STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buat menempatkan Menteri Pertahanan sebagai orkestrator intelijen disebut patut dipikirkan kembali karena dianggap bisa mengganggu tata kelola sektor keamanan di Indonesia. Menurut Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas, terdapat 2 alasan mendasar mengapa gagasan itu harus ditinjau kembali. Yang pertama, kata Anton, gagasan itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Kementerian Pertahanan, lanjut Anton, adalah satu dari bagian dari penyelenggara intelijen negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 9e UU 17/2011. “Meski demikian, patut diingat, sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UU Intelijen Negara, fungsi koordinasi dijalankan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), bukan Kementerian Pertahanan,” kata Anton dalam keterangannya seperti dikutip Kompas.com, Minggu (26/2/2023).
Maka dari itu, Anton menyatakan ide supaya Menhan menjadi orkestrator intelijen jelas bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang mengatur spesifik tentang kegiatan intelijen negara. Anton melanjutkan, alasan kedua mengapa hal itu patut dipikirkan ulang karena gagasan itu tidak sejalan dengan UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Menurut Anton, dalam Pasal 16 UU Pertahanan Negara sudah jelas mengatur ruang lingkup pekerjaan dari Menteri Pertahanan. Dalam pasal itu, tugas Menhan secara spesifik disebutkan untuk merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan dalam sektor pertahanan.
“Sekalipun, Pasal 16 poin e membuka ruang Menhan untuk bekerja sama dengan pimpinan kementerian dan lembaga lain dalam menyusun dan melaksanakan renstra, bukan berarti Menhan dapat diberdayakan sebagai orkestrator intelijen pertahanan keamanan (hankam),” ucap Anton.
Anton menyampaikan, gagasan Menhan menjadi orkestrator intelijen justru membuka ruang baru tanpa berbasis undang-undang dan berpotensi memundurkan proses reformasi sektor keamanan yang tidak lagi meleburkan sektor pertahanan dan keamanan dalam satu organisasi, selayaknya di era Orde Baru.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta Prabowo Subianto agar Kemenhan menjadi lembaga yang mengoordinasi informasi intelijen terkait pertahanan dan keamanan. Hal ini disampaikan Jokowi saat menghadiri Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan di kantor Kementerian Pertahanan, Rabu (18/1/2023).
“Tadi di dalam saya menyampaikan pentingnya Kementerian Pertahanan menjadi orkestrator bagi informasi-informasi intelijen di semua lini yang kita miliki,” kata Jokowi, Rabu. Jokowi menyebutkan, informasi intelijen itu selama ini berasal dari banyak institusi, antara lain Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Menurut Presiden, beragam informasi itu harus dijadikan sebagai informasi yang solid untuk menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. “Ini harus diorkestrasi agar jadi informasi yang satu sehingga kita memutuskan policy, memutuskan kebijakan, itu betul, paling tidak mendekati benar,” ujar Jokowi. Ia pun mewanti-wanti agar jangan sampai potensi terjadinya sebuah peristiwa baru dilaporkan kepadanya saat sudah kejadian.
“Langkah kerja memang harus preventif terlebih dahulu, ini hati-hati. Ini akan terjadi, kemungkinan akan terjadi seperti ini, jangan sudah kejadian saya baru dikasih tahu,” kata Jokowi (www.kompas.com)