Maria Baronova dari Russia Today, serta Marina Ovsyannikova, termasuk mundurnya tangan kanan Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk urusan ekonomi, Anatoly Chubais.
Invasi Rusia ke Ukraina juga merupakan ajang perang tidak hanya bagi militer Rusia vs Ukraina, namun juga melibatkan petempur-petempur lainnya seperti pasukan Chechen Rusia, Resimen Azov Ukraina, tentara bayaran Rusia Wagner Group, milisi asal Suriah dan relawan internasional pro Ukraina.
Internal pemerintah Rusia terpecah terkait invasi ke Ukraina, dengan seorang komandan intelijen Rusia ditempatkan di bawah tahanan rumah. Kolonel Jenderal Sergei Beseda, Kepala Dinas Kelima dari Dinas Intelijen FSB Rusia, dan Wakil Beseda ditahan di bawah tahanan rumah, menurut sebuah laporan oleh lembaga pemikir non-partisan Pusat Analisis Kebijakan Eropa (CEPA) dilansir dari The Jerusalem Post pada Sabtu (19/3/2022).
Divisi Kelima Dinas Intelijen FSB Rusia bertanggung jawab untuk informasi intelijen kepada Presiden Rusia Vladimir Putin tentang Ukraina menjelang perang. “Sepertinya dua minggu perang, Putin sadar bahwa dia benar-benar melakukan kesalahan. Kementerian, takut akan tanggapannya, dan hanya akan memberi tahu Putin apa yang ingin dia dengar,” tulis jurnalis investigasi Rusia Irina Borogan dan Andrei Soldatov dalam laporan CEPA. Kedua wartawan menambahkan bahwa mereka telah memantau Departemen Informasi Operasi (DOI), cabang intelijen asing FSB, sejak didirikan sebagai direktorat pada akhir 1990-an.
Pihak Rusia belum mengonfirmasi laporan bahwa Kolonel Jenderal Beseda berada di bawah tahanan rumah. Beseda juga menjadi sasaran sanksi yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa pada 2014, ketika konflik pecah di Ukraina dan Rusia menduduki Krimea.
Pada Sabtu (19/3/2022), seorang pejabat AS mengatakan kepada The Wall Street Journal bahwa laporan-laporan soal Beseda yang ditempatkan di bawah tahanan adalah “kredibel”. Pejabat itu juga mengeklaim perpecahan terjadi antara FSB dan Kementerian Pertahanan Rusia mengenai invasi ke Ukraina. Sementara laporan media asing dan pejabat asing menunjukkan bahwa pihak pertama Rusia pada awalnya meyakini dapat mengambil alih Kyiv, ibu kota Ukraina, dalam hitungan hari.
Akan tetapi, hampir sebulan kemudian pasukan Rusia masih gagal melakukannya, karena perlawanan yang kuat dari Ukraina dan bantuan Barat mengalir ke negara itu. “Sulit membayangkan beberapa intelijen senior (Rusia) berbicara dengan Putin dan tidak memberi tahu Putin apa yang ingin dia dengar, terutama jika itu keyakinan yang dipegang teguh (keunggulan dalam perang), keyakinan Putin tentang Ukraina,” kata Jeffrey Edmonds, mantan pejabat CIA dan Dewan Keamanan yang memiliki pengetahuan khusus di kawasan itu.
Vladimir Osechkin, seorang aktivis hak asasi manusia Rusia yang diasingkan, mengonfirmasi penahanan intelijen tersebut kepada The Times. Dilaporkan juga bahwa petugas FSB menggeledah lebih dari 20 alamat di sekitar Moskwa dari sesama petugas FSB, yang dicurigai melakukan kontak dengan wartawan. “Dasar formal untuk melakukan penggeledahan ini adalah tuduhan penggelapan dana yang dialokasikan untuk kegiatan subversif di Ukraina.
Alasan sebenarnya adalah informasi yang tidak dapat diandalkan, tidak lengkap, dan sebagian palsu tentang situasi politik di Ukraina,” tambah Osechkin. Dia juga menganalisis laporan pelapor yang diklaim ditulis oleh FSB beberapa terakhir di situs web miliknya “Gulagu.ru”. Di dalamnya, seorang analis FSB menulis “sekarang mereka (Kremlin) secara metodis menyalahkan kami (FSB). Kami dicerca karena analisa yang kami berikan”.
Sejumlah pejabat pendukung pemerintah telah dicopot dari posisi mereka di tengah serangan Rusia ke Ukraina. Ini termasuk Jenderal Roman Gavrilov, dengan laporan media Rusia terpecah tentang apakah dia dipecat atau mengundurkan diri. Penyelidik Bellingcat Christo Grozev melaporkan bahwa Gavrilov ditahan juga, mungkin karena “kebocoran (informasi) militer yang menyebabkan hilangnya nyawa.”
Sementara itu dari Kyiv, Ukraina mengumumkan telah membunuh salah satu komandan paling senior Rusia, yang akan menjadi kematian kelima jenderal dari pasukan Vladimir Putin sejak invasi Rusia ke Ukraina dimulai.
