STRATEGIC ASSESSMENT. Dalam beberapa waktu terakhir, khilafah menjadi isu penting. Khilafah dinilai buruk dan dituding sebagai ancaman. Ide khilafah dan para pengusungnya pun dikriminalisasi.
Lalu bermunculan berbagai pernyataan dan postingan di medsos yang mempersoalkan khilafah. Tak sedikit pula yang merendahkan, mencemooh bahkan melecehkan seruan penegakan khilafah.
Isu khilafah mengingatkan kita pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia yang ke-7, yang digelar pada tanggal 9-11 November 2021 di Jakarta. Pertemuan itu telah menyepakati 17 poin bahasan. Salah satunya tentang hukum jihad dan khilafah. Intinya, dalam salah satu rumusannya dinyatakan: jihad dan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Karena itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI tersebut merekomendasikan agar masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah (Lihat: Mui.or.id, 14/11/2021).
Sayang, rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI itu seakan tidak digubris oleh berbagai pihak, termasuk oleh Pemerintah. Bahkan ada oknum pengurus MUI yang juga tidak menggubris rekomendasi itu.
Bagian dari Syariah Islam
Ada anggapan bahkan tudingan yang dipropagandakan oleh sejumlah pihak bahwa khilafah adalah ideologi. Mereka menyebut istilah “ideologi khilafah”. Ini jelas salah kaprah. Sebabnya, khilafah bukan ideologi. Khilafah adalah bagian dari syariah Islam tentang kepemimpinan dan pemerintahan.
Imam al-Mawardi menyatakan, “Imamah (Khilafah) diposisikan untuk menggantikan kenabian dalam hal memelihara agama dan mengurus dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 3).
Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Jadi khilafah merupakan istilah syariah dan bagian dari kewajiban dalam Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Bahkan khilafah telah dinyatakan di dalam as-Sunnah di banyak hadis Rasul saw. Khilafah juga merupakan bagian dari Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diperintahkan oleh Nabi saw. untuk kita pegang teguh.
Khilafah merupakan salah satu Sunnah Nabi saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang paling penting. Berpegang teguh dengan sunnah ini adalah dengan mempertahankan, membela dan menegakkannya kembali ketika tidak ada.
Khilafah: Kewajiban dalam Islam
Para ulama sepakat atas kewajiban mengangkat khalifah, yakni menegakkan khilafah. Banyak dalil dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan kaidah syariah yang menegaskan kewajiban ini.
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2] ayat 30, menegaskan: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli dari syariah.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205).
Kewajiban mengangkat seorang khalifah, yakni menegakkan khilafah, telah disepakati oleh seluruh Sahabat atau menjadi Ijmak Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii menegaskan:
أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ
Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Ijmak Sahabat sebagai dalil tidak boleh ditolak. Menolak Ijmak Sahabat dapat mengantarkan pada kekufuran. Imam as-Sarakhsi [w. 483 H] menegaskan:
وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ… فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ
Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang menghasilkan ilmu (keyakinan) sungguh dia telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini (Lihat: Ash-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsi, I/296).
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali di dalam Al-Mushtashfa fi ‘Ilmi al-Ushûl menegaskan bahwa Ijmak Sahabat tidak dapat dibatalkan. Karena itu Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicampakkan, seakan tidak berharga, hingga dikalahkan atau dibatalkan oleh “ijmak” para pendiri bangsa, seandainya itu benar-benar ada.
Cermin Kemunafikan dan Kekufuran
Stigma negatif merupakan bagian dari ejekan atau cemoohan (al-istihzâ`) bahkan lebih dari itu. Al-Istihzâ` secara bahasa berarti as-sukhriyyah (ejekan/cemoohan). Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna as-sukhriyyah adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan.
Jadi, penistaan agama (al-istihzâ` bi ad-dîn) bisa dimaknai: penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT; atau penghinaan dan ejekan terhadap Rasul saw.; atau penghinaan dan ejekan terhadap Islam, hukum dan ajarannya. Penistaan agama Islam itu banyak bentuknya. Bisa dalam bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan Islam, hukum dan syariahnya; seperti mensifati Islam dan syariahnya sebagai biadab, brutal, bengis, terbelakang, dll.
Bisa dalam bentuk melecehkan atau mengolok-olok sebagian hukum Islam; seperti mengolok-olok jilbab, kerudung dan kewajiban menutup aurat, melecehkan azan, menghina hukum potong tangan, qishash, rajam, dsb.
Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan mencemooh dan menstigma negatif sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan khilafah, termasuk mengkriminalisasi para penyerunya.
Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir al-Ba’alawi al-Hadhrami asy-Syafii (w. 1272 H) di dalam Sullam at-Tawfîq ilâ MahabbatilLâh ‘alâ at-Tahqîq menyatakan, bahwa semua keyakinan, perbuatan atau ucapan yang menunjukkan penistaan atau pelecehan kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, para malaikat-Nya, syiar-syiar-Nya, ajaran-ajaran agama-Nya, hukum-hukum-Nya atau janji atau ancaman-Nya merupakan kekufuran atau kemaksiatan. Karena itu hendaklah orang berhati-hati dari hal itu secara sungguh-sungguh.
Pada masa Rasul saw., perilaku dan sikap penistaan agama (Islam) itu merupakan perilaku orang-orang kafir, baik kaum musyrik maupun Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), juga menjadi perilaku orang-orang munafik.
Di dalam al-Quran al-Karim, pelecehan terhadap Islam dan ajarannya hanya disematkan sebagai perilaku kaum kafir dan kaum munafik. Jadi penistaan terhadap Islam, hukum dan ajarannya, juga kriminalisasi terhadap para penyerunya, tidak lain merupakan cermin kekufuran atau kemunafikan.
Semua bentuk penistaan terhadap Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam itu jelas merupakan dosa besar. Tidak layak seorang Muslim melakukan semua itu. Jika ada seorang Muslim melakukan bentuk-bentuk pelecehan Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam, maka hal itu bisa mengeluarkan dia dari Islam dan menyebabkan dirinya murtad, terutama jika disertai i’tiqâd atau keyakinan. Adapun jika tidak disertai i’tiqâd—karena perbuatan dan sikap itu merupakan dosa besar, cerminan kekufuran dan kemunafikan—maka pelakunya, meski tidak dinilai telah murtad, dinilai telah melakukan perbuatan fasik dan dosa besar.
Wajib Memuliakan Ajaran Islam
Cermin keimanan dan keislaman seseorang adalah memuliakan Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam. Hal itu didorong oleh ketakwaan yang ada dalam dirinya. Allah SWT berfirman:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).
Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam tafsirnya, An-Naktu wa al-‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), mengatakan, “Terkait sya’âirulLâh, ada dua pendapat. Pertama, berbagai kefardhuan Allah. Kedua, ajaran-ajaran agama-Nya.”
Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.
Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan, jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku lahiriahnya.”
Tentu saja, kita jangan sampai mendukung orang yang melakukan istihzâ` bi ad-dîn (penistaan agama Islam) atau bahkan termasuk pelakunya. Hal itu merupakan dosa besar, pelakunya dinilai bermaksiat, menjadi orang zalim, fasik bahkan bisa kafir.
Sebaliknya, kita harus menjadi Muslim yang memuliakan Islam, syariahnya dan ajarannya, termasuk khilafah. Apalagi menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi kita.
WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. []
—*—
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِيْ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). []