Strategic Assessment, Keputusan baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia untuk mengizinkan kandidat di bawah usia 40 tahun untuk maju sebagai presiden dan wakil presiden pada tahun 2024 telah menimbulkan kontroversi dan memunculkan kekhawatiran tentang pengaruh yang semakin meningkat dari dinasti politik dan oligarki di Indonesia. Keputusan tersebut telah banyak dikritik karena dianggap menguntungkan calon dari partai yang berkuasa, yakni menantu Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dan menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan keadilan MK. Keputusan tersebut juga telah menyoroti masalah yang lebih besar tentang oligarki dan dinasti politik dalam politik Indonesia dan tantangan yang dihadapi oleh generasi muda dalam memeranginya.
Keputusan tersebut telah memicu diskusi dan debat yang intens di antara aktivis muda, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil. Sekelompok 70 aktivis dan pemimpin dari berbagai kelompok, termasuk Blok Politik Pelajar, Bangsa Mahardika, BEM UI, Gerakan Buruh Bersama Rakyat, BEM KM UGM, LMNID, dan Public Virtue, berkumpul di kantor YLBHI di Jakarta, Senin (06/11/23) untuk membahas dan menyatukan pandangan mereka tentang bagaimana menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman oligarki dan dinasti politik. Tema utama yang dibahas adalah keputusan MK, dinasti politik, dan langkah-langkah yang dapat diambil oleh kaum muda untuk melawan oligarki.
Diskusi diawali oleh Fiyya dari Bangsa Mahardika, yang menyoroti dampak buruk kebijakan rezim Jokowi terhadap lingkungan, masyarakat adat, dan pekerja. Dia juga mengkritik nepotisme yang mengakibatkan terpilihnya menantu Jokowi sebagai wali kota dan sekarang potensial sebagai wakil presiden, yang dianggapnya sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokratis yang dijunjung tinggi oleh generasinya. Diskusi kemudian berputar tentang keputusan MK, yang banyak peserta lihat sebagai menguntungkan dinasti politik dan bertentangan dengan putusan sebelumnya yang menetapkan batas usia di 40 tahun. Axel dari Public Virtue berpendapat bahwa keputusan tersebut menunjukkan kekuatan elit dalam membentuk politik Indonesia dan mengesampingkan generasi muda dari proses politik.
Rivaldi Haryo Seno dari LMNID menambahkan bahwa keputusan MK baru-baru ini adalah hanya salah satu contoh bagaimana kebijakan Jokowi bertujuan melayani kepentingan oligarki dan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa sementara ada pembicaraan tentang impeachment, tidak ada jalan yang jelas menuju pencapaian hal ini dan bahwa mobilisasi publik sangat penting untuk mewujudkan perubahan yang bermakna. Mela dari YLBHI menambahkan bahwa keputusan tersebut mengungkap masalah yang lebih besar tentang dinasti politik dan oligarki dalam politik Indonesia, yang telah merusak proses demokratis dan memberikan ketidakpercayaan bagi generasi muda.
Bisma Ridho dari ITB kemudian menekankan perlunya solidaritas dan upaya kolektif dalam mewujudkan perubahan. Dia meminta untuk terus memobilisasi dan mengorganisir kaum muda untuk menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah dan melawan oligarki dan dinasti politik.
Delpedro dari Blok Politik Pelajar berpendapat bahwa reformasi politik sangat penting untuk mencapai representasi yang sebenarnya dan generasi muda harus melawan hambatan struktural untuk partisipasi. Politik dinasti bukan hanya sekedar pemecatan, karena itu akan mengurangi kekuasaan, termasuk yang terbaru mengenai akan diangkatnya KASAD sebagai Panglima TNI yang akan membantu mengamankan Pemilu.
Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang, menegaskan bahwa gerakan menolak politik dinasti sudah dilakukan di masa lalu dan harus kembali diaktifkan. Ketika bicara soal politik dinasti ataupun putusan MK teman-teman sudah paham, kita menolak politik dinasti dan menolak Keputusan MK kemarin itu tidak sama dengan kita mendukung capres manapun. Dengan adanya putusan MK saat ini buat orang bawah apabila ingin menjadi pejabat itu adalah mimpi disiang bolong.