Dilansir dari Newsweek pada Sabtu (19/3/2022), staf Umum Angkatan Bersenjata Ukraina mengatakan Letnan Jenderal Andrei Mordvichev, Komandan Angkatan Darat Umum ke-8 Distrik Militer Selatan Angkatan Bersenjata Rusia, telah tewas. Pernyataan itu tidak mengatakan di mana dia meninggal. Tetapi mantan penasihat kandidat presiden Oleksiy Arestovych mengatakan dia terbunuh ketika pasukan Ukraina menyerang sebuah lapangan terbang di Chornobayivka, di wilayah Kherson, menurut laporan Interfax. Berita itu juga dilaporkan oleh Kyiv Independent dan sejumlah outlet Barat. Kementerian pertahanan Rusia, yang telah dihubungi Newsweek untuk dimintai komentar, belum mengonfirmasi kematian Mordvichev, sikapnya sesuai dengan penanganan sebagian besar klaim sebelumnya oleh Ukraina tentang kematian beberapa jenderal.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah memperingatkan bahwa hanya negosiasi dirinya dan Presiden Vladimir Putin yang bisa mengakhiri invasi Rusia . Menurutnya, jika negosiasi gagal, itu berarti Perang Dunia III . Zelensky berbicara kepada Fareed Zakaria dari CNN tentang keadaan perang hari ini, dan pihaknya membahas prospek negosiasi dengan Putin. “Dialog adalah satu-satunya jalan keluar,” katanya. “Pasukan Rusia datang untuk memusnahkan, membunuh kami,” katanya lagi, Senin (21/3/2022)
“Saya pikir hanya kita berdua, saya dan Putin, yang bisa membuat kesepakatan tentang ini,” ujarnya
“Jika upaya ini gagal, itu berarti ini adalah Perang Dunia III,” imbuh Zelensky. Masalahnya di sini adalah menemukan kompromi yang akan diterima oleh kedua pemimpin. Zelensky menjelaskan bahwa dia tidak akan menerima kesepakatan di mana Ukraina melepaskan wilayahnya. “Kita harus membuat model di mana Ukraina tidak akan kehilangan kedaulatannya, integritas teritorialnya,” katanya.
Dalam berita suram yang sama, Rusia telah memberikan ultimatum kepada kota yang terkepung, Mariupol, hingga dini hari tanggal 21 Maret waktu setempat, untuk menyerah.
Kota ini telah dibombardir berat selama beberapa hari, di mana ribuan warga sipil terperangkap di dalamnya. Rusia mengeklaim akan mengizinkan mereka pergi, jika kota itu menyerah. Pasukan Rusia terus menggempur kota-kota besar Ukraina, di mana ledakan baru mengguncang Ibu Kota Ukraina Kyiv—atau Kiev—dan situasi di Mariupol semakin putus asa.
Wali Kota Kyiv Vitali Klitschko mengatakan satu bom menghantam beberapa rumah dan pusat perbelanjaan di Distrik Podilskyi, menewaskan sedikitnya satu orang. Video pertama dari pengeboman itu telah diunggah di media sosial oleh Kira Rudik, anggota Parlemen Ukraina. The Kyiv Independent melaporkan bahwa itu adalah rekaman dari kamera keamanan pusat perbelanjaan, dan menunjukkan serangan yang disebutkan oleh Klitschko. “Begitu dekat. Sangat menakutkan. Ledakan lagi dan lagi. #Kyiv,” tulis Kira Rudik via akun @kiraincongress.
Sementara itu, Ukraina telah menolak permintaan Rusia agar Mariupol menyerah pada pukul 05.00 pagi. Wakil Perdana Menteri Iryna Vereshchuk mengatakan menyerah “bukanlah pilihan”, dan menuntut Rusia mengizinkan koridor kemanusiaan didirikan sehingga warga sipil dapat mengungsi. Dalam ultimatumnya, Rusia mengatakan hanya akan mengizinkan koridor seperti itu jika kota itu menyerah.
he Financial Times telah menerbitkan laporan mengerikan yang menguraikan betapa mengerikannya kondisi di lapangan. Penduduk Mariupol yang kelaparan dilaporkan mulai membunuh anjing-anjing liar untuk dimakan. “Anda mendengar kata-katanya tetapi tidak mungkin untuk benar-benar menerimanya, untuk percaya ini terjadi,” kata Dmytro, yang berhasil keluar dari Mariupol tetapi telah mendengar cerita horor dari teman-temannya yang tertinggal. “Ini adalah neraka di Bumi,” katanya. Dia mengatakan dirinya mengunjungi pasar pusat kota itu seminggu yang lalu setelah dihancurkan oleh artileri.
Harga-harga barang di Rusia mulai dilaporkan mengalami kenaikan cukup tajam. Hal ini terjadi pasca sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara Barat setelah Moskow meluncurkan serangan ke Ukraina hampir sebulan yang lalu.
Kenaikan mulai dilaporkan di beberapa barang seperti pangan. Al Jazeera memberitakan hal ini dikarenakan gangguan rantai pasok barang-barang impor ke negara itu, di mana Rusia masih bergantung pada pasokan dari luar negeri.
Selain itu, turunnya nilai mata uang ruble juga menjadi alasan kenaikan ini. Sebelumnya satu dollar Amerika Serikat (AS) bernilai 75 ruble namun saat ini menjadi 100 ruble.
