STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan meminta netizen melacak harta 3 pimpinan KPK usai gaya hidup mewah keluarga mantan pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo terungkap.
Hal ini disampaikan Novel Baswedan menanggapi KPK yang meminta bantuan netizen untuk mencari info harta tak wajar pejabat lalu diviralkan seperti yang dilakukan terhadap keluarga Rafael.
Seperti diketahui, harta mencurigakan Rafael mulai terendus setelah anaknya, Mario Dandy Satrio menganiaya David, anak pengurus GP Ansor, Jonathan Latumahina.
Lebih lanjut, 3 pimpinan KPK yang dimaksud Novel Baswedan adalah Ketua KPK Firli Bahuri, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
“Ide bagus. Bagaimana kalo di mulai dari Pimpinan KPK Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nurul Gufron. Silahkan netizen yang budiman..” ucap Novel di Twitter @nazaqistsha, Kamis (2/3).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata meminta bantuan media massa dan netizen untuk melacak harta para pejabat negara dan kemudian diviralkan, berkaca kasus harta kekayaan eks pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo.
Aksi penyelenggara negara memamerkan harta kekayaan di media sosial menuai kecaman publik, hingga Presiden Joko Widodo turut mengkritik tindakan tersebut. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika bahkan menilai, agar penyelenggara dengan sikap pamer, patut untuk dipecat.
“Jadi kalau pejabatnya memiliki mental memamerkan, sebetulnya itu sudah tidak layak menjadi aparatur penyelenggara negara. Hal-hal seperti itu mestinya layaknya dievaluasi, kalau perlu dipecat saja,” ujar Yeka dikutip dalam dialog pagi dengan RRI Cirebon, Jumat (3/3).
Menurutnya, pemecatan terhadap penyelenggara negara karena sikap hedonismenya merupakan langkah terbaik. Mengingat, filosofi penyelenggara negara adalah pelayan publik. Yang mana, rasa empati dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi.
Yeka tidak mempersoalkan kekayaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara, selama sumber perolehannya dapat dibuktikan. Namun, menjadi permasalahan hingga menuai kecaman publik lantaran penyelenggara negara tersebut justru bersikap pamer.
Seperti diketahui belum lama ini, di media sosial Twitter ramai memperbincangkan Kepala Kantor Direktorat Jenderal dan Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta, Eko Darmanto. Pemilik akun @eko_darmanto_bca ini kerap memamerkan foto-foto motor atau mobil mewah dan klasik. Bahkan dalam ada beberapa postingan yang menunjukkan sebuah pesawat pribadi.
Berdasarkan LHKP yang diakses pada Senin 27 Februari 2023, Eko Darmanto tercatat memiliki alat transportasi dan mesin senilai Rp2,9 miliar. Dengan total tersebut, Eko memiliki 9 kendaraan mewah yang harganya mulai dari Rp150 juta hingga Rp850 juta.
Mobil termahal yang dilaporkan Eko yakni BMW Sedan tahun 2018 seharga Rp850 juta dan Mercedes Benz Sedan tahun 2018 seharga Rp600 juta. Eko juga tercatat memiliki Toyota Fortuner tahun 2019 seharga Rp400 juta, Chevrolet Bell Air tahun 1955 senilai Rp200 juta dengan keterangan BEKAS.
Selain itu, Eko memiliki mobil Mazda 2 tahun 2019 seharga Rp200 juta. Lalu mobil Chevrolet Apache tahun 1957 seharga Rp200 juta. Mobil paling murah yang dimiliki Eko senilai Rp150 juta. Antara lain Jeep Willys tahun 1944, Fargo Dodge Fargo tahun 1957 dengan keterangan mobil BEKAS, dan Ford Bronco tahun 1972 yang juga diberi keterangan BEKAS.
