STRATEGIC ASSESSMENT. Beberapa hari lagi negeri ini akan merayakan Hari Kemerdekaan ke-78. Umur yang menunjukkan bahwa bangsa ini semestinya sudah berada dalam kondisi makmur sejahtera, berkeadilan serta berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing dan tidak bergantung pada mereka.
Karena itu agenda penting dalam menyambut Hari Kemerdekaan adalah merenungi perjalanan negeri ini; apakah kemerdekaan ini sudah mendatangkan berkah yang menyejahterakan rakyat atau sebaliknya. Bukan justru sibuk dengan agenda seremonial, lalu melupakan kondisi sesungguhnya.
Merdeka dan Keadilan Ekonomi
Setelah 78 tahun merdeka dari penjajahan fisik, mirisnya Indonesia masih terjerat utang yang mencekik. Pada bulan April Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang Pemerintah adalah Rp 7.849,89 triliun. Sama artinya tiap warga Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp 28 juta.
Apalagi menurut anggota Komisi XI DPR Misbakhun, utang Pemerintah sebenarnya lebih dari Rp 20.000 triliun. Menurut dia, angka itu merupakan akumulasi berbagai jenis utang. Jumlah itu adalah akumulasi utang sejak NKRI berdiri pada 1945 dengan semua periode presiden. Jika utang ini dikelola secara serampangan, ia bakal menjadi beban dan bom waktu yang akan meletus menjadi krisis dahsyat melebihi krisis moneter 97/98.
Prihatinnya lagi, dengan utang sebanyak itu nikmat kemerdekaan dan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Laporan Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan: 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air; 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya, pembangunan selama masa kemerdekaan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di negeri ini.
Ketidakadilan juga terjadi dalam kepemilikan lahan di Tanah Air. Pada tahun 2022, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, tercatat 68 persen tanah di Indonesia dikuasai 1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Bahkan ada satu korporasi yang menguasai lahan perkebunan sawit dengan luas total 123.591 hektare, hampir dua kali lipat wilayah DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektare.
Dengan ketimpangan seperti ini tidak aneh jika World Bank melaporkan bahwa 40 persen warga Indonesia terkategori miskin. Perhitungannya, garis kemiskinan ekstrem ditetapkan sebesar 2,15 dolar AS perkapita perhari. Ini setara dengan Rp 967.950 perkapita perbulan. Artinya, warga yang berpenghasilan di bawah itu patut disebut sebagai miskin. Sesuai hitungan World Bank, berarti ada 108 juta warga miskin Indonesia.
Dampak kemiskinan itu banyak. Ada 1,9 juta lulusan SMA yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tingginya biaya pendidikan. Ada 17 juta warga Indonesia terpapar gizi buruk yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara. Ada 81 juta warga milenial tidak memiliki rumah. Ada 14 juta warga menempati hunian tidak layak huni. Jutaan rakyat Indonesia juga terbelit utang pinjol hingga puluhan triliun rupiah. Bahkan sudah terjadi kasus bunuh diri dan pembunuhan akibat riba pinjol.
Merdeka dan Pembangunan
Perihnya lagi, Pemerintah malah terus melakukan pembangunan yang tidak memberikan keuntungan bagi rakyat. Proyek IKN terus digarap meski sampai hari ini tidak ada kepastian investasi. Bahkan Presiden Jokowi sampai mengobral konsesi Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun serta Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) sampai 160 tahun bagi investor di Ibu Kota Negara (IKN). Presiden juga sudah menjanjikan lahan seluas 34 ribu hektar bagi pengusaha Cina untuk berinvestasi di sana.
Ironinya, menurut Komisi Ombudsman, regulasi dari pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara saat ini masih memunculkan banyak permasalahan, terutama mengenai tata ruang (RDTR). Ombudsman menilai banyak status tanah yang tumpang-tindih. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah NGO memperingatkan potensi konflik yang kemungkinan melibatkan 16.800 orang dari 21 masyarakat adat di sekitar IKN Nusantara.
Pemerintah juga terus ngotot melanjutkan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KJCB). Padahal proyek ini sudah molor dan menambah anggaran sampai Rp 110 triliun untuk lintasan hanya sepanjang 142,3 kilometer. Padahal dana sebanyak itu bisa dipakai pembangunan hampir 1 juta rumah bersubsidi yang dibutuhkan rakyat.
Sementara itu sumber daya alam yang harusnya bisa menyejahterakan rakyat justru banyak dikuasai korporasi lokal, asing dan aseng. Contohnya smelter nikel di Tanah Air justru banyak dikuasai perusahaan asal Cina yang membeli murah bijih nikel dari perusahaan pribumi. Mereka juga mendapatkan tax holiday dari Pemerintah selama 30 tahun. Diperkirakan Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal Cina. Itu belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel.
Merdeka dan Keadilan Hukum
Bangsa yang merdeka juga seharusnya menikmati perlakuan hukum yang adil. Tidak pandang strata sosial dan jabatan. Kondisi ini tampaknya masih jauh dari realita. Survei Litbang Kompas Mei 2023 menemukan, penegakan hukum masih menjadi bidang yang nilai kepuasan publiknya paling rendah. Ini menandakan bahwa rakyat kian tidak percaya dengan penegakan hukum di Tanah Air.