“Manisan sebelumnya dijual dengan harga 70 ruble, sekarang 100. Ini juga terjadi di beberapa pasokan seperti ayam,” ujar salah satu warga Rusia yang berbelanja di pasar Moskow, dikutip Senin, (21/3/2022).
Tak hanya pangan, alat-alat berat seperti onderdil kendaraan dan juga peralatan industri lainnya mengalami kelangkaan akibat sanksi yang melarang ekspor ke negara itu. Sebelum sanksi, Rusia diketahui mengimpor 81% alat-alat industrinya.
Bahkan di sektor seperti komunikasi, Negeri Beruang Putih itu mengimpor hampir 86% peralatannya dari luar negeri, utamanya negara Barat. Di sektor perbankan, industri keuangan negara itu menggantungkan 90% operasinya pada teknologi Barat.
“Ambisi Rusia mulai menunjukkan hal yang tidak realistis karena ekonominya yang kecil tidak mampu mendorongnya untuk memproduksi alat-alat teknologi tinggi yang kompleks,” terang spesialis ekonomi Rusia di German Institute for International dan Security Affairs kepada Wall Street Journal.
Sebelumnya, pelemahan ekonomi Rusia, sudah diprediksi sejumlah pihak. Ini karena sanksi yang diberikan karena serangan ke Ukraina 24 Februari.
Goldman Sachs telah menaikkan perkiraan akhir tahun untuk inflasi Rusia menjadi 17% (yoy) dari proyeksi sebelumnya 5%. CBR, bank sentral. mungkin dipaksa untuk menaikkan suku bunga lebih banyak guna menjaga stabilitas.
Pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan akan terpukul parah. Raksasa Wall Street memangkas perkiraan PDB 2022 dari ekspansi 2% menjadi kontraksi alias minus 7% (yoy). Hal sama juga diramal JP Morgan. Di kuartal kedua (Q2) 2022 ini, negeri Presiden Vladimir Putin diyakini akan mengalami negatif 35% di Q2 ini.
“Kejutan menyiratkan potensi output yang lebih rendah, yang akan disertai dengan lonjakan harga. Krisis kredit akan menambah rasa sakit, meskipun ada tanda-tanda bahwa penurunan di bank berkurang.”
Sebuah laporan mengklaim bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin telah memecat 1.000 staf pribadinya karena takut mereka akan mencoba meracuninya. Presiden Rusia itu dilaporkan telah mengganti ratusan staf pribadinya karena paranoianya, termasuk juru masak, sekretaris, pekerja binatu, dan pengawal. Putin juga mendapat cemoohan dalam beberapa pekan terakhir karena ia telah mengadakan pertemuan tidak hanya dengan para pemimpin asing, tetapi juga dengan lingkaran dalamnya sendiri dari jarak yang hampir sangat jauh. Ini merujuk pada keberadaan meja yang panjang.
Beberapa jet pribadi milik oligarki Rusia juga terlihat menuju ke Dubai, menimbulkan pertanyaan tentang keamanan domestik Putin di Moskow. Seorang agen intelijen Prancis mengklaim bahwa ada kemungkinan bahwa Putin akan dilengserkan dari kekuasaan melalui kudeta yang datang dari dalam Kremlin, dengan pembunuhan sebagai salah satu cara untuk mewujudkannya.
Mengingat bahwa tokoh politik senior telah secara terbuka mendorong orang-orang yang dekat dengan Putin untuk mencoba dan membunuhnya, tampaknya ketakutan Putin bukannya tidak berdasar. Agen intelijen Prancis mengklaim bahwa racun tentu saja merupakan cara yang mungkin bagi Putin untuk dibunuh jika itu yang terjadi.
Pemerintah Rusia diketahui menggunakan racun, misalnya dalam kasus peracunan Sergei dan Yulia Skripal dengan racun saraf novichok di Salisbury pada tahun 2018. Lima jenderal Rusia sejauh ini juga dilaporkan telah tewas, dengan ribuan tentara Rusia juga dilaporkan bernasib sama.
Seorang jurnalis Rusia, yang sempat muncul secara tiba-tiba dan memprotes perang Ukraina saat siaran langsung program berita TV, mengatakan orang-orang Rusia sudah “dihipnosis” oleh propaganda pemerintah. Marina Ovsyannikova berbicara langsung kepada BBC. Dia mengatakan orang Rusia harus berhenti mendengarkan liputan media pemerintah. “Saya mengerti, sulit untuk menemukan informasi alternatif, tetapi Anda perlu mencoba mencarinya,” katanya.
Ovsyannikova adalah seorang editor di Channel 1, saluran televisi yang dikendalikan pemerintah. Dia ditahan setelah melakukan aksinya pada Senin (13/3/2022). Dia berlari ke lokasi salah satu program berita Rusia yang paling banyak ditonton, Vremya, memegang papan bertuliskan: “Tidak boleh ada perang, hentikan perang, jangan percaya propaganda, mereka di sini berbohong kepada Anda.” Dia juga terdengar mengulangi kata-kata “tidak boleh ada perang, hentikan perang”. “Saya sadar jika saya pergi untuk berdemo di pusat kota (Moskwa), saya akan ditangkap seperti orang lain dan dilempar ke dalam mobil polisi, lalu diadili,” kata Ovsyannikova pada Kamis (17/3/2022). “Setengah poster berbahasa Rusia, setengah poster lagi berbahasa Inggris. Saya benar-benar ingin menunjukkan kepada penonton Barat bahwa orang-orang Rusia pun menentang perang,” katanya. “Saya merasa punya tanggung jawab. Saya pernah menjadi roda penggerak dalam mesin propaganda. Sampai saat terakhir, saya tidak terlalu memikirkannya,” katanya.
