Oleh *Ayik Heriansyah*
STRATEGIC ASSESSMENT- Tidak ada yang salah dengan pernyataan BNPT tentang ciri-ciri penceramah radikal. Semuanya terkonfirmasi dengan fakta di lapangan. Realitasnya, penceramah radikal memang demikian adanya.
Wajar, kalau kemudian mereka baper, ngamuk dan menyerang BNPT. Justru serangan tersebut menegaskan kebenaran dari statement BNPT tentang ciri-ciri penceramah radikal.
Salah satu ciri penceramah radikal adalah penceramah yang berpikiran mau mengubah empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika), menjadi negara baru versi mereka. Sebut saja khilafah. Dengan catatan, bahwa khilafah yang diperjuangkan oleh penceramah radikal tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Penceramah radikal hakikatnya adalah aktivis partai politik yang menyamar menjadi penceramah agama. Mereka memanipulasi momen-momen keagamaan menjadi forum-forum kampanye anti pemerintah dan sosialisasi khilafah. Kegiatan ceramah berubah menjadi kegiatan politik.
Pemikiran mereka konsisten dari sejak dulu kala. Dapat dibaca dari pernyataan M. Ismail Yusanto (Jubir HT di Indonesia), 12 tahun yang lalu, bahwa: “Jadi intinya telah terjadi kegagalan yang sistemik dan sangat mendasar pada negara ini. Oleh karena itu, bila kita menginginkan sebuah perbaikan harus ada perubahan. Perubahan itu ya perubahan yang mendasar, yakni perubahan rezim dan perubahan sistem. Jadi tidak hanya cukup perubahan rezim saja.” (“Ismail Yusanto: Indonesia Butuh Perubahan yang Mendasar | Islam Will Dominate” https://www.globalmuslim.web.id/2010/10/ismail-yusanto-indonesia-butuh.html?m=1)
Maksud dan tujuan dari ceramah agama yang sesungguhnya, agar jamaah semakin dekat kepada Allah swt, karena dengan dekat kepada Allah swt, hati jamaah menjadi tenang. Jamaah semakin taqwa dan berakhlak mulia.
Celakanya, oleh penceramah radikal, hati jamaah dibikin panas penuh amarah murka dan kebencian kepada orang lain, khususnya pemerintah.
Kampanye anti pemerintah dan pro khilafah di mimbar-mimbar ceramah agama bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan supaya kita bersama pemerintah, kecuali jika seumpama pemerintah mengajak kita menentang Allah swt dan Rasul-Nya.
Adapun perbedaan pendapat antara kita dengan pemerintah, bukan alasan syar’i bagi kita untuk menentang pemerintah. Hal yang demikian sudah terjadi di masa Rasulullah saw dan khalifah-khalifah setelahnya.
Para sahabat pernah tidak setuju dengan pendapat Rasulullah saw tentang strategi perang Uhud. Rasulullah saw ingin defensif, sedangkan mayoritas sahabat mau ofensif. Akhirnya Rasulullah saw ikut pendapat mayoritas sahabat.
Waktu perjanjian Hudaibiyah, ada sahabat yang tidak sependapat, di antaranya Umar bin Khaththab. Umar mengutarakan ketidaksetujuannya, akan tetapi Rasulullah saw tetap yakin dengan pendapatnya. Keputusan Rasulullah saw kemudian diterima semua sahabat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kebijakannya memerangi umat Islam yang tidak mau menyerahkan zakat ke negara, ditentang oleh Umar. Mereka berdua berdialog panjang. Tapi akhirnya, Umar menerima pendapat Abu Bakar.
Waktu Umar menjadi khalifah, kebijakannya yang tidak membagikan ghanimah dan tidak memasukkan mualaf ke dalam mustahiq zakat, juga diprotes sahabat. Setelah dijelaskan alasan-alasannya, baru kemudian sahabat menerimanya.
Walhasil, tidak ada tempat bagi penceramah radikal. Melarang mereka ceramah, sesuai dengan ajaran Islam. Sejatinya, mereka adalah provokator yang berafiliasi dengan gerakan politik transnasional tertentu guna merusak bangsa dan negara kita.