Ada juga tanah dan bangunan di Malang senilai Rp2,5 miliar. Untuk aset ini tercatat merupakan hasil hibah tanpa akta. Masih dari laporan yang sama, Eko tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp100,7 juta, kas dan setara kas Rp238,90 juta dan harta lainnya Rp15,73 miliar. Eko juga tercatat memiliki utang sebesar Rp9,08 miliar. Sehingga total kekayaan harta Eko sebesar Rp6,72 miliar.
Selain memiliki kendaraan mewah, Eko juga melaporkan aset berupa tanah dan bangunan yang dimilikinya. Nilainya tercatat Rp12,5 miliar, terdiri dari tanah dan bangunan di Jakarta Utara senilai Rp10 miliar dengan keterangan hasil sendiri.
Kasus terkuaknya harta kekayaan para pejabat di Kementerian Keuangan membuat ulama Said Aqil Siroj merespons hal ini. Mantan ketua umum PBNU ini menilai kasus yang terungkap ini menjadi tanda bahwa rakyat tidak perlu membayar pajak karena ujung-ujungnya terjadi penyelewengan dana pajak.
Said Aqil mengaku tak segan mengajak ulama lain untuk mengimbau masyarakat agar tak perlu membayar pajak. Ia juga sempat menyinggung kasus Gayus Tambunan yang pernah menjadi bagian dari Kemenkeu.
“Saya ketika masih menjadi Ketum PBNU tahun 2012 bulan September, saat Munas (musyawarah nasional) ulama di pesantren Cirebon, waktu itu baru ada kejadian Gayus Tambunan. Keputusan para Kiai (ulama) bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan, NU akan mengambil sikap tegas, warga NU tidak usah bayar pajak waktu itu,” ungkap Said Aqil.
Hal ini menjadi perhatian pemerintah karena peran Said Aqil yang juga merupakan ulama besar dan dikenal di Indonesia. Pria bernama lengkap Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A. ini lahir 3 Juli 1953 di Cirebon, Jawa Barat. Ia merupakan salah satu mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) yang menjabat selama dua periode yaitu periode 2010-2022. Kini, perannya di NU adalah sebagai Mustasyar atau dewan penasihat PBNU periode 2022-2026.
Sepak terjangnya di dunia ulama membuatnya berhasil memegang jabatan sebagai Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Cirebon dan juga sebagai pimpinan dari Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan. Kini, ia menjabat sebagai Komisaris Utama di PT. KAI.
Kariernya sebagai dosen dimulai sejak tahun 1997, saat dirinya berhasil menjabat sebagai dosen di Institut Pendidikan Tinggi Al-Quran dan dosen pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga berhasil menjabat sebagai Wakil Rektor di Universitas Islam Malang pada tahun 1997 hingga 1999.
Alumni dari Universitas King Abdul Aziz dan Universitas Ummul Qura Mekkah ini juga sudah menjadi pengurus PBNU sejak masih berkuliah di Mekkah. Ia tercatat pernah menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU Mekkah di awal perkuliahannya selama 4 tahun.
Perjuangannya di dunia NU membuatnya berhasil terpilih sebagai Ketua PBNU di tahun 2004 dan menjadi Ketua Umum PBNU di tahun khidmat 2010 – 2020. Selama dua periode jabatannya, Said pun sering bekerjasama dengan berbagai instansi, termasuk Kementerian Agama dalam menentukan kalender hijriyah, termasuk penentuan masuknya bulan puasa bagi masyarakat Indonesia.
Kini, pernyataan Aqil pun menimbulkan kontroversi di masyarakat. Dirjen Pajak, Suryo Utomo menilai seharusnya Aqil dapat membedakan antara kasus dan kewajiban.
Suryo meminta untuk memisahkan antara kasus dan kewajiban warga negara. “Kita harus pisahkan mana kasus mana kewajiban. Kejadian ini adalah kasus, sistemnya kalau membayar pajak itu ke negara. Jadi membayar pajak itu tidak melalui pegawai pajak tapi masuk ke negara lalu kemudian diretribusi ke masyarakat.” ungkap Suryo dalam keteranngannya.
Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU, Said Aqil Siradj, menyebut kasus anak pejabat pajak yang melakukan penganiayaan mengingatkannya akan kasus Gayus Tambunan.