Ovsyannikova juga menanggapi berbagai tuduhan media Rusia tentang motivasinya melakukan aksi tersebut. “Ada banyak teori konspirasi yang dibangun terhadap saya,” katanya. “Itulah mengapa saya harus menjelaskan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi, fakta bahwa saya hanya seorang perempuan Rusia yang biasa, tetapi saya tidak bisa tetap diam.”
Sebelum melakukan aksinya, Ovysyannikova merekam sebuah video dan mengatakan dia malu bekerja untuk “propaganda Kremlin”. Dia mengaku ditahan dan diinterogasi oleh polisi selama 14 jam dan didenda 30.000 rubel (senilai Rp 4 juta) karena video tersebut. Pihak berwenang yakin Ovysyannikova bertindak atas nama orang lain, katanya. “Tidak ada yang percaya itu adalah keputusan pribadi saya. Mereka menduga aksi saya itu disebabkan konflik di tempat kerja, kerabat yang marah tentang Ukraina, atau negara-negara Barat secara khusus meminta saya melakukannya.”
“Mereka tidak percaya bahwa saya memiliki begitu banyak keberatan terhadap pemerintah, sehingga saya tidak bisa lagi tinggal diam,” katanya.
Berita televisi Pemerintah Rusia telah lama dikendalikan oleh Kremlin dan sudut pandang independen jarang ada di semua saluran utama. Karyawan organisasi berita yang dikendalikan negara juga tidak biasa mengungkapkan pendapat yang berbeda terhadap posisi resmi Kremlin.
Sejak perang di Ukraina dimulai, sejumlah jurnalis telah mengundurkan diri dari saluran TV top Rusia: Zhanna Agalakova dari Channel 1 serta Lilia Gildeyeva dan Vadim Glusker dari NTV. Media Rusia yang dikendalikan pemerintah menyebut perang itu sebagai “operasi militer khusus” dan menyatakan Ukraina sebagai pihak yang menyerang dan menggambarkan pemerintah terpilih Ukraina sebagai neo-Nazi”.
Aksi Marina Ovsyannikova yang langsung masuk ke ruang siaran berita malam Senin untuk memprotes perang di Ukraina dan propaganda di seputarnya, telah memicu gelombang pengunduran diri di saluran TV yang dikontrol ketat Pemerintah Rusia. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mengucapkan terima kasih, meminta siapa pun yang bekerja untuk “sistem propaganda Rusia” agar mengundurkan diri. Zelensky memperingatkan setiap jurnalis yang bekerja di “pilar keempat kekuasaan”, berisiko terkena sanksi dari pengadilan internasional karena “membenarkan kejahatan perang”.
Beberapa pendukung Presiden Vladimir Putin di TV yang dikelola pemerintah telah menghadapi sanksi, termasuk Vladimir Solovyov yang menghadirkan acara bincang-bincang di saluran terbesar Rusia Rossiya-1, dan Margarita Simonyan yang menuduh siapa pun yang malu menjadi orang Rusia pada saat ini bukanlah orang Rusia sebenarnya. Beberapa jam setelah aksi Marina Ovsyannikova, terungkap tiga pengunduran diri.
Seorang jurnalis Channel 1, Zhanna Agalakova, berhenti dari pekerjaannya sebagai koresponden Eropa, sementara dua jurnalis meninggalkan NTV. Mereka adalah Lilia Gildeyeva, yang bekerja untuk NTV sebagai presenter sejak 2006, dan Vadim Glusker, yang bekerja di NTV selama hampir 30 tahun. Menurut desas-desus yang beredar, para jurnalis di grup TV pemerintah All-Rusia VGTRK juga bersiap keluar. Jurnalis Roman Super mengatakan orang-orang berhenti dari Vesti secara massal, meskipun kebenaran hal itu belum bisa dikonfirmasi. Namun, pembawa acara TV terkenal Sergey Brilev membantah laporan bahwa dia telah mengundurkan diri. Dia berdalih melakukan perjalanan bisnis selama lebih dari seminggu.
Pengunduran diri Maria Baronova dari RT, sebelumnya dikenal sebagai Russia Today, juga banyak menyita perhatian. Bulan ini, mantan pemimpin redaksi di RT mengatakan kepada wartawan BBC Steve Rosenberg, bahwa Putin telah menghancurkan reputasi dan ekonomi Rusia. Sejumlah jurnalis RT lainnya juga telah mengundurkan diri, termasuk jurnalis non-Rusia yang bekerja untuk layanan bahasanya. Mantan koresponden London Shadia Edwards-Dashti mengumumkan pengunduran dirinya, tepat pada hari Rusia menginvasi Ukraina, tanpa memberikan alasan. Jurnalis yang berbasis di Moskwa, Jonny Tickle, berhenti pada hari yang sama “karena peristiwa baru-baru ini”.
