STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Denny Indrayana, S.H, Ph.D menilai pengadilan negeri tak punya kompetensi untuk menunda pemilu. Hal itu diungkapkan untuk menanggapi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutus untuk menunda pemilu 2024.
Menurut Prof Denny, pengadilan negeri tak mempunyai yurudiksi dan kompetensi untuk memutuskan penundaan pemilu. Ia menilai, putusan majelis hakim terkait penundaan pemilu itu tak punya dasar.
“Tidak bisa, pengadilan negeri tidak punya kompetensi untuk menunda pemilu. Putusan-putusan yang di luar yuridiksi seperti ini, adalah putusan yang tak punya dasar, dan karenanya tidak bisa dilaksanakan,” ungkap Denny saat dihubungi wartawan.
Denny menjelaskan, penundaan pemilu bisa dilakukan apabila situasi kondisi tak memungkinkan, seperti terjadinya perang atau bencana alam.
“Itu pun harus dengan dasar yang kuat buktinya, tak bisa dengan putusan-putusan yang tidak punya yurisdiksi atau kompetensi semacam ini,” ujar Denny.
Atas dasar itu, Denny menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut harus ditolak. “Putusan ini harus ditolak, dan harusnya dari awal tidak dikeluarkan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. PN Jakpus pun meminta KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024 hingga 2025.
Sementara itu, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) meminta kepada semua unsur untuk menghormati putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Prima, Agus Jabo dalam menanggapi pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menolak putusan PN Jakarta Pusat dan mendukung KPU untuk tetap melanjutkan seluruh tahapan pemilu.
“Kami berharap semua pihak menghormati putusan PN Jakarta Pusat yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu,” kata Agus Jabo dalam keterangan tertulisnya.
Ia mengingatkan agar seluruh pihak bisa menjaga kewibawaan lembaga peradilan.
“Agar kita terhindar dari perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan,” terangnya.
Dikatakan Agus, bahwa putusan PN Jakpus yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu merupakan keputusan yang rasional agar tercipta kesamaan hak dan keadilan bagi warga negara.
Agus menilai bahwa tuntutan PRIMA yang meminta proses tahapan pemilu dihentikan sementara sudah sesuai dengan yang tertera di Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant Civil and Political Right.
“Larangan terhadap tergugat untuk menyelenggarakan tahapan pemilu sebagai hukuman adalah tuntutan yang rasional agar tercipta kesamaan hak dan keadilan bagi penggugat,” pungkas Ketum Prima tersebut.
Di tempat terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi melalui konferensi persnya menilai publik dikejutkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Gugatan yang diajukan oleh Partai Prima terhadap KPU.
Dalam amar putusannya poin 5 menyatakan “Menghukum Tergugat (KPU RI) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.” Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutus perkara melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan konstitusi. Berikut link youtube konferensi pers mereka (Red/berbagai sumber)