STRATEGIC ASSESSMENT. Calon presiden (capres) PDI Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo mengungkapkan sejumlah warga tak mau menyambut Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat kunjungan kerja di Desa Batubulan, Gianyar, Bali. Ini merupakan imbas pencopotan baliho Ganjar-Mahfud.
Ganjar merasa peristiwa itu sangat luar biasa, meski sebenarnya ia mengaku tidak terlalu peduli karena merupakan urusan PDIP Bali.
“Tapi suara yang membuat haru saya satu saja. Beberapa rumah, maksudnya warganya mengunci diri tidak mau keluar rumah, ada apa bahkan saya dengar diminta untuk keluar rumah nggak mau,” ungkap Ganjar saat diskusi santai di kantor DPD PDIP Bali di Denpasar. Ganjar mengaku tidak mengetahui alasan warga sekitar tidak banyak keluar saat Jokowi datang. Padahal, biasanya, banyak warga antusias. Meski hanya sekadar melihat atau menyapa Jokowi.
“Tapi itulah kita coba tetap jaga kondisi agar semua menjadi kondusif tapi saya yakin kita tidak akan pernah digeser,” imbuh Ganjar.
Apa yang diungkapkan Ganjar juga diamini kader senior PDIP Bali, I Nyoman Parta. Dia mengaku ikut bertanya-tanya kenapa saat presiden datang, warga malah tidak ingin keluar.
“Saat Pak Jokowi datang, masyarakat di sana bukan menutup pintu, masyarakat di sana tidak keluar. Apa yang menyebabkan mereka tidak keluar? Apa yang menyebabkan tidak menyambut presiden? Saya tidak tahu,” tanya anggota DPR RI dapil Bali itu.
Sebelumnya diberitakan, baliho Ganjar dan Mahfud yang terpajang di sekitar lokasi kunker Presiden Jokowi di Balai Desa Batubulan dicopot. Bendera PDIP yang berkibar di sana juga diturunkan.
Bakal calon presiden Ganjar Pranowo menyebut sejumlah warga ogah menyambut Presiden Joko Widodo saat melaksanakan kunjungan kerja di Desa Batu Bulan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Menurutnya, tindakan warga tersebut merupakan bentuk simpatik lantaran baliho bergambar dirinya dan sejumlah atribut PDI Perjuangan (PDI-P) dicopot.
“Kejadian di Gianyar kemarin, luar biasa, luar biasa, ada denyut yang kami rasakan dari suara rakyat, saya terharu betul,” kata dia saat bertemu kader PDI-P di kantor DPD PDI-P di Jalan Banteng Baru, Kota Denpasar, Bali.
Ganjar mengaku awalnya tidak mau bersuara terkait kejadian tersebut lantaran menjadi wewenang Ketua DPD PDI-P Bali I Wayan Koster dan kader PDI-P setempat. Namun, dia merasa terharu ketika mendengar ada warga memilih tak keluar rumah meski diminta untuk keluar pada saat kunjungan Kepala Negera. “Tapi suara mengharukan saya satu saja, ketika kemudian beberapa rumah, maksudnya warganya, mengunci diri tidak mau keluar rumah, ada apa? Bahkan Saya dengar diminta untuk keluar rumah, tidak mau,” kata dia.
“Baru saya tahu bagaimana perasaan warga saat itu (pencopotan baliho). Wah terharu. Berat. Kamu di rumah saja. Ini rasa bapak ibu, ini rasa yang ada. Maka saya sampaikan ini adalah modal sosial kita sebenarnya kalau PDI-P bersama rakyat,” sambungnya.
Secara terpisah, I Nyoman Parta, anggota Komisi VI DPRI Dapil Bali yang merupakan kader PDI-P asal Gianyar, membenarkan adanya warga tidak mau keluar rumah menyambut kedatangan Presiden Jokowi saat itu. Namun, dia tidak mengetahui secara pasti alasan sejumlah warga tersebut enggan menyambut Jokowi seperti biasanya. “Bukan menutup pintu. Saat Pak Jokowi datang, masyarakat di sana bukan menutup pintu. Masyarakat di sana tidak keluar (rumah),” kata dia.
“Apa yang menyebabkan mereka tidak keluar. Apa yang menyebabkan tidak menyambut Presiden, saya tidak tahu. (Apa soal pencopotan baliho bergambar Ganjar-Mahfud?) Saya kurang tahu lah. Intinya saat itu sepi,” sambungnya. Sementara itu, video yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden memperlihatkan sejumlah warga tampak antusias menyambut kedatangan Jokowi saat mengunjungi Pasar Bulan, Desa Batu Bulan, Kabupaten Gianyar, Bali.
