STRATEGIC ASSESSMENT. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan penyalahgunaan data intelijen untuk tujuan politik presiden. Hal itu merespons pernyataan Jokowi yang mengaku memiliki laporan data intelijen soal aktivitas parpol. Adapun koalisi ini terdiri dari Imparsial, PBHi, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, dan Setara Institute.
“Kami memandang, pernyataan presiden tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya,” kata koalisi dalam keterangan tertulis.
Koalisi menilai tindakan Jokowi tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Intelijen, lanjut koalisi, merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden.
Namun demikian informasi intelijen itu seharusnya terkait dengan musuh negara atau masalah keamanan nasional dan bukan terkait dengan masyarakat politik serta juga masayarakat sipil sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Mereka lalu menegaskan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadinya.
“Dalam negara demokrasi, partai politik bukanlah ancaman keamanan nasional sehingga sulit untuk memahami apa alasan intelijen dikerahkan untuk mencari informasi terkait data, arah perkembangan partai politik,” lanjut mereka.
Koalisi masyarakat sipil menilai hal itu mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap hukum dan UU, yakni UU Intelijen, UU HAM, hingga UU partai politik.
Mereka juga menilai hal tersebut merupakan bentuk skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi sehingga mereka mendesak pernyataan Jokowi itu harus diusut tuntas.
“Oleh karena itu sudah sepatutnya DPR memanggil Presiden beserta lembaga intelijen terkait untuk menjelaskan masalah ini kepada publik secara terang benderang,” kata koalisi.
Presiden Jokowi sebelumnya mengaku memiliki informasi lengkap dari Intelijen soal situasi dan arah politik partai-partai. Hal itu ia sampaikan saat menghadiri rapat kerja nasional (rakernas) relawan Seknas (Sekretariat Nasional) Jokowi di Kota Bogor, Jawa Barat.
“Saya tahu dalamnya partai seperti apa, saya tahu. Partai-partai seperti apa saya tahu, ingin menuju ke mana saya juga ngerti,” kata Jokowi.
Ia kemudian menyinggung tahun 2024 menjadi tahun penting bagi Indonesia untuk melompat menjadi negara maju. Namun untuk bisa ke sana, Jokowi mengatakan semua sangat tergantung pada kepemimpinan.
Tim percepatan reformasi hukum yang dibentuk oleh Menko Polhukam Mahfud MD merekomendasikan pembatasan penempatan anggota Polri di Kementerian/Lembaga dan BUMN.
Rekomendasi itu merupakan satu dari sejumlah poin yang dihasilkan Kelompok Kerja (Pokja) Reformasi Pengadilan dan Penegakan Hukum di dalam tim itu.
Seluruh rekomendasi dari empat pokja telah diserahkan kepada Presiden Jokowi. “Terkait kedudukan Polri yang cukup banyak berada di kementerian/lembaga lain. Diusulkan agar adanya pembatasan agar mereka yang menduduki jabatan-jabatan di non Polri hanya terbatas hanya jabatan-jabatan atau posisinya yang sangat relevan seperti Kemenko Polhukam, KPK, BNN dan seterusnya,” tutur salah satu anggota Pokja, Rifqi S. Assegaf.
Berdasar dokumen laporan rekomendasi tim, saat ini disebut banyak penempatan anggota Polri pada berbagai jabatan sipil di Kementerian/Lembaga yang tidak terkait dengan tupoksi Polri.
Misalnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen), Inspektur Jenderal (Irjen), dan Direktur Jenderal (Dirjen)/Deputi di Kementerian/Lembaga, pelaksana kepala daerah, serta komisaris di BUMN.
Praktik itu dinilai bertentangan dengan semangat TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang salah satu intinya adalah mengembalikan TNI dan Polri kepada fungsinya.
Termasuk, untuk memastikan berkembangnya demokrasi dan tidak sejalan dengan berbagai aturan terkait.
“Praktik ini menerbitkan pula disinsentif bagi ASN lain untuk berkompetisi secara sehat di jabatan-jabatan tersebut,” dikutip dari dokumen laporan.
Lebih lanjut, dalam rekomendasi jangka menengahnya, tim percepatan mengusulkan pembatasan kewenangan peradilan militer.
Ukuran keberhasilan rekomendasi itu dengan dimasukannya revisi UU Peradilan Militer dalam prolegnas 2025 yang mengatur pembatasan kewenangan pengadilan militer hanya untuk mengadili kasus-kasus pidana militer murni.
Atau, setidaknya tetap dapat mengadili tindak pidana umum kecuali korupsi, kekerasan, atau tindak pidana lain dengan ancaman hukuman maksimum di atas 10 tahun.
Sebelumnya, total ada lebih dari 150 rekomendasi jangka pendek dan menengah yang diusulkan Tim Percepatan kepada Jokowi.
Mereka berharap Presiden, sebagai pimpinan tertinggi di lembaga pemerintah, dapat mengerahkan seluruh jajarannya untuk mengimplementasikan rekomendasi percepatan reformasi hukum.