STRATEGIC ASSESSMENT- Konstelasi politik global saat ini diwarnai dengan ketegangan antara Rusia dengan Ukraina. Ketegangan ini banyak dikhawatirkan berbagai kalangan akan dapat menyulut perang dunia ketiga.
Beberapa negara konon diprediksi malah meraup untung jika konflik ini terus memanas, antara lain Qatar terkait pasokan energi dan Amerika Serikat terkait dengan penjualan senjata militer yang meningkat tajam. Setidaknya ada juga yang memprediksi sebanyak 14 negara akan “terdampak” jika perang dunia ketiga, baik karena pro Rusia maupun pro Ukraina. Jerman dan Israel dikabarkan bersikap netral.
Jerman netral karena alasan ekonomi, sedangkan Israel netral karena baik Rusia dan Ukraina berpenduduk Yahudi. Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan PM Tiongkok Xi Jinping berkunjung ke Moscow, sedangkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pergi ke Kiev, Ukraina untuk meredakan ketegangan, sekaligus membawa kepentingan nasional masing-masing negara.
Sebenarnya, krisis Ukraina-Rusia memanas ketika Ukraina ingin melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Rusia dan hendak bergabung ke NATO, maka Rusia tentu saja meradang. Ukraina sebagai wilayah penyangga bagi pertahanan dan keamanan Rusia bakal jatuh ke tangan NATO yang dipimpin AS. Padahal selama ini, Rusia selalu memprotes kecenderungan invasif NATO untuk menambah keanggotaannya, termasuk ke negara-negara bekas Uni Soviet. Berkali-kali Rusia telah memperingatkan NATO agar tidak memperluas keanggotaannya ke wilayah Timur. Kenyataan bahwa kekuatan militer NATO dan AS telah ‘hadir’ di Ukraina semakin menempatkan Putin untuk berpotensi mengambil kebijakan pertahanan mengamankan wilayahnya, jika perlu wilayah-wilayah bekas Uni Soviet.
Menurut Alexander Gabuev, Ketua Rusia di Program Asia-Pasifik di Carnegie Moscow Center, sudah ada beberapa bukti bahwa ketegangan dengan Barat telah memperdalam kerja sama antara China dan Rusia. Dia mengutip kesepakatan.
senjata, pengembangan senjata bersama, dan peningkatan jumlah latihan bersama antara kedua kekuatan.
Tulisan singkat ini mencoba untuk memprediksi apakah jadi atau tidak perang Rusia-Ukraina berdasarkan beberapa teori seperti yang tertulis dalam berbagai buku seperti “What causes war?” yang ditulis Greg Cashman, Just War Theory yang ditulis Thom Brooks, Management and War How Organisations Navigate Conflict and Build Peace yang ditulis Joanne Murphy dan termasuk beberapa data dan ulasan berdasarkan Forecast series : Putin’s Likely Course of Action in Ukraine. Strategic Misdirection: An Alternate Framework For Understanding Russia’s Play In Ukraine.
Fakta-fakta yang diungkap dalam tulisan ini semuanya bersumber dari open sources news atau sumber terbuka baik dari dalam dan luar negeri. Fakta-fakta juga akan disusun sedemikian rupa agar terbentuk kontur permasalahan yang jelas terkait memanasnya konflik internasional antara Rusia vs Ukraina.
Konsep teori dan realita empiris
The idea of a just war is often premised on two normative conditions. The first is the idea of a jus ad bellum, or the justification for engaging in war. This is most often defended in terms of a state’s right to self-defence analogous to individuals. The argument is that individuals are justified i n engaging in self-defence against unjust aggressors. The second normative condition of a just war is its jus in bello, or the justice arising within war. This relates to the justification of how states engage in war. The fact that a state may possess a just cause for war does not entail that this state would be justified in fighting the war however it might choose. Instead, there are normative constraints on how just wars should be fought if the military action is to be considered a ‘just war’.