Presenter RT Perancis Frederic Tadde mengatakan, dia meninggalkan acaranya karena Perancis terlibat “dalam konflik terbuka” dengan Rusia dan dia tidak dapat melanjutkan menjadi pembawa acara programnya Forbidden to Forbid “karena kesetiaan kepada negara”. Beberapa hari kemudian, Uni Eropa mengatakan pihaknya melarang semua outlet RT dan Sputnik karena “kampanye disinformasi, manipulasi informasi, dan distorsi fakta”. Kantor berita negara Rusia yang berbasis di Jerman, Ruptly, juga mengalami serentetan pengunduran diri, menurut kantor berita Reuters. Sementara itu, media non-pemerintah Rusia terus-menerus diserang selama bertahun-tahun, sehingga banyak jurnalis yang bekerja di bawah ancaman kehilangan mata pencarian di outlet independen, tidak akan terkesan dengan pengunduran diri saat ini.
Beberapa di antaranya sudah dilabeli agen asing sejak era Soviet.
Dozhd (TV Rain), yang dipaksa keluar dari TV arus utama pada 2014, harus menghentikan siaran online-nya karena invasi Rusia dan sejumlah jurnalisnya telah meninggalkan negara itu dari demi keselamatan mereka. Siaran radio Ekho Moskvy juga dihentikan, di tengah kekhawatiran undang-undang baru Rusia tentang informasi palsu. BBC Rusia termasuk di antara sejumlah media Barat yang dilarang, sementara jurnalis yang bekerja untuk Meduza yang berbasis di Latvia dipaksa keluar dari Rusia. Bukan hanya jurnalis yang menghilang dari TV pemerintah. Salah satu pembawa acara bincang-bincang terbesar di Rusia, Ivan Urgant, memutuskan beristirahat sejenak dari acara Evening Urgant pada jam tayang utama di saluran terbesar kedua Rusia, Channel 1, stasiun yang sama dengan Marina Ovsyannikova.
Dia bereaksi terhadap perang dengan mengunggah pesan sederhana berlatar hitam di akun Instagramnya: “Ketakutan dan kesakitan. Tidak boleh ada perang.” Sejak itu dia mengatakan kepada para pengikutnya untuk tidak panik. Dia juga menyatakan sedang berlibur dan akan segera kembali. Pasangan selebriti nomor satu Rusia Alla Pugacheva dan Maxim Galkin termasuk di antara sejumlah tokoh dunia hiburan lain yang juga pergi berlibur. Galkin mengatakan di Instagram: “Tidak ada pembenaran untuk perang! Tidak boleh ada Perang!”
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melakukan tindakan drastis dalam menanggapi serangan Rusia ke Ukraina. Zelensky melarang aktivitas 11 partai politik yang diyakini pro-Rusia. Pada video yang diposting, Sabtu (19/3/2022), Zelensky mengungkapkan daftar nama partai politik yang aktivitasnya dilarang.
Salah satunya adalah Platform Oposisi Untuk Kehidupan, partai pro-Rusia terbesar dan memiliki perwakilan di parlemen Ukraina.
Partai lainnya yang dilarang adalah Partai Blok Oposisi, Partai Shariy, Partai Kita, Partai Oposisi Kiri, Partai Persatuan Kiri, Partai Negara, Partai Sosialis Progresif Ukraina, Partai Sosialis Ukraina, Partai Sosialis, dan Partai Blok Vladimir Saldo.
Kementerian Kehakiman Ukraina dilaporkan akan segera memberlakukan larangan tersebut. Dikutip dari The Free Press Journal, Zelensky menegaskan larangan itu diberlakukan selama darurat militer.
“Setiap aktivitas apa pun dari politisi yang bertujuan memecah belah (masyarakat), atau berkolaborasi dengan musuh, tak akan berhasil. Tetapi mereka akan menghadapi respons yang sulit,” ujar Zelensky dalam video yang dirilis.
“Oleh sebab itu, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional memutuskan, mengingat perang skala penuh yang dilancarkan Rusia, dan hubungan yang dimiliki beberapa organisasi politik dengan negara itu, aktivitas apa pun dari sejumlah partai politik akan dihentikan, menunggu darurat militer,” tambahnya. Pada awal Februari, sebelum penyerangan dilakukan Rusia ke Ukraina, Zelensky telah menghentikan operasi tiga stasiun TV.
Ia mengungkapkan ketiga stasiun TV tersebut telah dibayar Rusia untuk menyebarkan propaganda. Zelensky pun menegaskan ketiga stasiun TV itu juga menjadi pengeras suara dari partai pro-Rusia.
Pertempuran antara Rusia vs Ukraina masih bergejolak. Sejak awal invasi Negeri Beruang Merah ke Ukraina pada 24 Februari lalu, korban perang kian berjatuhan.
Saat ini pertempuran tidak hanya melibatkan kekuatan tempur masing-masing negara, tetapi melibatkan kelompok lain, mulai dari pasukan khusus sampai relawan internasional.
Pertama, Pasukan Militer Rusia. Berdasarkan Global Fire Power, saat ini Rusia sendiri menduduki peringkat kedua dari total 140 negara yang memiliki pasukan militer. Negeri Beruang Merah itu memiliki total 1,35 juta serdadu yang terdiri dari 850 ribu prajurit aktif, 250 ribu tentara cadangan, dan 250 ribu sisanya paramiliter. Rusia memiliki 4.173 pesawat tempur dan lebih dari 2.000 helikopter. Mereka juga memiliki 12.420 tank, 3.391 peluncur roket, dan 70 kapal selam. Sampai pertengahan Maret ini, Rusia telah mengirim 190 ribu serdadu ke perbatasan Ukraina.
