STRATEGIC ASSESSMENT. Ribuan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terancam digusur terkait rencana pengembangan kawasan Rempang Eco City. Pasalnya, proyek ini berada di dua Kelurahan Pulau Rempang, Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate. Warga baru-baru ini bahkan sempat terlibat bentrok dengan aparat keamanan gabungan TNI-Polri pada Kamis, 7 September 2023, sekitar pukul 10.00.
Penggusuran ini berawal dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesia’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu. Pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan kunjungan ke Cina pada akhir Juli lalu.
Pulau Rempang adalah salah satu pulau di Kecamatan Galang yang termasuk dalam wilayah Kepulauan Riau. Pulau Rempang memiliki luas wilayah sekitar 165 kilometer persegi. Pulau Rempang terletak sekitar 3 km di sebelah tenggara Pulau Batam. Berikut profil selengkapnya daerah ini.
Terkait permasalahan Pulau Rembang dimana warga bentrok dengan aparat keamanan gabungan TNI-Polri, Prof Anthony Budiawan Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) mengatakan “investasi adalah motor pertumbuhan ekonomi: sumber kemakmuran. Tanpa Investasi, lambat laun rakyat akan menjadi lebih miskin,” kata Anthony.
Oleh karena itu kata Anthony, rakyat menyambut investasi dengan suka cita, gembira, terbayang masa depan sejahtera. Tetapi lanjut Anthony, ketika atas nama investasi, rakyat dimiskinkan, kehilangan tanah dan sumber nafkah, bahkan sampai dipenjara, maka investasi hanya menjadi kedok untuk merampok hak rakyat, untuk merebut tanah leluhur masyarakat adat setempat yang sudah ditempati puluhan, bahkan ratusan tahun. Mereka tidak beda dengan penjajah. “Mereka adalah Penjajah!,” tandas Anthony.
Profil Pulau Rempang
Pulau Rempang termasuk kategori pulau kecil berdasarkan definisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Pulau Rempang juga masuk kawasan hutan konservasi taman buru. Penduduk Rempang berjumlah 7.500 hingga 10 ribu jiwa dengan mayoritas mata adalah nelayan dan pelaut.
Terdapat 16 kampung tua dan pemukiman warga Asli di Pulau Rempang. Adapun luas total 16 kampung tua itu tidak sampai 10 persen dari luas Pulau Rempang. Warga di kampung tua tersebut terdiri dari beberapa suku, diantaranya suku Melayu, suku Orang Laut dan suku Orang Darat.
Salah satu warga asli Pulau Rempang yakni Gerisman Ahmad mengatakan warga di ketiga suku itu telah bermukim di pulau Rempang sejak 1834. “Kami sudah lama tinggal di sini, bahkan sebelum Indonesia berdiri,” ujar Gerisman dikutip dari Koran Tempo.
Melansir laman Kebudayaan Kemdikbud, suku Orang Darat atau atau Orang Oetan (hutan) merupakan penduduk asli Pulau Batam, khususnya di Pulau Rempang. Pada 1930, seorang pejabat Belanda bernama P. Wink mengunjungi mereka di Pulau Rempang. Kunjungannya itu tertulis dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930.
Tatkala Wink mengunjungi Pulau Rempang, ia mencatat ada delapan laki-laki, dua belas wanita, dan enam belas anak-anak suku Orang Darat. Mereka mencari nafkah dari bercocok tanam dan hasil hutan, serta mencari makanan laut saat air pasang. Sayangnya, populasi Orang Darat semakin menurun, dengan hanya beberapa keluarga yang tersisa pada 2014.
Melalui Keppres Nomor 28 Tanggal 19 Juni 1992, pemerintah melakukan penambahan wilayah kawasan industri Pulau Batam. Ini ditengarai semakin meningkatnya usaha di Pulau Batam dan terbatasnya kemampuan serta daya dukung lahan yang tersedia di daerah industri Pulau Batam.
Pulau Rempang dan Pulau Galang masuk dalam perluasan kawasan industri Pulau Batam dengan status kawasan Berikat. Kawasan kemudian dikenal dengan sebutan Barelang yang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, Galang.
Pulau Rempang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 dan direncakan menjadi kawasan industri, perdagangan hingga wisata bernama Rempang Eco-City. Pembangunan kawasan industri di pulau seluas 17 hektare itu digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan milik Tommy Winata.
Rempang Eco City ditargetkan bisa menarik nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun pada tahun 2080. Bahkan, pemerintah menargetkan pengembangan Kawasan Rempang Eco City dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga 2080 mendatang.
Sejumlah warga menolak pengembangan kawasan ekonomi baru Rempang Eco-city di Pulau Rempang. Akibatnya, penolakan itu berujung bentrok warga dengan aparat gabungan TNI-Polri pada Kamis (7/9).
