STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta, Yayasan Sativa Nusantara mengutuk adanya dugaan kerja paksa dengan dalih rehabilitasi di rumah Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin, kemarin (Senin, 24/01/2022).
YSN mengapresiasi KPK, Migrant Care, media, dan kawan-kawan lain yang membuka dan mengulas kasus ini. Terungkapnya hal ini menunjukkan pada publik ada beberapa hal yang harus diperhatikan bersama ke depan.
Pertama, mengingat bahwa terungkapnya kasus ini diawali dengan adanya Operasi Tangkap Tangan dari KPK memperlihatkan pentingnya kita semua untuk terus mendukung pemberantasan korupsi. Penegakan hukum anti-korupsi punya potensi besar mengungkap praktik-praktik tidak manusiawi seperti ini.
Kedua, ini menjadi momen lain untuk mempertanyakan kebijakan Indonesia untuk war on drugs (perang terhadap napza atau narkotika). Narasi semacam itu merawat pemikiran usang bahwa pengguna napza, yang banyak diantaranya ganja, adalah pesakitan atau penjahat yang – dengan pemahaman ini – layak untuk dipenjara atau direhab paksa.
Penjara Indonesia saat ini penuh dengan pengguna dan deterrent effect yang didambakan oleh pembuat UU Narkotika 13 tahun yang lalu tak kunjung tiba. Kebijakan ini juga menyuburkan korupsi dan penyiksaan, yang kembali muncul pada kasus di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Terlepas dari itu, kasus ini secara spesifik membuat kita harus berpikir ulang soal rehabilitasi.
Kalau kita mengikuti jalur legal, hanya ada 2 kemungkinan output berbasis regulasi dari sebuah kasus narkotika terkait pengguna: penjara atau rehabilitasi.
Dikotomi semacam ini tidak sehat karena sesungguhnya spektrum seorang pengguna lebar sekali. Ada yang memang membutuhkan rehabilitasi tapi ada juga, dan banyak, yang sesungguhnya fungsional di tengah masyarakat dan tidak perlu diintervensi secara drastis.
Rehabilitasi melalui penegakan hukum kerap terlalu mengedepankan rawat inap berbulan-bulan, padahal mungkin rawat jalan sudah bisa jadi solusi. Kami tidak anti rehabilitasi dan, dengan situasi sekarang, jelas putusan rehabilitasi terasa lebih manusiawi daripada penjara.
Namun ia harus diletakkan pada konteks dan kegunaan yang jelas. Rehab wajib/paksa seperti di Indonesia saat ini membuat seseorang tidak otonom pada nasibnya sendiri dan sulit untuk keluar dari praktik rehabilitasi yang sewenang-wenang, penuh penyiksaan, atau tidak jelas programnya.
Ketiga, kasus ini mengekspos dampak lain dari war on drugs melalui kebijakan pemenjaraan pengguna dan rehab wajib/paksa, yakni: buruh murah dan perbudakan modern. Ini tidak unik pada Indonesia. Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Amerika Utara adalah regional yang kental dengan problem ini. Dengan dalih pendidikan atau fase re-entry, agar si pengguna bisa kembali fungsional di tengah masyarakat, pengguna diajak mengikuti pelatihan dan kemudian terlibat dalam suatu proses produksi. Beberapa inisiatif seperti ini bisa dikatakan berhasil.
Namun sayangnya, beberapa yang lain kerap tidak diikuti dengan reward dan situasi kerja yang layak untuk si pengguna. Kasus di Langkat ini ekstrim dan penting karena menunjukkan betapa rentannya masyarakat untuk terperangkap dalam situasi semacam ini.
Citra rehabilitasi yang ‘harus rawat inap’ turut menyuburkan praktik ini – tercermin dari fakta bahwa keluarga korban menandatangani surat pernyataan bahwa anak mereka akan direhabilitasi satu setengah tahun lamanya, durasi yang dapat dikatakan terlalu lama untuk sebuah masa rawat inap.
Dari kasus ini, ada beberapa harapan kami, YSN, ke depan, antara lain:
Satu: Korban dari kejadian ini harus mendapatkan keadilan. Selain mengusut kasus korupsinya, model rehab paksa seperti ini bisa dikatakan tindak pidana, setidak-tidaknya Pasal 333 KUHP, Pasal 2 UU TPPO, dan UU Ketenagakerjaan.
Kami harap Polri mau mengusut kasus ini lebih jauh bukan justru menjustifikasi insiden ini. Kami menghargai respon cepat LPSK dalam hal ini dan berharap Komnas HAM juga Ombudsman mau masuk untuk memberikan evaluasi lebih luas.
BNN, yang diajak Polri untuk memeriksa kasus ini, juga patut memeriksa BNNK setempat yang diberitakan sempat datang ke ‘tempat rehabilitasi’ ini. Apa yang terjadi sehingga tempat ini bisa terus beroperasi?
Kedua: Kemenkes, Kemensos, Polri, dan BNN harus mengawasi lebih ketat rehabilitasi yang berada di bawah administrasi mereka. Setelah beberapa waktu lalu ada laporan Ombudsman dan media tentang beberapa temuan rehabilitasi bermasalah dan ditambah adanya kasus ini, harus ada upaya lebih agar hal-hal seperti ini tidak lagi terulang.
Rehabilitasi seharusnya menjadi tempat seseorang dibekali agar kembali pulih dan bermasyarakat. Negara harus memastikan tujuan itu yang terjadi, bukannya pemerasan, penyiksaan, atau perbudakan.
Ketiga: Pembuatan kebijakan narkotika ke depan, entah itu melalui RKUHP atau revisi UU Narkotika, harus mengedepankan dekriminalisasi dan penghapusan rehabilitasi wajib/paksa.
Pun rehabilitasi masih didorong sebagai bagian dari intervensi pidana, sebaiknya hadir sebagai rekomendasi dan memuat opsi perawatan yang lebih luas.
Tim YSN
Kontak: dhira@lgn.or.id