STRATEGIC ASSESSMENT-Jakarta. Komisi VII DPR RI belum menerima laporan dari pemerintah maupun PT PLN (Persero) terkait rencana kenaikan tarif listrik untuk pelanggan golongan 3.000 VA ke atas. Namun, Komisi VII mendukung rencana tersebut. Sejalan dengan itu, Komisi VII juga mengingatkan pemerintah terkait dampak khususnya inflasi jika rencana itu dilaksanakan.
Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno mengatakan, pelanggan golongan 3.000 VA ke atas bukanlah golongan yang mendapat subsidi. Maka itu, sudah selayaknya pelanggan ini mendapat tarif listrik sesuai dengan harga keekonomian.
“Kami masih belum menerima masukan dan rencana tersebut. Tetapi tentu kami rasa itu sebuah kebijakan yang sudah sepantasnya dijalankan mengingat para pelanggan 3.000 VA itu bukan pelanggan yang memang layak mendapat subsidi, mampu, atau usaha yang mampu. Sehingga sudah selayaknya membayar tarif listrik sesuai dengan keekonomian,” katanya kepada detikcom, Selasa (31/5/2022).
Pihaknya mendukung rencana tersebut. Namun, ia juga mengingatkan pemerintah terkait dampak kenaikan tarif ini khususnya inflasi. “Dalam hal ini kami mendukung tentu kami juga titip pesan kepada pemerintah untuk melihat dan mengkaji dampak inflasi jika memang ada penyesuaian tersebut. Kalau memang minimal saya kira tidak ada masalah untuk dilaksanakan,” terangnya.
Untuk diketahui, pemerintah telah menahan penyesuaian tarif atau tariff adjusment sejak tahun 2017 untuk pelanggan non subsidi. Penyesuan tarif ini seharusnya dilakukan secara berkala pada 13 golongan pelanggan non subsidi tersebut.
Adapun tarif listrik untuk periode April-Juni 2022 pelanggan rumah tangga di atas 3.000 VA yakni 3.500 hingga 5.500 VA dan 6.600 VA ke atas adalah Rp 1.444,70/kWh.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo setuju untuk menaikkan tarif listrik dengan daya 3.000 VA ke atas. Alasannya, untuk berbagi beban dan menjaga rasa keadilan. Persetujuan Jokowi diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Kamis (19/5/2022). “Bapak Presiden atau kabinet sudah menyetujui kalau untuk berbagi beban, untuk kelompok rumah tangga yang mampu, yaitu direpresentasikan dengan mereka yang langganan listriknya di atas 3.000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas,” kata Sri Mulyani dalam Raker.
Pemerintah sudah menanggung kompensasi listrik dengan alokasi anggaran Rp 21,4 triliun. Semula anggaran kompensasi listrik tidak tersedia dalam APBN 2022. Secara keseluruhan, kompensasi energi melambung menjadi Rp 234,6 triliun dari Rp 18,5 triliun, sehingga anggarannya ditambah sebesar Rp 216,1 triliun.
Rinciannya, kompensasi BBM bertambah Rp 194,7 triliun yang terdiri dari kompensasi solar Rp 80 triliun dan kompensasi Pertalite Rp 114,7 triliun; serta anggaran kompensasi listrik ditambah Rp 21,4 triliun. “Jadi anggaran untuk kompensasi akan melonjak dari yang tadinya hanya dialokasikan Rp 18,5 triliun,” beber dia.
Sementara jika tidak ada kompensasi dari pemerintah dan kenaikan tarif listrik, arus kas operasional PLN akan defisit hingga Rp 71,1 triliun. Sebab, PLN perlu menjaga rasio kecukupan kas operasional untuk membayar pokok dan bunga pinjaman kepada lender setidaknya minimum 1.0x.
Hingga 30 April 2022, PLN sudah menarik pinjaman sebesar Rp 11,4 triliun dan akan menarik pinjaman kembali di Mei-Juni sehingga total pinjaman Rp 21,7 triliun – Rp 24,7 triliun. “Jika tidak ada tambahan kompensasi dari pemerintah, maka pada Desember 2022 diproyeksikan arus kas operasional PLN akan defisit Rp 71,1 triliun,” tandas Sri Mulyani.
Pemerintah memberikan sinyal akan menaikkan tarif listrik tahun ini untuk meringankan beban APBN dalam membayar kompensasi kepada PLN imbas naiknya harga berbagai komoditas energi di dunia. Jika dinaikkan, pengamat menyarankan agar pemerintah memberlakukan kenaikan itu pada kelompok pelanggan nonsubsidi. Adapun pelanggan PLN nonsubsidi terbagi dalam 13 golongan yang dikelompokkan dalam segmen pelanggan rumah tangga, bisnis besar, industri besar pemerintah dan layanan tarif listrik khusus.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan pemerintah juga harus melakukan pengetatan terhadap siapa saja yang boleh menerima listrik dengan tarif subsidi. Pasalnya, ujar Mamit, subisidi dan kompensasi listrik masih banyak diterima oleh para pengusaha dan golongan industri.
