STRATEGIC ASSESSMENT. Arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat acara Apel Kasatwil 2023 di Jakarta, Rabu (1/11) lalu. Dia menyampaikan, sudah 57 orang ditangkap terkait terorisme pada beberapa waktu terakhir. Polisi harus mengantisipasi teror agar agenda pemilu dan pembangunan dapat berjalan lancar. Polisi juga mewaspadai munculnya sel-sel tidur yang terafiliasi dengan teroris.
“Beberapa waktu lalu dampak dari perang Israel Palestina tentunya juga membangkitkan sel-sel tidur yang terafiliasi dengan teroris dan mau tidak mau kita tentunya harus waspada,” ujar Sigit dalam Apel itu.
Rieke Diah Pitaloka yang merupakan anggota DPR Fraksi PDIP mengkritik Jenderal Sigit. Dia mengatakan kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan Palestina berhak memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Israel. Rieke tidak sependapat bahwa tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza saat ini dianggap berpotensi membangunkan sel tidur terorisme.
“Mohon dengan segala hormat, hentikan menilai tragedi kemanusiaan Gaza berpotensi membangunkan sel terorisme,” kata Rieke, dilansir Antara, Kamis (2/11).
“Sekali lagi, mohon dengan segala kerendahan hati pada siapa pun, jangan menggunakan tragedi kemanusiaan di Gaza sebagai pengalihan isu. Utamanya, soal polemik konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) akhir-akhir ini,” katanya.
Anggota DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, menyebutkan pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo soal dampak perang Hamas dan Israel bisa membangkitkan sel-sel tidur teroris adalah pengalihan isu.
Kritikan Rieke Diah Pitaloka kemudian dibantah oleh Ibnu Athaillah Yusuf Al-Hafidz, pengasuh Ma’hab Baitul Arqom Al Islami, Ciparay-Bandung bahwa penilaian Rieke bahwa pernyataan Sigit soal bangunnya sel-sel tidur terorisme merupakan pernyataan pengalihan isu dinilai Ibnu Athaillah tidak tepat.
“Kami berpendapat bahwa statement Kapolri tersebut adalah kewaspadaan yang memang harus dijalani oleh kepolisian. Bapak Kapolri merupakan pimpinan Kepolisian Negara Repubik Indonesia yang memang harus bersikap waspada tentang keamanan dan ketertiban di Indonesia, apalagi hal ini mencakup keamanan dunia internasional,” kata Ibnu Athaillah.
Sementara itu, Pimpinan Majelis Dzikir Jalur Taubat Kabupaten Bandung, Shohibul Ali Fadhil, membela pernyataan Kapolri. “Di sini tolong kepada Ibu Rieke Diah Pitaloka selaku politikus PDIP, tentunya ibu Rieke ini harus paham kalau Bapak Kapolri menyampaikan seperti itu karena Bapak Kapolri paham lapangan, tahu tentang masyarakat, tahu tentang masalah-masalah yang ada Indonesia ini,” ujar Shohibul Ali Fadhil lewat video yang diterima detikcom, Jumat (3/11/2023). Ali sudah mengizinkan detikcom untuk mengutip videonya.
Ia meminta Rieke tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa mengadu domba. Ali juga meminta pernyataan Jenderal Sigit tidak didramatisasi.
Ali mendukung penuh langkah-langkah dan upaya penindakan Kapolri serta jajarannya terkait terorisme. “Pak Kapolri berjuang demi masyarakat. Bahwasanya Polri mudah-mudahan senantiasa di hati masyarakat,” sambungnya.
Dalam Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian disebutkan bahwa Polri memiliki tujuan untuk ‘mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia’.
Sedangkan, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Ali, menilai Rieke terlampau sensitif menanggapi pernyataan Jenderal Sigit. Soalnya, tugas kepolisian memang menjaga keamanan dalam segala situasi.
Komisi III DPR bermitra dengan institusi Polri. Ahmad Ali menjamin bahwa pihaknya tidak pernah menganggap perjuangan Palestina atau Hamas adalah teroris. Meski begitu, perkembangan situasi di luar negeri tidak dimungkiri bisa saja memengaruhi situasi di dalam negeri. Lagipula, hal yang disampaikan Sigit adalah arahan kepada anggotanya, bukan kepada masyarakat umum.
“Dukungan terhadap Palestina janganlah mengurangi kewaspadaan kita dalam menjaga situasi dalam negeri,” kata Ali.
Soal kritik Rieke yang ingin agar semua pihak tidak mengalihkan perhatian dari kasus Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Ali, itu tidak ada korelasinya dengan pernyataan Sigit.
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mencatat telah menangkap 42 tersangka teror dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sejak Oktober 2023. Para tersangka berencana menggagalkan Pemilu 2024 dengan melakukan sejumlah teror.
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar mengatakan bahwa kelompok teroris ini tergabung dalam suatu grup WhatsApp yang sama. Grup itu diberi nama Muslim United.
Aswin menuturkan dalam grup WhatsApp itu mereka membicarakan terkait kegiatan yang bersinggungan dengan aksi terorisme. Termasuk rencana menggagalkan Pemilu 2024.
Sebelumnya, Densus 88 menangkap sebanyak 40 tersangka terorisme anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Mereka ditangkap di sejumlah wilayah pada tanggal 27 dan 28 Oktober 2023.
Kemudian, pada Rabu (1/11) Densus kembali menangkap 2 tersangka teroris dari kelompok yang sama di Jawa Barat. Total Detasemen berlambang burung hantu itu telah menangkap 42 tersangka terorisme dari kelompok yang dipimpin AO (sebelumnya disebut AU). Aswin mengatakan, kelompok pimpinan AO tersebut merupakan pendukung Negara Islam Indonesia (NII) yang berafiliasi kepada JAD dan ISIS.
Kendati begitu Aswin belum menjelaskan detail soal awal mula radikalisme itu muncul. Dia menuturkan, pihaknya masih melakukan pendalaman mengenai hal tersebut.
Institute for Policy Analysis of Conflict dalam riset berjudul “Indonesian Islamists in the Lead-Up to the 2024 Elections” berisi kelompok Islamis sepertinya memiliki dampak signifikan pada Pemilu 2024 atau menggalang protes dengan cara kekerasan jika Capres yang mereka dukung mengalami kekalahan.
Pemerintahan Jokowi berhasil memarginalisasi kelompok militan Islam. Hasil utama riset ini menyoroti manuver 4 kelompok militan Islam di Indonesia menjelang Pemilu 2024 yaitu FPI, dua organisasi modern berideologi Salafi yaitu Wahdah Islamiyah dan Arrahman Qur’anic Learning (AQL); serta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Beberapa alasan mengapa kelompok militan Islam lebih lemah dibandingkan Pemilu 2019 karena berhasilnya kampanye anti radikalisme, beberapa kelompok dibubarkan dan pemimpinnya ditangkap dan yang lainnya mati suri. Kelompok militan Islam tidak lagi bersatu dan Indonesia tidak mengalami polarisasi agama sejak tahun 2019.