Jakarta-STRATEGIC ASSESSMENT. Di tengah suasana Ramadhan dan menjalani ibadah puasa, rakyat negeri ini dihadapkan pada kehidupan yang makin sulit. Salah satunya karena kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga BBM jenis Pertamax hingga menjadi Rp 12.500/liter dari sebelumnya Rp 9.000/liter. Disusul adanya sinyal Pemerintah untuk menaikkan harga BBM jenis Pertalite, minyak Solar juga Gas LPG 3 kg. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Rabu (13/4/2022) Menteri ESDM Arfin Tasrif menyebutkan bahwa Pemerintah dalam jangka menengah akan melakukan penyesuaian harga Pertalite dan minyak Solar serta LPG 3 kg sebagai respon atas lonjakan harga minyak dunia (CNBC Indonesia, 19/4/2022).
Sebelumnya, Pemerintah juga menaikkan PPN hingga 11 persen yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2022. Kenaikan PPN ini tentu akan memicu kenaikan harga-harga barang di tingkat konsumen. Ini tentu akan makin membebani rakyat di tengah daya beli mereka yang makin melemah, terutama sejak awal pandemi Covid-19 hingga saat ini. Belum lagi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, khususnya minyak goreng, yang nyaris menyentuh dua kali lipat, yang gagal dikendalikan oleh Pemerintah.
Sebuah Kezaliman
Kebijakan Pemerintah menaikkan pajak, juga harga-harga kebutuhan pokok seperti BBM dan Gas yang hakikatnya berasal dari sumber daya alam milik rakyat, secara langsung telah merampas harta milik rakyat secara zalim. Padahal harta adalah salah satu bagian dari kehidupan manusia yang mendapat perlindungan Islam. Tidak boleh ada yang mengganggu dan merampas harta seseorang. Tidak boleh juga memungut harta seseorang tanpa izin syariah. Bahkan Pemerintah sekalipun haram melakukan pemaksaan pungutan apapun dari rakyatnya, kecuali pungutan yang memang telah diakui dan dibenarkan oleh syariah.
Namun, di dalam sistem Kapitalisme sekuler seperti saat ini, berbagai macam pungutan (pajak) justru menjadi sumber utama pendapatan negara. Pajak dan berbagai pungutan lainnya tentu menambah beban kehidupan masyarakat. Ironisnya, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal di sisi lain, Pemerintah tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya.
Di dalam al-Quran telah terdapat larangan mengganggu dan merampas harta manusia tanpa alasan yang haq (Lihat: TQS an-Nisa’ [4]: 29). Larangan mengganggu dan merampas harta juga disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam Khutbah al-Wada’.:
» إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فِي شَهْرِكُمْ هذَا فِي بَلَدِكُمْ هذَا«
Sungguh darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu Islam melarang keras tindakan ghashab. Ghashab menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa. Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya, secara paksa, tanpa alasan yang benar.
Ghashab bukan saja terjadi antar individu, tetapi juga bisa dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Berbagai pungutan yang ada di luar syariah Islam seperti pajak atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang belanjaan, dsb adalah kezaliman karena tidak didasarkan pada ketentuan syariah. Inilah yang dimaksud Allah SWT dengan firman-Nya (yang artinya): memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.
Kebijakan inilah yang telah diperingatkan keras oleh Islam. Abu Khair ra. berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit ra. Ia berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
»إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ«
Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka (HR Ahmad).
Karena itu kebijakan memungut pajak, apalagi dengan kadar pungutan yang mencekik rakyat, adalah kebijakan yang sangat zalim. Sama halnya dengan kebijakan Pemerintah untuk terus menaikkan harga BBM dan Gas (LPG). Pasalnya, BBM dan Gas hakikatnya berasal dari sumber daya alam milik umum (rakyat). Tak seharusnya BBM dan Gas dibisniskan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi dengan selalu mengikuti kenaikan harga minyak dunia. BBM dan Gas—juga sumber daya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak—seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, secara gratis atau dengan harga semurah-murahnya. Pemerintah hanya boleh mengambil harga BBM dan Gas untuk sekadar kompensasi atas biaya produksi dan operasionalnya saja. Kalaupun Pemerintah mengambil untung, tentu keuntungan itu sebesar-besarnya harus kembali kepada rakyat.
Kezaliman Akan Dibalas!
Rasul saw. banyak memperingatkan penguasa dan pemimpin zalim. Mereka adalah pemimpin jahat (HR at-Tirmidzi). Pemimpin yang dibenci oleh Allah SWT, dibenci oleh rakyat dan membenci rakyatnya (HR Muslim). Pemimpin yang bodoh (imâratu as-sufahâ’), yakni pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk Rasul dan tidak mengikuti sunnah beliau (HR Ahmad). Penguasa al-huthamah, yakni yang jahat dan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya (HR Muslim). Penguasa yang menipu (ghâsy[in]) rakyat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pemimpin zalim atau penguasa yang menzalimi rakyatnya pasti akan dibalas oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Baginda Nabi saw. sampai secara khusus mendoakan keburukan atas para penguasa zalim yang mempersulit kehidupan rakyatnya:
»اللَّهُمَّ مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ«
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim).
Tentu saja, doa Baginda Nabi saw. di atas pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT. Karena itu sungguh keterlaluan jika para penguasa abai terhadap doa ini.
Kekuasaan Adalah Amanah
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah. Tentang pemimpin amanah, Allah SWT berfirman:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ﴾
Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru…”
Inilah dua sifat yang melekat pada pemimpin yang adil. Pertama: Menjalankan hukum-hukum Allah SWT dalam pelaksanaan ibadah umat, muamalah, hukum-hukum ekonomi Islam (tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, keuangan negara), hukum peradilan dan pidana Islam (hudûd, jinâyât, ta’zîr maupun mukhâlafât), hukum-hukum politik luar negeri; dsb.
Kedua: Menunaikan amanah ri’âyah, yakni memelihara semua urusan umat seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman. Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim).
Sebagaimana diketahui, salah satu tujuan penegakan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang menerapkan syariah Islam secara kâffah adalah untuk menyejahterakan rakyat. Seorang waliyul amri (pemimpin) dibebani amanah. Di antaranya menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya melalui kebijakan yang dia ambil. Peran dan tanggung jawab waliyul amri dalam masalah ini sangat besar. Kelak di akhirat ia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas amanah kepemimpinannya. Nabi saw. bersabda:
»فَاْلإِمَامُ اْلاَعْظَمُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ «
“Kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari).
Amanah penguasa seperti dalam hadis di atas adalah memelihara urusan-urusan rakyat (ri’âyah syu`ûn ar-ra’yah). Ri’âyah itu dilakukan dengan siyasah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim. Ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat.
Sayang, dalam sistem kapitalis demokrasi sekuler saat ini, penguasa lebih menghamba kepada para pemilik modal dan oligarki ketimbang memperhatikan dan melayani rakyatnya.
Karena itu saatnya umat mencampakkan sistem kapitalis demokrasi sekuler yang sudah terbukti banyak menyusahkan rakyat. Saatnya umat menerapkan sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara kâffah yang pasti bakal mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan keberkahan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا
Akan ada pada akhir zaman para penguasa zalim, para pembantu (pejabat pemerintah) fasik, para hakim pengkhianat dan para ahli hukum Islam pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, janganlah kalian menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi. (HR ath-Thabrani). []