Dalam video tersebut, tampak Jokowi menyapa dan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada para pedagang serta membagikan bantuan pangan untuk warga setempat. Selain itu, warga setempat juga berebut-rebutan, baik hanya untuk sekedar bersalaman maupun berfoto bersama orang nomor satu di Indonesia itu.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bali mencopot baliho dan sejumlah atribut PDI-P di Desa Batu Bulan, Kabupaten Gianyar, Bali. Pencopotan tersebut dalam rangka menjaga netralitas aparatur negara saat Presiden Joko Widodo melaksanakan kunjungan kerja di lokasi tersebut. Selain itu, kebijakan penurunan atribut politik tersebut merupakan hasil kesepakatan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) dalam rangka kunjungan kerja Kepala Negara di Pulau Dewata.
Bakal capres Ganjar Pranowo tiba-tiba ditanyakan soal sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh kader PDIP di Bali. Apa kata Ganjar menjawab pertanyaan tersebut? Dilansir detikBali, pertanyaan Kader PDIP asal Desa Bongan, Kabupaten Tabanan, bernama Komang Suparman itu diungkapkan saat sesi tanya jawab Ngobrol Santai Ganjar Pranowo dengan seluruh kader PDI Perjuangan se-Bali di kantor DPD PDIP Bali. Dia awalnya menilai sikap Jokowi dalam perpolitikan yang terjadi saat ini sangat tidak berperasaan.
“Dengan sikap begitu tanpa ada perasaan dia membentuk dinasti dan melupakan begitu saja perjuangan PDIP,” ujarnya.
Ganjar merespons hal tersebut. Ia bercerita saat dulu sering diklat kaderisasi di Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Bali.
“Ini lah kaderisasi, kalau nggak pernah diberikan kaderisasi orang masuk partai masuk PDIP, tiba-tiba itu belum kader, itu anggota,” jawab Ganjar.
Artinya, lanjut Ganjar, proses itulah yang akhirnya bisa membuat seseorang memahami dan mencintai PDIP. “Sejak PDIP, jadi saya mengerti ini bagaimana berproses. Ya ada kecewanya nggak? Ada. Tapi kan kita bisa memilah dan memilih,” imbuh mantan Gubernur Jawa Tengah itu.
Lebih lanjut, dia mencontohkan momen ketika Wayan Koster marah-marah ke anggota PDIP Bali. Ia menyebut itu aturan partai.
“Pasti ada yang nggak suka sama dia (Koster). Itulah kekecewaan tapi bukan berarti harus kemudian kita minggat (keluar dari partai) to?” kata Ganjar.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membalas pernyataan Politikus Partai Golkar Nusron Wahid yang menyebut anak-anak Presiden pertama RI Sukarno tidak jadi cawapres lantaran tidak punya prestasi. Hasto lantas menyinggung bahwa segala sesuatu tidak bisa dengan jalan pintas. Hasto mulanya menjelaskan terkait Sukarno yang menjadi presiden di usia muda lantaran proses yang panjang. Menurutnya, Sukarno tidak pernah mengambil jalan pintas, termasuk anak-anaknya.
“Ya kalau Bung Karno kan karena sejak usia 16 tahun sudah berjuang. Dan kemudian keluar masuk penjara, Bung Karno banyak membaca buku, teori-teori politik, akhirnya Bung Karno pun usianya muda terpilih sebagai presiden secara aklamasi karena rekam jejak yang panjang, bukan jalan pintas. Dan kemudian terhadap putra putri beliau juga mengikuti proses yang sama,” kata Hasto kepada wartawan di GBK, Jakarta.
Hasto menjelaskan Megawati juga melalui proses politik. Menurutnya, Megawati bisa menjadi pemimpin karena perjuangan melawan pemerintahan yang otoriter dan menjadi ketua umum partai.
“Ibu Mega itu terpanggil di dalam politik karena melihat bagaimana rakyat tidak bisa bersuara saat itu. Bagaimana semua dikontrol oleh pemerintahan yang sangat otoriter yang memperlakukan rakyat seringkali sebagai musuh demi alasan demi stabilitas politik. maka kemudian ibu berjuang, dan kemudian ibu jga menjadi Ketum PDI (sekarang PDIP) saat itu melalui proses yang panjang,” jelasnya.
