STRATEGIC ASSESSMENT. Jakarta. Jika tidak ada pengawasan internal yang kuat maka akan terjadi lagi kasus seperti Brigadir J. Soal reposisi Polri tidak diperlukan, namun saat ini yang diperlukan adalah adanya badan pengawasan Polri yang eksternal.
Hal ini dikemukakan Komjen Purn Susno Duadji dalam Focus Grup Discussion Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) bertema “Kasus Pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat : malapetaka bagi penegakkan hukum : Reformasi total Polri” di Jakarta belum lama ini, seraya menambahkan, Irwasum hanya terbatas mengawasi, Komisi III DPR RI hanya sekedar politik dan Kompolnas masih mandul, sehingga kedepan Kompolnas diberi kewenangan memeriksa, memanggil dan memberikan sanksi.
“Kalau Kapolri melanggar siapa yang memeriksa? Maka perlu ada dewan pengawas eksternal dapat diperkuatnya Kompolnas. Kompolda untuk mengawasi jajaran Polda kebawah dan Kompolres. Jika menyangkut kode etik diberi sanksi administratif, jika sudah pidana maka komisi inilah yang melaporkan ke polisi untuk mereka yang melanggar diperiksa,” tambah mantan Kabareskrim ini.
Sementara itu, La Ode Ida mengatakan, kewenangan yang sangat luar biasa yang dimiliki jajaran Polri telah menyebabkan pengawasannya menjadi lemah terutama jika ada oknum Polri melakukan pelanggaran.
“Presiden tidak memiliki konsep yang jelas terkait Polri. Apakah Polri seperti saat ini, atau ada agenda ke depan yang lebih baik belum ada konsepnya. Presiden harus melakukan perubahan secara mendasar di Polri mulai dari aturan sampai aktor-aktornya, ujar pakar sosiologi ini.
Sedangkan, Sugeng Teguh Santoso sebagai pembicara lainnya mengatakan, komplain dari masyarakat kepada IPW terkait layanan penegakkan hukum oleh Polri yang dilakukan reserse (80%). Penyelidikan dan penyidikan adalah wilayah tertutup, sehingga potensi penyalahgunaan sangat besar seperti berpihak, menghilangkan keterangan saksi, menghilangkan alat bukti, laporan bohong kepada pimpinan, rekomendasi untuk kepentingan keberpihakan dll bahkan dalam kasus Brigadir J adalah menutup kasus tindak pidana dengan tindakan proses pro yustisia yaitu merusak TKP, laporan palsu dll.
“UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sudah disebutkan perlunya peran serta masyarakat, namun dalam prakteknya peranan masyarakat seringkali ditiadakan. UU ini perlu di judicial review,” ujar Ketua Umum IPW/Indonesia Police Watch ini.