“Keputusan para kyai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan, NU akan menempuh sikap tegas, warga NU tidak usah bayar pajak, waktu itu,” kata Said dalam video di Instagram pribadinya, Selasa, 28 Februari 2023. Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengirim utusan menemui Said. Dia pun mengatakan pernyataan tersebut berdasarkan referensi kitab kuning.
Said Aqil menceritakan kisahnya saat menjadi Ketua Umum PBNU pada September 2012 silam di Munas Ulama di Pesantren Cirebon. Kala itu, baru saja ada kasus Gayus Tambunan, yakni mantan pegawai Ditjen Pajak yang dikenakan pidana karena kasus mafia.
Diceritakan oleh Said, para kiai memutuskan saat itu bahwa jika uang pajak diselewengkan, maka NU akan mengambil sikap tegas dengan tidak lagi membayar pajak.
Said Aqil melanjutkan, hasil munas ulama yang menyerukan tidak membayar pajak jika terbukti ada penyelewengan sampai membuat Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beraksi. SBY mengirimkan utusan pribadi kepadanya.
Di depan staf khusus yang telah dikirim oleh Presiden SBY tersebut, Said Aqil menjelaskan keputusan tersebut dibuat berdasarkan referensi kitab kuning, juga berdasarkan pada keputusan para imam serta ulama.
Menurutnya, apabila pajak diperuntukkan untuk rakyat, khususnya untuk pembangunan dan kebaikan, maka pihak NU sendiri akan mendukung adanya hal tersebut. Namun jika untuk hal buruk, NU tidak akan mendukung.
Sama seperti kasus Gayus Tambunan, Said Aqil meminta agar kekayaan fantastis dari Rafael Alun juga diselidiki lebih dalam. Apabila memang terbukti terjadi penyelewengan uang pajak, maka ia memastikan para ulama akan mengajak warganya untuk tidak lagi membayar pajak.
Ekonom Indef atau Institute for Development Economics and Finance, Eko Listiyanto mengatakan pernyataan Said Aqil agar warga NU tak usah bayar pajak jika diselewengkan merupakan peringatan bagi pemerintah.
Dia melanjutkan, kasus demi kasus yang menggerus kredibilitas aparat perpajakan dan terus berulang perlu pembenahan budaya kerja yang baru untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Eko menilai, hal tersebut tidak cukup hanya dengan perbaikan dari sisi pengawasan internal dan pendekatan digital. Menurut Wakil Direktur Indef itu, penanganan kemiskinan, ketimpangan, pendidikan anak tidak mampu, hingga kesehatan bisa tambah berantakan kalau hal tersebut terjadi.
Sementara, pembangunan sport centre yang berada di Desa Sena Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang nampaknya tidak akan tuntas, meskipun Dinas Pemuda Olahraga mengerahkan ratusan personil Satpol PP untuk menghancurkan dan mengusir anggota Kelompok Tani Sejahtera Deli Bersatu beberapa waktu lalu. Sebab, kasus proyek yang rencananya digunakan saat PON 2024 itu telah digulir ke KPK dengan mencatut nama Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi sebagai terlapor.
Direktur Eksekutif Lingkar Indonesia, Tua Abel Sirait sebagai pihak pelapor menerangkan bahwa cacat hukum proyek yang menelan anggaran sebesar Rp152.981.975.472 karena menggunakan SK 10 Bodong dan tidak dapat dijadikan dasar untuk menjual aset negara oleh PTPN II.
“Bagaimana ada jual beli tanah tapi dasar hukumnya tidak sah. dan ini sudah kami laporkan hal ini ke KPK akhir Februari 2023,” tanya Abel didampingi Ketua Investigasi Lingkar Indonesia, Edy Simatupang Sabtu (4/3/2023) siang.