Kedua, Pasukan Milter Ukraina. Ukraina memiliki 42 pesawat tempur, lima pesawat misi khusus, 111 helikopter, dan 34 helikopter serang. Sebagian besar alat utama sistem pertahanan (alutsista) Ukraina juga berasal dari teknologi bekas Uni Soviet. Dari segi pertahanan darat Ukraina memiliki 2.430 tank, 11.435 kendaraan lapis baja, 785 artileri otomatis, dan 550 proyektor roket. Untuk kekuatan laut, Ukraina memiliki 25 kapal militer, tidak memiliki kapal induk dan kapal selam, serta tak memiliki kapal penghancur, satu fregat, dan 11 kapal patroli.
Ketiga, Pasukan Chechen Rusia. Rusia mengirim ribuan pasukan Chechen dari Republik Chechnya untuk membuat pejuang Ukraina gentar. Pakar dari agensi pertahanan intelijen Janes, James Rands, mengatakan keberadaan pasukan Chechen diyakini mampu menambah teror psikis terhadap para pejuang Ukraina. “Rusia begitu getol memperlihatkan video mereka (Chechen). Mereka ngunggah video para pasukan Chechen tengah salat di dalam hutan,” ujar James seperti dikutip dari iNews.
Chenchen memiliki perawakan yang berbeda, mereka memiliki jenggot tebal dengan badan besar. Mereka tidak seperti bangsa Slavia. Chechen dikenal dengan reputasinya yang amat brutal dalam membasmi pemberontak.
Keempat, Resimen Azov Ukraina. Batalion Azov atau yang dikenal dengan Resimen Azov merupakan paramiliter atau pasukan milisi relawan Ukraina yang didirikan pada Mei 2014. Para batalion yang sebagian besar bermarkas di Kota Mariupol merupakan kelompok militer yang terlatih dengan baik dan terdiri dari nasionalis dan radikal sayap kanan. Rusia pun menuduh Batalion Azov sebagai kelompok ekstremis Neo-Nazi yang mengganggu stabilitas keamanan di negara mereka. Mulanya, Azov merupakan milisi sukarelawan yang dibentuk di kota Berdyansk untuk mendukung tentara Ukraina dalam memerangi separatis pro-Rusia di Ukraina timur. Beberapa pejuangnya berasal dari kelompok sayap kanan Pravyi (Sektor Kanan), yang anggota intinya merupakan warga Ukraina timur dan berbicara bahasa Rusia. Kelompok itu juga sempat menganjurkan persatuan bangsa Slavia Timur yang terdiri dari Rusia, Belarusia, dan Ukraina. Kala itu, para pejuang Azov terdiri dari pendukung sepak bola dan yang lainnya dari kalangan nasionalis.
Kelima, Tentara Bayaran Rusia Wagner Group. Tentara Bayaran Rusia Wagner Group merupakan pasukan yang dibayar oleh Rusia untuk membantunya melawan Ukraina. Kehadiran Wagner Group bukanlah sebuah kejutan karena mereka sudah beberapa kali menjalin kedekatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Wagner Group dituding menjadi bagian dari upaya separatisme di Luhansk dan Donetsk agar berpisah dari Ukraina. Mereka juga ditengarai terlibat pertempuran di beberapa negara Afrika seperti Libya, Suriah, Mozambique, Mali, Sudan, dan Republik Afrika Tengah.
Berdasarkan laporan Uni Eropa, Wagner Group dibentuk oleh mantan tentara Rusia Dmitry Utkin pada 2014 sebagai organisasi militer swasta. Ia pernah bertugas sebagai agen Badan Intelijen Federal Rusia (GRU) dengan pangkat Letnan Kolonel.
Pada 2016, Utkin pernah diundang oleh Putin ke Istana Kremlin pada sebuah acara penyerahan penghargaan bagi tentara yang bertugas di Ukraina dua tahun sebelumnya. Seorang pengusaha Rusia Yevgeny Prigozhin dikabarkan menjadi salah satu pengalir dana operasional Wagner Group, sekaligus menyediakan amunisi dan pesawat udara. Sayangnya, belum ada informasi jelas besaran anggaran Wagner Group dan upah anggotanya.
Keenam, Milisi asal Suriah Putin disebut setuju untuk merekrut sukarelawan dari Timur Tengah, khususnya Suriah untuk membantu pasukan Negeri Beruang Merah melawan Ukraina demi merebut Kyiv. Proses perekrutan disebut telah berlangsung di berbagai wilayah Suriah. Pada Jumat (11/3), Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengungkapkan terdapat 16 ribu pendaftar asal Timur Tengah. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci daftar negara yang ikut berpartisipasi.
Sejumlah aktivis oposisi Suriah mengatakan Rusia baru-baru ini memulai upaya perekrutan di Suriah untuk perang Ukraina. Namun sejauh ini skala upaya tersebut dalam jumlah yang jauh lebih rendah. Aktivis Omar Abu Layla mengatakan perekrutan yang dijalankan oleh Kelompok Wagner telah berlangsung selama berhari-hari di provinsi timur Deir el-Zour dekat perbatasan dengan Irak. Abu Layla mengatakan bahwa puluhan orang telah mendaftar di provinsi tersebut.
