STRATEGIC ASSESSMENT. Tak terasa, kita saat ini sudah ada di penghujung tahun 1444 H. Hanya beberapa hari lagi kita akan memasuki Tahun Baru Hijriyah, yakni 1445 H. Sebagian umat Islam menjadikan Tahun Baru Hijrah sebagai momentum untuk melakukan refleksi (perenungan), kontemplasi (muhâsabah), bahkan mungkin menetapkan sejumlah resolusi (tuntutan) baru untuk masa depan hidupnya agar lebih baik.
Hal yang sama sudah seharusnya dilakukan oleh kaum Muslim yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Bahkan saat ini, sudah saatnya kaum Muslim—secara kolektif—di negeri ini berani melakukan semacam koreksi terhadap sistem kehidupan sekuler yang dijalankan selama ini, yang terbukti bermasalah. Baik terkait sistem ekonomi, sistem hukum, sistem peradilan, sistem politik dan pemerintahan, sistem pendidikan maupun sistem sosial, dll. Selanjutnya, kaum Muslim harus berani berhijrah, yakni meninggalkan sistem kehidupan sekuler ini, menuju sistem kehidupan yang shahih, yakni sistem kehidupan Islam. Selama kaum Muslim tidak memiliki tekad dan keberanian untuk berhijrah, yakni meninggalkan sistem jahiliah ini, menuju sistem Islam, maka nasib mereka tidak akan pernah berubah. Bakal tetap terpuruk dan terjajah. Karena itu hiruk-pikuk Pilpres/Pemilu yang rutin digelar setiap lima tahun sekali pun tak akan pernah menghasilkan perubahan yang berarti. Pasalnya, pada faktanya Pilpres/Pemilu hanya menghasilkan rezim baru yang berganti wajah, tetapi tetap dengan menjalankan sistem yang sama, yakni sistem sekuler yang bermasalah, yang notabene adalah sistem jahiliah; bukan menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Pentingnya Hijrah
Secara bahasa, al-hijrah merupakan isim dari fi’il ha-ja-ra. Maknanya adalah meninggalkan. Dalam Hadis Nabi Muhammad saw. dinyatakan, misalnya:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).
Hijrah dalam pengertian ini tentu wajib dilakukan oleh setiap Muslim.
Adapun menurut istilah khusus, menurut Ar-Raghib al-Ashfahany (w. 502 H), hijrah berarti keluar dari dârul kufr (yakni wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur) menuju Dârul Îmân (yakni wilayah yang menerapkan seluruh hukum Islam) (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 833).
Makna hijrah seperti ini semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Al-Jurjâni (w. 471 H) dan al-Qurthubi (w. 671 H) yang menyatakan:
الهِجْرَةُ وَهِيَ الخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ
Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang diperangi (negara kufur) ke Negara Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 5/349; Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, 1/83).
Hijrah semacam inilah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. dari Makkah (yang saat itu merupakan Dârul Kufur [negeri kufur]) menuju Madinah (yang saat itu telah berubah menjadi Dârul Islam (Daulah Islam/Negara Islam). Hijrah dalam makna khusus inilah yang dijadikan awal penanggalan dalam Islam. Oleh karena itu tatkala mendiskusikan tentang penanggalan Islam, setelah mendengar berbagai usulan para Sahabat, Khalifah Umar bin Khaththab ra. menyatakan:
بَلْ نُؤَرِّخُ لِمُهاجَرَةِ رَسُوْلِ الله، فَإِنَّ مُهَاجَرَتَهُ فَرْقٌ بَيْنَ الْحَقِّ وَاْلبَاطِلِ
Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah, karena sesungguhnya hijrah beliau itu telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsîr, Al-Kâmil Fî at-Târîkh, 1/3).
Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan disegani.