Lanjut Abel, hasil investigasi mereka ditemukan pula bahwa hingga saat ini pernohonan perpanjangan HGU oleh PTPN II berulang kali ditolak BPN. Artinya, aset yang mereka klaim sebagai milik mereka harusnya merupakan milik negara sehingga Pemerintah Provinsi Sumut tidak boleh mengeluarkan uang untuk membeli asetnya miliknya sendiri.
“Kalau aturannya kan ketika HGU tidak diperpanjang lagi, tanah itu itu bukan milik PTPN II lagi. Balik ke negara dong. Siapa negara itu, ya Pemerintah Provinsi Sumut,” tegas pucuk pimpinan lembaga yang konsen memonitoring kasus kasus korupsi di pemerintahan.
Adanya skenario jual beli tersebutlah patut mejadi dugaan kuat bagi Lingkar Indonesia bahwa telah dibentuknya skenario jual beli yang seakan-akan sah dengan melibatkan beberapa pihak. Sehingga dalam laporannya ke KPK, Abel menyebut menyertakan nama Kepala BPN Sumut, BPN Deli Serdang, Mantan Dirut PTPN II, serta Edy Rahmayadi selaku Gubernur Sumut sebagai terlapor
Sementara itu, Sekretaris Kelompok Tani Sejahtera Deli Bersatu, Pahala Napitupulu mengungkapkan bahwa tanah PTPN II yang telah kembali menjadi aset negara juga harusnya dibagikan kepada masyarakat, bukan para pihak kapitalis hanya demi mencari untung. Bertahannya mereka di lokasi yang dibeli Pemprov Sumut dengan SK 10 bodong itu, dikarenakan ia paham sekaligus memiliki data fisik yang akurat soal tanah itu.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) angkat bicara soal Ombudsman yang melaporkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani kepada Presiden Jokowi dan DPR. Melalui Staf Khusus (Stafsus) Menkeu Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa pihaknya bukan tidak mau membayar apa yang dituntut terkait maladministrasi. “Jadi kemarin sudah disampaikan kepada Ombudsman, Kemenkeu bukan tidak mau membayar, tapi ini bentuk kehati-hatian,” jelas dia, saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (3/3/2023).
Kemudian dia menuturkan bahwa tim satuan tugas yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) belum selesai menjalani tugas.
“Meskipun itu putusan inkrah, kita perlu melakukan pendalaman. Pendalaman ini dilakukan oleh satgas, tim yang dibentuk Kemenko Polhukam dan mereka belum selesai bekerja, maka kami belum berani eksekusi,” tandasnya. Sebab, Kemenkeu akan melakukan pembayaran yang diminta oleh Ombudsman apabila telah mendapatkan rekomendasi dari tim satgas Kemenko Polhukam.
Sebelumnya, Ombudsman RI melaporkan Menteri Keuangan kepada Presiden dan Ketua DPR ihwal maladministrasi atas belum dilakukannya 9 putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Ketua Ombudsman Mokhammad Najih mengatakan pihaknya telah melayangkan surat kepada presiden dan ketua DPR pada 22 Februari 2023 lalu. Jika diakumulasikan, total kewajiban di dalam 9 putusan tersebut mencapai Rp258,6 miliar. Najih menambahkan, pihaknya juga menolak alasan penundaan pelaksanaan putusan.
“Menurut Ombudsman RI, alasan menunda pelaksanaan Rekomendasi Ombudsman RI tersebut tidak dapat diterima oleh karena putusan-putusan pengadilan yang termuat dalam Rekomendasi Ombudsman telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam waktu yang cukup lama kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu,” jelas Najih dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (1/3/2023). Diketahui, pada 11 Desember 2022 Menteri Keuangan melayangkan surat kepada Ombudsman terkait alasan dirinya belum bisa melaksanakan putusan pengadilan itu.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa pelaksanaan rekomendasi Ombudsman menunggu dilaksanakannya reviu atas putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Tim Pemenuhan Kewajiban Negara sebagaimana Keputusan Menko Polhukam No. 63 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Tindak Lanjut Putusan Terkait Pemenuhan Kewajiban Negara (Red/berbagai sumber).