Karena itu, Hasto menekankan bahwa persoalan bukan pada usia tua dan muda. Melainkan, kata dia, soal tidak ada jalan pintas untuk meraih sesuatu.
“Sehingga pesannya itu bukan muda dan tua, tapi segala sesuatunya itu tidak ada jalan pintas, segala sesuatunya itu melalui suatu proses, melalui proses ujian, bahkan dalam puisi Douglas MacArthur, itu jenderal ya pemenang dunia kedua itu berdoa agar anaknya dari Douglas MacArthur, itu menempuh jalan-jalan yang terjal, semoga anak ku mengikuti jalan-jalan yang sulit, ditempa mengalami termasuk kekalahan supaya bisa menerima suatu hal kekalahan itu secara tulus, tetapi secara kemenangan dengan penuh kerendahan hati, itu kan suatu pesan-pesan yang sangat baik segala sesuatunya nggak ada jalan pintas,” ujar dia.
Sebelumnya, Nusron Wahid memuji prestasi Gibran Rakabuming Raka yang menjadi cawapres Prabowo Subianto di usia 36 tahun. Nusron menyebut apa yang dicapai Gibran itu tidak mudah.
“Dia (Gibran) hebat berani mengambil keputusan untuk mengambil keinginan rakyat untuk tampil anak muda menjadi cawapres, nggak gampang itu, usia 36 tahun menjadi cawapres,” kata Nusron dalam acara Adu Perspektif detikcom X Total Politik. Pernyataan Nusron itu lalu ditimpali politikus senior PDI Perjuangan (PDIP), Panda Nababan. “Apalagi bapaknya (Gibran) presiden kan?” timpal Panda.
Nusron langsung merespons ucapan Panda. Dia membandingkan dengan Presiden ke-1 RI Sukarno dan Presiden ke-2 RI Soeharto yang sama-sama tidak bisa menjadikan anak-anaknya jadi cawapres di usia muda seperti Gibran.
“Bos Sukarno pun presiden nggak bisa menjadikan Bu Mega jadi calon wakil presiden, Pak Harto pun nggak bisa. Kenapa? Karena nggak punya prestasi waktu muda itu,” ucapnya.
Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin merespons soal ‘Amien Rais Syndrome’ yang diungkit PKS. Cak Imin menyebut hal itu menjadi masukan untuk pihaknya. “Saya kira itu untuk menjadi masukan ya, masukan agar seluruh kader partai agar seluruh relawan kerja keras,” kata Cak Imin dalam acara Pelantikan Pengurus Besar Anak Muda Indonesia di Jakarta Pusat.
Cak Imin menyebut kondisi seperti itu akan menjadi tantangan bagi pasangan Anies dan Muhaimin (AMIN). Ia mengaku bakal kerja keras lantaran paslon yang dihadapi tak mudah. “Tantangan kita berat, iwak teri campur kemangi, musuhnya ngeri-ngeri, broo,” ujar Cak Imin.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera sebelumnya bicara elektabilitas Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (AMIN) yang tak sebanding dengan antusiasme publik dalam sejumlah acara yang digelar AMIN. Mardani lantas mengingatkan soal ‘Amien Rais Syndrome’ terkait dengan hal tersebut.
Hal itu disampaikan Mardani usai mengisi salah satu diskusi di gedung DPR, Senayan, Jakarta. Mardani mengatakan ‘Amien Rais Syndrome’ pernah dikatakan oleh Direktur Political Marketing Consulting (PolMark) Eep Saefulloh Fatah kepada Anies.
“Saya agak terkesan dengan Mas Eep Syaifullah Fatah ketika bilang hati-hati, ada ‘Amien Rais Syndrome’ kepada Mas Anies, ketika Reformasi Pak Amien melambung sekali,” ujar Mardani.
Mardani mengatakan istilah ‘Amien Rais Syndrome’ itu merujuk terhadap fenomena elektabilitas Amien Rais di Pilpres 2004. Saat itu, nama Amien Rais banyak dikenal publik, tetapi perolehan suaranya di Pilpres 2004 hanya 14,66%.
“Jadi kalau saya hasil survei ini masukan buat kita, kita tidak boleh puas dengan apa yang terjadi di lapangan. Karena itu spotlite memang ramai, tapi hasil itu lebih menyeluruh, lebih sesuai dengan kaidah ilmiah yang sampling-nya itu rata, walaupun saya tetap yakin menjelang penetapan dan nanti saat kampanye, Mas Anies akan naik dan menang Insyaallah,” jelasnya.