Publik melihat dengan mata terbuka bagaimana para koruptor seperti mendapatkan privilege dalam penegakan hukum. Hukum sering dilihat tumpul ke atas, namun tajam ke bawah. Kasus mega skandal keuangan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan sampai hari ini tidak terdengar kabarnya lagi. Begitu pula kasus Harun Masiku seperti lenyap begitu saja.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluhkan para koruptor sering mendapat hukuman ringan dan mudah mendapatkan remisi. Selain itu banyak mantan terpidana korupsi yang bisa aktif kembali berpolitik dan menjadi pejabat atau wakil rakyat. Bahkan ada tersangka korupsi yang masih juga dilantik menjadi kepala daerah.
Pelanggaran hukum dan ketidakadilan justru seperti dibiarkan oleh penguasa. Tewasnya 135 warga di stadion Kanjuruhan Malang sampai hari ini tidak mendapatkan keadilan. Bahkan Presiden Jokowi menyalahkan kondisi stadion yang tidak layak pakai. Pengadilan juga memutuskan aparat tidak bersalah karena kondisi itu disebabkan tiupan angin yang menyebabkan gas air mata mengarah pada penonton. Padahal keluarga korban ada yang kehilangan anak, saudara dan tulang punggung mereka. Bahkan ada yang satu keluarga tewas dalam peristiwa tersebut. Namun, tak ada pembelaan yang pantas dari negara untuk mereka.
Bukan Kufur Nikmat
Mungkin ada orang yang menyatakan bahwa jika seorang Muslim terus-menerus mencari kekurangan dalam perjalanan kemerdekaan negara ini, maka itu adalah tanda kufur nikmat. Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap hamba mensyukuri nikmat-Nya dan melarang kufur nikmat. Allah SWT berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) saat Tuhan kalian memaklumkan, “Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) untuk kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-Ku sangat berat.” (TQS Ibrahim [14]: 7).
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Jarir Ath-Thabari menjelaskan makna bersyukur: “Jika kalian bersyukur kepada Tuhan kalian, dengan ketaatan kalian kepada-Nya dalam hal yang Dia perintahkan kepada kalian dan yang Dia larang kepada kalian, niscaya ditambahkan untuk kalian apa yang ada pada tangan-Nya dan nikmat-Nya atas kalian.”
Menurut Imam al-Ghazali, makna syukur yang hakiki adalah juga dengan ketaatan: “…Makna syukur adalah menggunakan nikmat dalam menyempurnakan hikmah untuk apa nikmat itu (diciptakan), yaitu ketaatan kepada Allah,” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], Juz IV).
Kewajiban umat hari ini adalah merenungi apakah betul mereka telah mensyukuri nikmat kemerdekaan dalam bentuk ketaatan pada perintah dan larangan Allah? Apakah bangsa ini telah menggunakan seluruh nikmat kemerdekaan ini di jalan Allah, dengan menerapkan hukum-hukum-Nya untuk menata negara dan masyarakat? Sayangnya tidak. Padahal jika saja itu dilakukan, pastilah Allah akan menambah terus nikmat kemerdekaan dengan limpahan berkah yang menciptakan keadilan, kemakmuran dan keamanan yang sentosa.
Akibat bangsa ini tidak mensyukuri kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allah, dengan cara melaksanakan semua aturan-Nya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, Allah menimpakan berbagai bencana karena mereka kufur nikmat, yakni tidak menggunakan semua nikmat itu di jalan-Nya. Allah SWT berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram. Rezekinya datang kepada mereka melimpah-ruah dari segenap tempat. Namun, (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan karena dosa-dosa yang selalu mereka perbuat (TQS an-Nahl [16]: 112).
Semua bencana hari ini terjadi akibat umat justru menjauhkan hukum-hukum Allah dari kehidupan. Mereka malah mengambil hukum-hukum buatan manusia yang terbukti rusak dan merusak.
Alhasil, jika bangsa ini ingin benar-benar merdeka, mereka harus mau diatur oleh hukum-hukum Allah dalam semua aspek kehidupan mereka. Hanya dengan itulah mereka mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaannya, yakni kehidupan yang sejahtera, adil, makmur dan mendapatkan ridha Allah SWT.
WalLâhu a’lam. []
Hikmah:
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:
الشُكْرُ ظُهُوْرُ أَثَرِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى لِسَانِ عَبْدِهِ: ثَنَاءً وَاعْتِرَافًا، وَعَلَى قَلْبِهِ شُهُوْدًا وَمَحَبَّةً، وَعَلَى جَوَارِحِهِ اِنْقِيَادًا وَطَاعَةً
Syukur adalah menampakkan adanya nikmat Allah atas hamba melalui lisannya, yaitu berupa pujian dan pengakuan (bahwa ia telah diberi nikmat); melalui hatinya, yaitu berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah; dan melalui anggota badannya, yakni berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. (Ibnu al-Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, 2/244). []