STRATEGIC ASSESSMENT. Ekonom dari UPN Veteran, Achmad Nur Hidayat mengingatkan pemerintah agar menghitung ulang kerja sama ekonomi dengan China. Apakah betul-betul menguntungkan, atau malah buntung. Karena sumber daya alam (SDA) Indonesia yang dipertaruhkan.
“Kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia tentunya menjadi daya tarik bagi dunia internasional untuk bisa bekerjasama dengan Indonesia dan menikmati hasil pemanfaatan SDA tersebut,” kata Matbur, sapaan akrabnya, Jakarta. Namun, kata dia, di balik potensi manfaat yang besar, kesepakatan antara Indonesia dengan China, menimbulkan potensi kerugian ekonomi yang harus diwaspadai dengan seksama.
“Satu dari potensi kerugian yang harus diwaspadai adalah seperti yang terjadi pada proyek kereta api cepat. Di mana, ada ketidaksesuaian kesepakatan awal yang tadinya tidak melibatkan APBN, kenyataannya melibatkan APBN dan berujung kepada China menuntut jaminan Penanaman Modal Nasional (PMN), melalui APBN,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Matnur, transfer pengetahuan dan teknologi yang menjadi salah satu pertimbangan kerja sama dengan China, realisasinya nol besar. “Ini terbukti dari keterlibatan berlebihan dari Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China yang terus ada, hingga proyeknya selesai dibangun. Ini bukti nyata bahwa Indonesia tidak sepenuhnya mendapatkan manfaat, sebagaimana yang diharapkan dalam hal penyerapan tenaga kerja,” tutur Matnur.
Tambang nikel serampangan yang dibungkus program hilirisasi, kata Matnur, menjadi contoh lain dari potensi Indonesia ‘buntung’. Meski Indonesia terlibat dalam ekspor nikel ke China, porsi keuntungan yang diterima Indonesia sangat sedikit. “Ya, sebagian besar yang menikmati manfaatnya adalah China. Sementara penggalian nikel yang sangat masif dikuras setiap harinya membuat cadangan nikel semakin menipis,” kata Matnur.
Ke depan, kata CEO Narasi Institute ini, pemerintah Indonesia harus berhati-hati dengan ketergantungannya kepada ekonomi China. Semakin rapatnya kerja sama dengan China, berarti Indonesia semakin terpaku pada perekonomian negara tersebut.
“Akibatnya, ketika terjadi perubahan kebijakan atau krisis ekonomi di China, Indonesia berisiko mengalami gangguan dalam stabilitas ekonomi dan pembangunan jangka panjang. Masalah transparansi dan hutang yang berlebihan dari proyek infrastruktur yang didanai oleh China juga menjadi perhatian serius,” imbuhnya.
Sementara, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyebut China mendapat keuntungan besar dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Persentasenya mencapai 90 persen dari total keuntungan.
Dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi, Faisal mengungkapkan nasib industri di Indonesia.
Menurutnya, Indonesia sudah tidak jadi negara agraris. Namun, Indonesia juga tak kunjung menjadi negara industri. “Ada missing link dalam transformasi atau pola yang dialami Indonesia. Dari agraris, langsung ke jasa. Lebih dari satu dasawarsa lalu, Indonesia menjelma sebagai negara jasa,” katanya di Jakarta.
“Sayangnya, tidak ada kebijakan industrialisasi. Yang ada kebijakan hilirisasi,” imbuhnya.
Menurutnya, kebijakan industrialisasi akan menguatkan struktur perekonomian karena memberi nilai tambah.
Sementara, kebijakan hilirisasi seperti hilirisasi nikel hanya menguntungkan negara lain. Salah satunya, China yang memiliki smelter nikel di RI.
Faisal mengungkapkan 90 persen keuntungan dari kebijakan hilirisasi nikel dinikmati oleh China. Sementara Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan dari kebijakan tersebut.
“Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat 10 persen, 90 persennya ke China,” kata Faisal Basri.
Sementara itu, Plt Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Firman Hidayat mengatakan sebelum ada kebijakan hilirisasi, Indonesia selalu mengekspor dalam bentuk bijih nikel
“Soal ekspor 99 persen ke china, sebelumnya pun bijih nikel juga diekspor ke china. Jadi ketika kita ekspor bijih nikel, yang kita ekspor itu benar-benar tanah dan kandungan nikelnya hanya kurang dari 2 persen. Jadi literally kita mengekspor tanah air selama ini,” katanya menanggapi statemen Faisal Basri.
Ia lantas membandingkan dengan masa sebelum hilirisasi di mana Indonesia hanya menikmati nol koma sekian persen keuntungan dari industri nikel
“Saat ini kita memang hanya menikmati 10 persen hilirisasi nikel, tapi sebelumnya kita bahkan 0 persen karena 100 persen diambil oleh China. Dengan melakukan hilirisasi, nilai ekspor kita meningkat berkali-kali lipat,” katanya.