Pentingnya Eksistensi Negara Islam
Sebagaimana kita ketahui, sistem apapun selain sistem Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan sekuler yang diberlakukan di negeri ini. Pasalnya, di negeri ini syariah Islam tidak diterapkan, kecuali hanya sebagian kecil, seperti dalam urusan nikah, talak, dan rujuk; dalam urusan haji dan zakat; dsb. Sebaliknya, dalam berbagai urusan lain yang lebih besar (ekonomi, politik, hukum, peradilan, sosial, pemerintahan, dll) syariah Islam tidak digunakan. Padahal Allah SWT telah mencela sikap manusia yang tidak mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih hukum jahiliah. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah sistem hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan sistem hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Berkaitan dengan ayat di atas, setelah Nabi Muhammad saw. diutus, sifat jahiliah memang tidak disematkan pada suatu masa secara mutlak dan umum. Namun, sifat jahiliah bisa disematkan pada realitas apa saja yang bertentangan dengan ajaran Rasul (Islam) (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirâth al-Mustaqîm, 1/258); baik realitas itu berupa aqidah, sistem hukum dan perilaku, baik realitas itu individu, masyarakat ataupun negara. Negara (masyarakat) yang di dalamnya lebih dominan penentangannya terhadap hukum-hukum Allah, secara legal-formal menolak sistem Islam, lalu menerapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syariah Islam maka layak disebut dengan istilah jahiliah.
Karena itu hijrah, dalam pandangan Islam, tentu berkaitan dengan upaya kaum Muslim, khususnya di negeri ini, untuk segera meninggalkan sistem hukum jahiliah ini menuju sistem Islam. Hijrah semacam ini tentu berkaitan erat dengan upaya mewujudkan Dârul Islam (Negara Islam). Sebabnya, hijrah Rasulullah saw. pun, yakni dari Makkah ke Madinah, bukan hanya bersifat individual, sebagaimana hijrah pertama dan kedua yakni sebagian Muslim ke Habsyah. Hijrah Rasul saw. adalah dalam rangka meninggalkan Dârul Kufur menuju Dârul Islam, yakni meninggalkan sistem jahiliah menuju penegakan sistem Islam.
Hijrah Menuju Penerapan Syariah Secara Kâffah
Hijrah Nabi saw. ke Dârul Islam di Madinah adalah dalam rangka menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah. Di Madinah Rasulullah saw. adalah pemimpin Negara Islam. Kekuasaan yang beliau terima di Madinah dari kaum Anshar bukanlah sekadar kekuasaan semata. Sebabnya, jika sekadar kekuasaan semata, hal itu bisa beliau dapatkan di Makkah. Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain adalah kekuasaan yang menolong (shultân[an] nashîr[an]). Ini sebagaimana turunnya ayat yang memerintahkan beliau hijrah:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan:
نَصِيرًا لِكِتَابِ اللَّهِ، وَلِحُدُودِ اللَّهِ، وَلِفَرَائِضِ اللَّهِ، وَلِإِقَامَةِ دِينِ اللَّهِ
“… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111).
Relevansi Hijrah Saat ini
Hijrah tetaplah relevan hingga Hari Kiamat. Yang terputus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah ditaklukkan dan menjadi Dârul Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/350).
Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita lakukan dengan berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan menggoyahkan keimanan kita, sementara kita tidak sanggup berupaya mengubahnya, menuju tempat yang dipenuhi suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; meninggalkan keadaan yang bisa membuat kita melanggar aturan Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita mendekatkan diri kepada-Nya.
Yang lebih penting lagi, sekaligus inilah esensi dari hijrah Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem Islam. Karena sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, maka semestinya perjuangan umat bukan sekadar diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih sebagai penguasa. Lebih dari itu mestinya perjuangan umat Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim yang shalih, yang kekuasaannya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Bukan malah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem sekuler yang notabene adalah sistem jahiliah. Jika itu yang terjadi, sebagaimana saat ini, maka seluruh kaum Muslim bertanggung jawab atas keterpilihan penguasa yang nyata-nyata enggan menerapkan syariah Islam secara kâffah, dan malah melanggengkan sistem sekuler jahiliah saat ini.
Alhasil, mari kita berhijrah secara total, yakni dengan meninggalkan sistem jahiliah saat ini menuju sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْهِجْرَةَ خَصْلَتَانِ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَهْجُرَ السَّيِّئَاتِ وَالأُخْرَى أَنْ تُهَاجِرَ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Sesungguhnya hijrah itu dua macam. Pertama, kamu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Kedua, kamu berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. (HR Ahmad).