“Jadi saya kira pelanggan yang non subsidi ini yang perlu disesuaikan. Baik itu dari golongan industri dan golongan rumah tangga mampu. Sementara tarif subisidi bagi pelanggan golongan tidak mampu ini ya pemerintah jangan diutak-atik. Gak usah dinaikkan,” kata Mamit kepada Katadata.co.id, Rabu (18/5).
Mamit mencontohkan, golongan pelanggan rumah tangga ‘mampu’ yang memasang daya 2.200 VA idealnya mengalami penyesuaian tarif sebesar Rp 50-200 per kWh. “Kalau golongan industri wajib naik lah,” sambung Mamit. Adapun saat ini tarif keekonomian listrik antara Rp 1.400-1.500 per kWh. Namun dengan adanya subsidi dari Pemerintah yang disalurkan melalui PLN, tarif listrik subsidi menjadi lebih murah. Masyarakat yang menerima subsidi hanya perlu membayar sekitar Rp 400-600 per kWh.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pengamat Ekonomi Energi Dr. Fahmy Radhi memberikan pendapatnya mengenai rencana kenaikan tarif listrik. Wacana ini terkemuka saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif memberikan sinyal kuat bahwa BBM Pertalite, solar, gas LPG 3 kg, dan tarif listrik akan dinaikkan. Namun hampir sebulan dari pernyataan ketiga menteri tersebut, harga BBM Pertalite, solar, gas LPG 3 kg dan tarif listrik juga belum dinaikkan. Belum naiknya kebutuhan penting di masyrakat ini disinyalir karena Presiden Joko Widodo belum menyetujui kenaikan harga-harga tersebut.
Pasalnya kenaikkan harga tersebut akan semakin memperpuruk daya beli masyarakat. Fahmy Radhi menilai, jika Jokowi memang belum setuju kenaikan tersebut, maka keputusan Presiden Jokowi untuk tidak menaikkan harga tersebut sangat tepat, lantaran momentumnya tidak tepat.
Menurutnya, kendati pandemi Covid-19 sudah mereda, namun daya beli masyarakat belum benar-benar pulih. Situasi akan berbeda ketika daya beli masyarakat sudah pulih benar. Pada saat itulah pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan penyesuaian terhadap harga komoditas energi tersebut, terutama penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment).
“Pasalnya, sejak 2017 hingga sekarang tarif listrik tidak pernah disesuaikan sama sekali, padahal variabel pembentuk tarif listrik telah mengalami kenaikkan,” terang Fahmy seperti dikutip dari laman UGM, Selasa (17/5/2022).
Fahmy menerangkan, tidak disesuaikannya tarif listrik dalam waktu lama memang tidak serta merta memperberat beban keuangan PLN. Tetapi makin membebani APBN untuk memberikan kompensasi kepada PLN apabila PLN menjual setrum dengan tarif di bawah harga keekonomian. Pada tahun 2021, jumlah kompensasi tarif listrik sudah mencapai 24,6 triliun rupiah. Untuk mengurangi beban APBN tersebut, lanjut Fahmy, tarif listrik memang perlu disesuaikan. Hanya saja, penyesuaian struktur tarif listrik itu harus dirombak untuk mencapai keadilan. “Penetapan tarif listrik non-subsdi hampir semuanya sama pada semua golongan, baik pelanggan rumah tangga maupun bisnis sebesar Rp1.444,70/kWh,” ungkapnya.
Ia menambahkan penetapan tarif listrik seharusnya menganut prinsip tarif progresif pada setiap golongan yang berbeda. Untuk golongan pelanggan 900 VA ditetapkan sebesar 1.444,70 rupiah/kWh, untuk golongan pelanggan di atas 900 VA-2.200 VA dinaikkan 10 persen menjadi sebesar Rp 1.589.17. Untuk golongan di atas 2.200 VA-6.600 VA dinaikan 15 persen menjadi Rp 1.827,54. Untuk golongan pelanggan di atas 6.600 VA dinaikkan 20 persen menjadi Rp 2.193.05.
Ia menambahkan, penyesuaian dengan prinsip tarif progresif itu, selain mencapai keadilan bagi pelanggan, juga akan mecapai harga keekonomian sehingga dapat memangkas kompensasi yang memberatkan APBN. “Sebagai tariff adjustment, pada saat tarif listrik mencapai di atas harga keekonomian, tarif listrik harus diturunkan,” tandas Fahmy.
Sementara itu, salah seorang di Ende, NTT dan Meulaboh, Aceh Barat tidak setuju dengan rencana kenaikan tarif listrik maupun kenaikan BBM, karena akan menggerus pendapatan rakyat kecil, sebab kenaikannya akan diikuti kenaikan berbagai kebutuhan. “Tidak menutup kemungkinan akan terjadi rusuh lagi seperti Mei 1998,” ujar mereka yang tidak mau disebutkan namanya (Red/berbagai sumber)