STRATEGIC ASSESSMENT-Kalimantan Timur. Pandi sedang duduk di teras rumahnya yang berjarak kurang lebih satu kilometer dengan titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara saat Kompas.com menemuinya pada Jumat (23/2/2023) malam. Suasana sepi menyelimuti pemukiman RT 3, Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Hanya terdengar suara jangkrik dan binatang lain sepanjang malam.
“Beginilah suasana hidup di kampung, saya dari kecil hidup di kampung. Ini peninggalan nenek moyang kami, suku asli Balik. Sepi, terdengar suara jangkrik, bikin suasana hati tenang,” kata Pandi sambil meneguk sisa kopinya. Pemukiman tempat tinggal Pandi rencananya akan dinormalisasi untuk program pengendalian banjir di wilayah IKN.
Jauh sebelum menjadi wilayah administrasi Kelurahan Sepaku, kampungnya dihuni nenek moyang suku Balik setelah migrasi dari Balikpapan. Inilah kenapa penghuni wilayah RT 3, lokasi tempat tinggalnya, mayoritas masyarakat suku Balik. Di kedua sisi rumah Pandi tampak jejeran rumah panggung dari kayu dengan corak kuno. Teras depan menghadap jalan, sementara belakang rumah adalah Sungai Sepaku.
Sambil meneguk kopinya, Pandi memikirkan proyek normalisasi yang sebentar lagi akan digarap pemerintah. Rumah warga yang berdekatan dengan sungai, akan dibebaskan untuk program pengendalian banjir di wilayah sekitar IKN. Rencananya, proyek bernilai Rp 242 miliar itu digunakan untuk menormalisasi sungai Sepaku sepanjang 8 kilometer.
“Warga di sini sepakat menolak ganti rugi dan memilih bertahan di sini. Ini kampung kami, kalau digusur kami mau ke mana?” keluh Pandi. Proyek normalisasi sungai Sepaku ini akan memperlebar badan sungai.
Jika melihat peta desain rencana, alur normalisasi akan mengikuti aliran sungai yang nyaris melingkari dataran yang merupakan kampung warga. Padahal, kampung yang dihuni keturunan suku Balik ini merupakan cikal bakal wilayah administrasi Kecamatan Sepaku. Setidaknya, kampung itu merupakan kampung pertama di wilayah Sepaku.
“Kami hidup turun temurun di kampung ini. Ya, kami ingin tetap di sini, karena kami punya ikatan emosional dengan tanah ini, termasuk di dalamnya situs-situs sejarah, dan makam leluhur kami,” kata Pandi. Pandi meminta pemerintah mempertimbangkan ulang rencana ganti rugi rumah dan lahan warga RT 3 Kelurahan Sepaku.
Baginya dan warga lain, ganti rugi sama saja mengusir masyarakat adat pergi dari kampung dan menghilangkan kampungnya. “Ini kampung wilayah adat kampung kami, kami tetap mempertahankan,” tegas Pandi. Marjani yang merupakan tokoh adat Suku Balik dan tetangga Pandi mengatakan, merelokasi warga di wilayah tersebut artinya ingin menghilangkan sejarah leluhur.
“Dulu saat nenek moyang kami, suku asli Balik tempati kampung ini, orang luar mau masuk kampung ini harus izin dulu,” kata dia. Lalu, mengapa sekarang masyarakat suku Balik yang mendiami tanah warisan leluhur, justru mau diusir dengan dalih pembangunan IKN. “Kami setuju IKN pindah ke sini. Tapi, jangan sampai pembangunannya singkirkan masyarakat asli di sini,” harap dia.
Menurut pendataan tim, ada 27 bidang tanah dan 18 bangunan rumah warga di RT 3 Sepaku yang harus dibebaskan. “Tapi karena warga menolak, saya sampaikan ke tim jangan sampai kita paksakan situasi, ini sangat sentitif,” ungkap Sekretaris Camat Sepaku, Hendro Susilo. Akhirnya, Hendro meminta tim membuka kembali ruang diskusi dan sosialisasi, khusus warga RT 3 Sepaku. Dua opsi yang disodorkan yakni relokasi dan pelebaran badan sungai tanpa harus memakan lahan rumah warga.
Soal relokasi, Hendro mengusulkan lahan HGU milik PT IHM berbatasan dengan Kelurahan Sepaku, bisa dipakai mengingat berdekatan dengan pemukiman sebelumnya. Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan IV, Harya Muldianto menyebut kebutuhan pembebasan lahan itu proyek itu kurang lebihnya sekitar 200 hektar. Lahan seluas itu, mencakup tiga wilayah yakni Kelurahan Sepaku, Desa Bukit Raya dan Desa Suka Raja. Hanya saja, warga di dua desa terakhir cenderung setuju untuk proses ganti rugi. “Karena tidak ada riak-riak dibawah. Hanya warga di RT 3 saja yang sampai saat menolak,” pungkas dia.
Tawaran relokasi untuk RT 3 yang ditawarkan Hendro, sebelumnya sudah ditolak Kepala BWS Kalimantan IV, Harya Muldianto. Harya menyebutkan pihaknya hanya mengganti rugi bangunan atau tegakan sesuai ketentuan UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
“Kami tidak merelokasi. Tapi kami ganti lahan dan bangunan atau tegakan yang dimiliki warga. Kami harap ada win-win solution biar masyarakat pun enggak rugi, kami juga bisa kerjakan proyek dengan lancar,” ungkap Harya saat dihubungi Kompas.com.