Proyek pengembangan Rempang Eco-city sebetulnya mencuat pada 2004. Saat itu, pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, menggandeng PT Makmur Elok Graha menandatangani perjanjian kerja sama. Berdasarkan konfirmasi dari salah satu pegawai di PT Makmur Elok Graha, perusahaan tersebut adalah anak usaha dari Artha Graha Group milik taipan Tomy Winata.
Dalam perkembangannya, proyek ini masuk daftar Proyek Strategis Nasional 2023. Hal itu tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Beleid itu diteken oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 28 Agustus 2023 lalu.
Mengutip situs BP Batam, kawasan ekonomi ini rencananya dikembangkan di lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Pengembangan Pulau Rempang mencakup kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi di sana agar bisa bersaing dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
BP Batam memperkirakan investasi pengembangan Pulau Rempang mencapai Rp381 triliun dan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. Hal ini diharapkan bisa berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi setempat.
Kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun.
Pada Juli lalu, Xinyi International International Investment Limited dan PT Makmur Elok Graha telah menandatangani nota kesepakatan (Memorandum of Agreement) terkait rencana investasi itu di Chengdu, China.
Kendati demikian, sejumlah warga terdampak harus direlokasi demi pengembangan proyek Rempang Eco-City. Sebagai kompensasi, Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengungkapkan pemerintah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi.
Pemerintah juga memberikan keringanan lainnya berupa bebas biaya uang wajib tahunan (UWT )selama 30 tahun, gratis pajak bumi dan bangunan (PBB) selama 5 tahun, BPHTB, dan SHGB.
“Lokasinya berada di tepi laut. Sehingga memudahkan masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai nelayan untuk melaksanakan aktivitas. Dengan momentum pembangunan ini, saya berharap nasib masyarakat bisa berubah menjadi lebih baik,” ujar Rudi dalam keterangan tertulis, Kamis (7/9) lalu.
Masyarakat yang terdampak pembangunan akan dialihkan pemerintah ke lokasi yang sudah disiapkan. Mereka akan mendapat biaya hidup Rp1,03 juta per orang dalam satu KK.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto mengatakan lahan tinggal yang menjadi pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
“Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam,” ujar Hadi Tjahjanto dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta,
Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.
Menurut dia, hampir 50 persen dari warganya menerima usulan yang telah disampaikan. Pemerintah menawarkan mencarikan tempat tinggal baru atau relokasi yang disesuaikan dengan kehidupan Masyarakat, yakni sebagai nelayan.
Hadi menuturkan pemerintah juga menyiapkan Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan seluas 500 hektare yang lokasinya dekat dengan laut untuk memudahkan dalam mencari nafkah.
“Dari 500 ha itu akan kami pecah-pecah dan langsung kami berikan 500 meter dan langsung bersertifikat. Di situ pun, kami bangun sarana untuk ibadah, pendidikan dan sarana kesehatan,” kata Hadi.
Kementerian ATR/BPN menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membangun dermaga untuk para nelayan.
Selama proses pembangunan, pemerintah akan memberikan biaya hidup per keluarga dan dicarikan tempat tinggal.
Hadi mengatakan, ke depannya pemerintah memberikan beasiswa pendidikan ke Tiongkok bagi putra-putri yang tinggal di 15 titik di Pulau Rempang. Para putra daerah itu akan dilatih agar bisa bekerja di pabrik kaca yang rencananya berdiri di pulau tersebut. Mantan panglima TNI itu mengklaim sebagian besar masyarakat Pulau Rempang senang mendengar penjelasan pemerintah.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak pemerintah agar proyek Rempang Eco-City di Batam dicabut sebagai proyek strategis nasional (PSN) karena dianggap sangat bermasalah.
Dalam keterangan tertulis yang ditandangani Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, disebutkan payung hukum Rempang Eco-City baru disahkan pada 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN.
Namun proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak.
“Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN,” demikian pernyataan dalam keterangan tertulis.
LHKP dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam pemerintah yang menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan industri swasta.
Apalagi, kata Muhammadiyah, dalam proses penggusuran itu dikerahkan kepolisian dan TNI menggunakan kekuatan secara berlebihan. Hal tersebut seperti yang terjadi pada 7 September lalu.
Menurutnya, sikap represif dari aparat untuk memaksa warga pindah sangat brutal dan memalukan.
“Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik”.
Muhammadiyah heran pemerintah juga terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang. Bahkan, kata dia, jauh sebelum Indonesia didirikan.
“Melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar”.
LHKP dan MHH PP Muhammadiyah menilai pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa ‘tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap’ sangat keliru. Faktanya masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834.
“Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut”.
LHKP dan MHH juga menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia.
Padahal dalam UUD 1945 disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”