Pernyataan diatas dikemukakan oleh Thom Brooks dalam buku Just War Theory (2013). Intisarinya bahwa ide “hanya perang” disebabkan karena dua kondisi yaitu justifikasi melakukan peperangan sebagai kondisi normatif pertama, dan pentingnya keadilan dalam perang sebagai kondisi normatif kedua. Kondisi normatif pertama menggambarkan bahwa melakukan perang adalah hak negara untuk melindungi warga negaranya melawan kelompok agressor. Kondisi normatif kedua tetap mengungkapkan alasan mengapa negara harus memilih untuk perang atau alasan-alasan “keadilan” mengapa negara harus melakukan military action.
Berdasarkan teori just war ini, maka jika perang Rusia vs Ukraina terjadi maka mereka menggunakan prinsip normatif yaitu “a jus ad bellum, or the justification for engaging in war.”
Berdasarkan teori empiris yang menyebabkan peperangan disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadi perang seperti ukuran luas geografi sebuah negara, jumlah penduduk, perkembangan teknologi, kekuatan militer dan stabilitas politik.
Geographic size—as measured in square miles. Population size—as measured by numbers of citizens. Technological development—as measured by yearly iron and steel production and/or energy consumption. Military strength—as measured by the number of men and women in armed forces and/ or by annual defense spending. Political stability—as measured by the number of months since the last.
unconstitutional change of regime. Konsep teori ini diperkenalkan oleh J David Singer.
Menelaah pendapat J David Singer ini, maka Rusia bukanlah lawan sepadan buat Ukraina. Dari sudut kekuatan militer (military strength) saja, maka militer Rusia menurut Global Fire Power Rusia secara umum berada di peringkat dua dunia dalam hal kekuatan militer. Hanya kalah dari AS, skor PwrIndx Negeri Beruang Merah ada di 0,0501. Total personel militer Rusia berjumlah 1,35 juta orang. Terdiri dari 850.000 personel aktif dan 250.000 personel cadangan. Di matra udara, Rusia menguasai total 4,173 unit pesawat (nomor dua dunia). Di antaranya terdapat 772 unit pesawat tempur (nomor tiga dunia), 445 unit pesawat angkut (nomor dua dunia), dan 1,543 unit helikopter (nomor dua dunia). Di matra darat, Rusia memliki 12.420 unit tank (nomor satu dunia). Ditambah 30.122 kendaraan lapis baja (nomor tiga dunia), dan 3.391 unit pelontar roket (nomor satu dunia). Di matra laut, total aset Rusia berjumlah 605 (nomor dua dunia). Di antaranya terdapat satu unit pengangkut pesawat (nomor tiga dunia), 15 unit kapal penghancur (nomor empat dunia), 70 unit kapal selam (nomor dua dunia), dan 59 unit kapal patroli (nomor 15 dunia).
Sedangkan kekuatan militer Ukraina berada di peringkat 22 dunia dengan skor PwrIndx 0,3266. Ukraina bahkan kalah dari Indonesia yang menempati rangking 15 (0,2322). Total personel militer Ukraina berjumlah 500.000. Terdiri dari 200.000 personel aktif, 250.000 personel cadangan, dan 50.000 paramiliter. Di matra udara, total aset Ukraina berjumlah 318 unit (peringkat 31 dunia). Di antaranya terdapat 69 unit jet tempur (nomor 32 dunia), 32 unit pesawat angkut (nomor 22 dunia), dan 112 unit helikopter (nomor 34 dunia). Di matra darat, Ukraina memiliki 2.596 unit tank (nomor 13 dunia). Ditambah ada 12.303 kendaraan lapis baja (nomor enam dunia) dan 490 unit peluncur roket (nomor 12 dunia). Di matra laut, total aset Ukraina berjumlah 38 unit (nomor 53 dunia). Ukraina hanya memiliki masing-masing satu unit frigate dan corvette ditambah 13 unit kapal patroli dan satu unit perangkat ranjau laut.