Dia juga mengklaim Rusia menawarkan sukarelawan dari negara bayaran sebesar $200 dan $300 untuk beroperasi sebagai penjaga keamanan di Ukraina selama enam bulan.
Ketujuh, relawan internasional Pro-Ukraina. Wakil Menteri Dalam Negeri Ukraina, Yevhen Yenin, mengatakan Ukraina telah membentuk legiun internasional dari relawan asing, Selasa (8/3) lalu. Kombatan asing yang bertarung melawan Rusia juga diizinkan untuk mendaftarkan diri menjadi warga negara Ukraina.
“Ukraina membentuk Legiun Internasional Pertahanan Wilayah yang beranggotakan warga asing yang ingin bergabung melawan agresor Rusia dan mempertahankan keamanan global,” kata Yenin dalam media pemerintah Ukraina, Ukrinform, dikutip dari CNN. Tak hanya itu, Yenin mengklaim orang yang mendaftar ke unit tersebut juga semakin meningkat. Meski demikian, CNN belum bisa mengonfirmasi jumlah tersebut.
Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan larangan impor minyak dari Rusia dapat menimbulkan krisis pasokan terbesar dalam beberapa dekade.
Lembaga tersebut mengatakan Rusia merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia yakni mencapai 8 juta barel per hari.
Dengan dijatuhkannya sanksi larangan impor minyak dari Negeri Beruang Merah itu, ancaman krisis pasokan minyak global tak terhindarkan. “Kami memperkirakan bahwa mulai April, 3 juta barel per hari produksi minyak Rusia dapat dihentikan karena sanksi berlaku dan pembeli menghindari ekspor,” kata IEA seperti dikutip dari CNN Business, Rabu (16/3). “Implikasi dari potensi hilangnya ekspor minyak Rusia ke pasar global tidak dapat diremehkan,” tambah IEA.
Lembaga yang berbasis di Paris itu juga menuturkan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) saat ini tengah berupaya meningkatkan pasokan untuk setiap bulannya. Hanya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) yang memiliki kapasitas cadangan substansial yang dapat menutupi kekurangan pasokan minyak dari Rusia.
OPEC telah menghadapi seruan untuk meningkatkan produksi di tengah melonjaknya harga energi.
Dalam pertemuan terakhirnya, organisasi tersebut sepakat untuk tetap pada rencana mereka, yakni meningkatkan produksi sebanyak 400 ribu barel per hari, secara bertahap.
Lebih lanjut, IEA juga mengatakan lonjakan harga komoditas dan sanksi internasional kepada Rusia dapat menekan pertumbuhan ekonomi global. “Melonjaknya harga komoditas dan sanksi internasional yang dikenakan terhadap Rusia setelah invasinya ke Ukraina, diperkirakan cukup menekan pertumbuhan ekonomi global,” ungkapnya.
Pemerintah Rusia telah mengancam untuk membayar pemegang obligasi internasional dalam mata uang rubel dan bukan dolar AS, beberapa hari sebelum jatuh tempo.
Anton Siluanov, menteri keuangan Rusia, mengatakan pada hari Minggu bahwa akan “benar-benar adil” bagi Rusia untuk melakukan semua pembayaran utang negaranya dalam rubel sampai sanksi barat yang dia klaim telah membekukan US$ 300 miliar cadangan devisa Rusia dicabut.
Moskow dijadwalkan untuk melakukan pembayaran bunga senilai US$ 117 juta atau setara dengan Rp 1,68 triliun (Rp 14.350/US$) Rabu ini pada dua obligasi berdenominasi dolar, menurut JPMorgan. Kontrak obligasi tidak memberikan Rusia pilihan untuk membayar dalam rubel, menurut bank Wall Street tersebut.
Peringatan terbaru kepada pemegang obligasi asing tersebut meningkatkan kemungkinan negara itu akan gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan Rusia pada tahun 1998 kepada investor domestik, sedangkan untuk pemegang obligasi asing, ini merupakan yang pertama sejak lebih dari seabad lalu.
“Kita perlu membayar impor [untuk barang-barang] kritis [seperti] makanan, obat-obatan, berbagai macam barang vital lainnya,” kata Siluanov dalam wawancara dengan televisi pemerintah, dilansir Financial Times. “Tetapi utang yang harus [pemerintah] bayar ke negara-negara yang tidak bersahabat dengan Federasi Rusia dan telah membatasi penggunaan cadangan mata uang asing – [pemerintah Rusia] akan melunasi utang ke negara-negara tersebut dalam mata uang rubel,” katanya.
Siluanov mengatakan bahwa hampir setengah dari cadangan devisa Rusia yang totalnya senilai US$ 643 miliar telah terkena sanksi, tetapi tidak mengungkapkan denominasi dan yurisdiksi di mana Rusia memegang mata uang asing tersebut.
Investor telah bersiap untuk Rusia mengalami gagal bayar (default), dengan kedua obligasi diperdagangkan sekitar 20 sen per dolar. Moskow akan memiliki masa tenggang (grace period) 30 hari untuk melakukan pembayaran kupon.
