STRATEGIC ASSESSMENT. Setelah dua puluh tahun ekspor pasir laut dilarang, Presiden Jokowi, melalui Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023, justru kembali memberikan izin. Alasannya, yang ditambang adalah sedimentasi, bukan pasir laut yang katanya akan menjaga kelestarian ekosistem dan menguntungkan alur pelayaran. Selain itu, adanya pemberian izin dan pengawasan terhadap penambangan pasir laut akan menjaga keamanan pantai dari penambangan ilegal. Apalagi, katanya, penambangan secara legal akan memberikan pemasukan bagi negara.
Akan tetapi, banyak kalangan meragukan penjelasan Pemerintah. Sudah banyak bukti rusaknya alam karena pertambangan pasir pantai. Apalagi ternyata pemasukan yang didapat Negara juga kecil. Hanya menguntungkan segelintir pengusaha. Bahkan secara teritori dampak penambangan bisa memberikan ancaman terhadap Negara.
Merusak!
Kekhawatiran akan rusaknya lingkungan akibat penambangan pasir pantai tidak mengada-ada. Di banyak negara, penambangan pasir pantai menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan warga. Environmental Reporting Collective (ERC) merilis laporan dampak negatif penambangan pasir di 12 negara yakni Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, Tiongkok, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka hingga Kenya.
Ada sejumlah dampak merusak yang diakibatkan oleh penambangan pasir pantai yang selama ini sudah berjalan. Pertama: Penambangan pasir pantai menyebabkan abrasi besar-besaran yang dapat menenggelamkan pulau yang menjadi kawasan pertambangan. Menurut catatan WALHI, akibat penambangan pasir pantai pada masa lampau, sekitar 20 pulau kecil di sekitar Riau, Maluku dan kepulauan lainnya tenggelam. Disebutkan juga, ada 115 pulau kecil yang terancam tenggelam di wilayah perairan Indonesia.
Kedua: Akibat penambangan pasir secara massif, ekosistem terganggu, baik karena pengerukan pasir maupun pencemaran yang ditimbulkan. Hal ini akan mengancam biota laut, seperti ikan, juga terumbu karang. Dilaporkan, banyak ikan yang semakin berkurang populasinya bahkan terancam punah akibat rusaknya keseimbangan alam.
Ketiga: Rusaknya biota laut juga berdampak pada nafkah para nelayan. Apalagi kawasan pantai dan laut Indonesia juga sudah lama terdampak pencemaran industri merusak lingkungan. Akibatnya, ada sekitar 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia sudah kehilangan ruang hidupnya. Sebanyak 6081 desa pesisir, kawasan perairannya, juga telah tercemari limbah pertambangan. Sampai dengan tahun 2040, Pemerintah telah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektar.
Keadaan ini selanjutnya akan kian mencekik ekonomi masyarakat nelayan sehingga akan menambah jumlah rakyat miskin di Tanah Air. Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2018, 20%-48% nelayan di Indonesia masih miskin. Bahkan data pada 2019 menunjukkan kurang dari 14,58 juta jiwa atau sekitar 90% dari 16,2 juta nelayan belum berdaya secara ekonomi maupun politik dan berada di bawah garis kemiskinan.
Keempat: Ekspor pasir pantai untuk tujuan reklamasi negara lain juga mengancam kepentingan dalam negeri dan hanya menguntungkan pihak asing. Luas wilayah Singapura sejak tahun 1965 telah bertambah 25% karena kebijakan reklamasi pantai. Kini luas wilayah Singapura maju sejauh 12 km ke arah perbatasan Indonesia mendekati pulau terluar, Pulau Nipah, Kepulauan Riau. Perairan di pulau tersebut mengalami kenaikan yang menyisakan daratan beberapa meter dari permukaan laut. Ini bisa menyebabkan wilayah perairan internasional, termasuk lebar jalur pelayaran antara Singapura dan Batam, akan tergeser. Perubahan itu otomatis juga akan menggeser masuk wilayah perairan Indonesia, karena lebar jalur pelayaran dihitung dari titik terluar garis pantai.
Sementara itu, Pemerintah Cina yang mengimpor pasir pantai terus mereklamasi kawasan Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Spratlys yang tengah disengketakan dengan Filipina dan Vietnam. Diduga kuat Cina melakukan reklamasi tanah dengan fasilitas yang berpotensi untuk kepentingan militer. Bukankah ini merupakan ancaman bagi kedaulatan bangsa?
Wajib Melindungi Kepemilikan Umum
Dalam Islam, pantai termasuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Semua rakyat boleh memanfaatkan pantai baik untuk wisata, penelitian, ataupun untuk lahan usaha seperti para nelayan. Karena itu pemberian konsesi yang menghalangi hak warga untuk memanfaatkan kepemilikan umum, termasuk pantai, adalah haram.
Hal ini berdasarkan hadis bahwa para Sahabat pernah mengajukan kepada Rasulullah saw. untuk membangunkan tempat tinggal untuk beliau di Mina. Namun, Rasulullah saw. bersabda:
لاَ، مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
Tidak perlu. Mina adalah tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu (HR at-Tirmidzi).
Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah menjelaskan bahwa Mina adalah tempat yang sudah sangat terkenal. Ia terletak di luar Makkah al-Mukarramah, Mina adalah tempat singgah jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di Arafah dengan tujuan untuk melaksanakan syiar-syiar ibadah haji yang sudah ditentukan, seperti melontar jumrah, menyembelih hewan had (hewan denda), memotong hewan kurban dan bermalam di sana. Makna dari munakh[un] man sabaq (tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu) adalah bahwa Mina merupakan milik seluruh kaum Muslim. Siapa saja yang lebih dulu sampai ke suatu bagian tempat di Mina, lalu menempati tempat itu, maka tempat tersebut adalah bagi dirinya. Ini karena Mina merupakan milik bersama di antara kaum Muslim, bukan milik perorangan yang menjadikan orang lain dilarang memiliki (menempati) tempat tersebut (Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 68).
Dengan demikian segala tindakan dan kebijakan yang menyebabkan warga terhalangi dari mengambil manfaat kepemilikan umum—seperti pantai—adalah haram. Karena itu pemberian konsesi atas kepemilikan umum untuk diolah oleh pribadi atau korporat adalah kebijakan batil dan zalim. Rasulullah saw. telah melarang para Sahabat duduk-duduk di jalan umum karena menghalangi hak pemakai jalan. Sabda beliau:
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ
Janganlah kalian duduk-duduk di jalan-jalan (umum) (HR al-Bukhari).
Jelas, Nabi saw. telah melarang orang untuk sekadar duduk-duduk di jalan-jalan umum karena akan menghalangi orang yang lalu-lalang. Apalagi pemberian konsesi pertambangan kepada korporat yang bukan saja menghalangi hak warga, tetapi juga merusak lingkungan secara luar biasa. Ini lebih patut untuk dibatalkan.
Wajib Mencegah Bahaya
Selain merampas kepemilikan umum dan melimpahkannya pada swasta, pembukaan pertambangan pasir juga terbukti telah menyebabkan kemadaratan (kerugian) baik bagi lingkungan maupun pada ekonomi warga. Ini adalah bahaya yang wajib dicegah oleh Negara. Islam telah tegas mengharamkan segala hal yang menimbulkan bahaya. Nabi saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain (HR Malik).
Saat perjalanan menuju Perang Tabuk Baginda Nabi saw. pernah melarang para Sahabat minum air dari sumur di Hijr, melarang berwudhu menggunakan airnya, dan adonan tepung yang telah dibuat dengan air tersebut agar jangan dimakan sedikitpun. Beliau juga melarang para Sahabat keluar pada malam hari tanpa ditemani Sahabat lainnya. Beliau melarang hal tersebut karena tahu bahaya yang akan menimpa kaum Muslim jika melakukan hal tersebut.
Syariah Islam mewajibkan Negara untuk mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya seperti pencemaran, pengrusakan alam, hilangnya mata pencaharian warga, dsb. Penguasa dalam Islam didudukkan sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan korporat. Sabda Nabi saw.:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (pemimpin) itu (laksana) perisai. Di belakang dia orang-orang berperang dan kepada dirinya mereka berlindung (HR al-Bukhari dan Muslim).
Inilah bedanya sistem politik dan negara dalam Islam dengan sistem demokrasi. Dalam demokrasi, meski dikatakan kedaulatan di tangan rakyat, realitanya rakyat tak berdaya ketika penguasa atau wakil rakyat mereka mengesahkan aturan yang merugikan dan merampas hak-hak mereka. Negara dalam demokrasi tunduk pada kepentingan modal dengan dalih pemasukan untuk negara. Padahal jutaan rakyat terdampak dan menderita karena kebijakan tersebut.
Di dalam sistem demokrasi, aturan juga kerap dibuat karena unsur kepentingan para pembuatnya. Mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, mengatakan pembukaan izin ekspor pasir pantai berpotensi jadi “lapak baru” praktik korupsi. Sebabnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi regulator serta pengawas dan pemberi izin “pemanfaatan” hasil sedimentasi laut yang mencakup pasir laut.
Saut Situmorang juga menyoroti kerancuan PP yang mengacu pada Undang-Undang Kelautan, dan bukan mengacu Undang-Undang Pertambangan Mineral, dan Batubara. Hal itu tertera dalam Pasal 21 dan 22 PP Nomor 26 Tahun 2023. Menurut Saut, terjadi tumpang tindih regulasi yang menyebabkan conflict of interest antar instansi dan pelaksananya.
Selain itu, sering kebijakan konsesi jadi ajang kongkalikong pengusaha dan penguasa. Para pengusaha berlomba-lomba memberikan sogokan agar diberi konsesi dan dilindungi usahanya. Agar usahanya langgeng, para pengusaha juga akan memberikan dukungan politik ataupun upeti pada elit politik, parpol dan penguasa agar tetap duduk di kekuasaan. Hasilnya, rakyat lagi yang jadi korban. Jelas, ini tak boleh dibiarkan.
Alhasil, di sinilah pentingnya syariah Islam diberlakukan, termasuk dalam pengaturan kepemilikan umum, juga pentingnya sanksi hukum diberlakukan secara tegas atas siapa saja yang merugikan kepentingan umum.
WalLâhu a’lam. []
—*—
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba—yang telah Allah beri wewenang untuk mengurus rakyat—mati pada hari kematiannya, sementara dia dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah akan mengharamkan atas dirinya surga. (HR al-Bukhari)