Selain kondisi utang yang kemungkinan gagal dibayarkan, akibat kondisi pasar keuangan yang amburadul, puluhan perusahaan manajemen aset harus membekukan dana dengan eksposur ke Rusia yang signifikan, sementara beberapa yang lain harus rela nilai asetnya turun tajam.
Ada eksodus dari aset Rusia sejak invasi, karena AS dan Uni Eropa telah berusaha memutuskan hubungan Rusia dengan sistem keuangan global. Pasar saham Moskow telah ditutup sejak 28 Februari, sementara saham perusahaan Rusia yang terdaftar di luar negeri juga ikut anjlok. Rubel turun lebih dari 45% tahun ini, dan dapat menandai penurunan tahunan terbesar sejak 1998, ketika Rusia gagal membayar utang dalam mata uang lokalnya.
Direktur pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam wawancara dengan stasiun televisi AS Minggu (13/3) kemarin mengatakan bahwa “dalam hal pembayaran kewajiban utang, saya dapat mengatakan bahwa kita tidak lagi menganggap default Rusia sebagai peristiwa yang mustahil”.
Pandangan investor barat terhadap kemampuan Moskow untuk membayar utangnya telah berubah drastis. Sebelum menyerang Ukraina dan dikenakan sanksi ekonomi, Rusia diberi peringkat layak investasi di Fitch, S&P Global, dan Moody’s Investors Service – tiga lembaga pemeringkat utama – hingga 25 Februari.
Awal Februari lalu, Rusia menyimpan US$ 311 miliar cadev dalam sekuritas asing, US$ 152 miliar dalam bentuk tunai dan deposito di bank asing, US$ 30 miliar dalam penerimaan setoran khusus di IMF, dan tambahan US$ 132 miliar dalam bentuk emas. Rusia telah memangkas kepemilikan dolarnya dari 45% dari total saham pada 2013-setahun sebelum sanksi barat pertama atas aneksasi Krimea-menjadi hanya 16,4% pada 2021.
Bank sentral menerbitkan data tentang struktur cadangan devisa Rusia dengan jeda setidaknya enam bulan. Pada Juni 2021, euro membentuk 32,3% kepemilikan Rusia, renminbi 13,1%, poundsterling 6,5%, mata uang lain 10%, dan emas 21,7%.
China memegang 14,2% dari cadangan Rusia, terbesar dari negara lain, dengan Jepang memegang 12,3% dan Jerman 11,8%.
Siluanov mengklaim negara-negara barat mendorong China untuk membatasi penggunaan cadangan renminbi Rusia, tetapi mengatakan dia yakin Beijing tidak akan tunduk pada tekanan tersebut. “Saya pikir kemitraan kami dengan China akan memungkinkan kami untuk mempertahankan kerja sama yang telah kami capai dan meningkatkannya ketika pasar barat ditutup,” katanya.
Goldman Sachs memprediksi Amerika Serikat (AS) akan memasuki siklus resesi tahun ini akibat inflasi tinggi menyusul serangan militer Rusia ke Ukraina yang membuat masyarakat menahan laju pengeluarannya.
Goldman Sachs memandang, meski tidak terlalu bergantung pada pasokan minyak dan gas dari Rusia, hal tersebut tidak lantas membuat AS kebal dari kemungkinan terjadinya resesi.
Berkaca pada situasi global yang sedang berlangsung saat ini, Goldman Sachs telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS di sepanjang 2022. Dalam prediksinya, perekonomian AS bahkan dinilai tidak akan mengalami pertumbuhan pada Kuartal I 2022.
Ekonom Goldman, yang dipimpin oleh Jan Hatzius mengatakan, “kemungkinan resesi yang terjadi di AS sampai tahun depan telah meningkat hingga 35 persen.” Goldman Sachs mencatat, berdasarkan data real-time milik Ipsos dan Morning Consult, menunjukkan adanya penurunan yang jelas dalam kepercayaan konsumen semenjak Rusia menginvasi Ukraina.
Sebelumnya diberitakan, Goldman Sachs akan menghentikan operasionalnya di Rusia. Bank investasi Amerika Serikat (AS) ini menjadi anggota Wall Street pertama yang menjauhkan diri dari Moskow setelah invasi ke Ukraina.
Selanjutnya, Goldman Sachs bakal fokus mendukung klien di seluruh dalam mengelola maupun menutup kewajibannya. Perusahaan juga akan memastikan kesejahteraan karyawannya.
Tangan kanan Presiden Rusia, Vladimir Putin, Anatoly Chubais, mundur dari posisinya sebagai perwakilan lobi-lobi internasional.
Keputusan itu diambil jelang sebulan agresi Rusia di Ukraina. Mengutip Reuters, Chubais langsung meninggalkan Rusia begitu menyatakan mundur.
Sumber Reuters yang tak ingin diungkap identitasnya mengatakan Chubais tak akan kembali lagi ke Rusia.
Sumber itu tidak mengatakan alasan Chubais meninggalkan negaranya. Reuters mencoba meneleponnya, namun tidak dijawab mantan tangan kanan Putin. Chubais merupakan pejabat pangkat tertinggi dan orang dekat di lingkaran Putin. Chubais pernah menjadi kepala staf Presiden Rusia Boris Yeltsin sebelum Putin berkuasa (Red/berbagai sumber).