STRATEGIC ASSESSMENT. Otoritas Iran menyebut terdengar tiga kali bunyi ledakan pagi ini di dekat kota Isfahan pada Jumat (19/4). “Tiga ledakan terdengar dekat pangkalan udara di Isfahan,” demikian laporan AFP.
Sistem pertahanan udara juga telah diaktifkan di beberapa kota, usai ledakan di kota tersebut. “Sistem pertahanan udara Iran telah diaktifkan di beberapa provinsi,” tulis laporan IRNA.
Sebelumnya sebuah ledakan terdengar di kota Ghahjaworstan di Iran, yang terletak di barat laut kota Isfahan. “Kota Ghahjaworstan terletak di dekat Bandara Isfahan dan pangkalan kedelapan Angkatan Udara,” demikian laporan kantor berita FARS, dikutip CNN.
Imbas ledakan ini, semua penerbangan ke kota-kota besar Iran ditutup sementara. “Semua penerbangan menuju kota Teheran, Isfahan, dan Shiraz, bandara di Barat, Barat Laut, dan Barat Daya telah ditangguhkan,” demikian pengumuman Direktur Humas salah satu perusahaan bandara Iran.
Israel dilaporkan telah meluncurkan serangan balasan ke wilayah Iran. Aktivitas bandara dihentikan. Semua penerbangan menuju kota “Teheran, Isfahan dan Shiraz, bandara di Barat, Barat Laut dan Barat Daya telah ditangguhkan,” kata direktur hubungan masyarakat untuk sebuah bandara mengumumkan Iran dalam sebuah wawancara dengan Mehr TV yang dikelola pemerintah.
Penangguhan ini berlaku segera, namun penerbangan belum dibatalkan, kata direktur tersebut, sebagaimana dikutip CNN International. “Penumpang harus memeriksa informasi penerbangan sebelum keberangkatan,” tambahnya.
Sebelumnya, seorang pejabat Amerika Serikat mengatakan kepada ABC News bahwa Israel telah meluncurkan serangan balasan ke Iran.
Sementara itu, sebuah ledakan terdengar di kota Ghahjaworstan di Iran, terletak di barat laut kota Isfahan, menurut kantor berita semi-resmi Iran FARS, mengutip sumber-sumber lokal.
“Kota Ghahjaworstan terletak di dekat Bandara Isfahan dan pangkalan perburuan kedelapan Angkatan Udara,” kata berita FARS. Iran Press TV juga melaporkan ledakan terdengar di dekat pusat kota.
Juru bicara resmi Angkatan Bersenjata Yordania – Tentara Arab menyatakan kalau sekitar pukul 01.00 waktu setempat, Selasa, (16/4/2024), Angkatan Udara Kerajaan Yordania meningkatkan patroli udaranya.
Manuver ini dinyatakan untuk mencegah penetrasi udara dan mempertahankan wilayah udara Yordania dari pihak manapun. Manuver ini dinyatakan untuk mencegah penetrasi udara dan mempertahankan wilayah udara Yordania dari pihak manapun.
Khaberni dan royanewstv melansir, Juru bicara resmi angkatan bersenjata Yordania menambahkan kalau tindakan ini menandakan kesiagaan penuh negara Kerajaan Hashemite tersebut di tengah perkembangan eskalasi di kawasan.
Angkatan Bersenjata Yordania – Tentara Arab juga menegaskan posisi tegas Yordania untuk tidak mengizinkan penggunaan wilayah udara Yordania oleh pihak mana pun untuk tujuan apa pun.
“Mengingat pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Yordania, dan dapat mengancam keamanan negara dan keselamatan warganya,” kata pernyataan .
“Juru bicara resmi Angkatan Bersenjata menghimbau masyarakat untuk tidak terseret ke dalam rumor yang beredar yang akan menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat, dan untuk mengambil informasi dari sumber resminya,” tulis pernyataan tersebut.
Pernyataan Angkatan Bersenjata Yordania – Tentara Arab ini muncul setelah kabar kalau Dewan Perang Israel mendesak Tentara Israel (IDF) untuk menyerang balik Iran atas serangan ke negara pendudukan tersebut, Minggu (14/4/2024).
Dalam pembalasannya atas serangan di konsulat mereka di Damaskus, Suriah, Iran menyerang Israel menggunakan ratusan drone dan sejumlah rudal balistik.
Yordania dilaporkan ikut menembaki jatuh drone-drone Iran ke Israel tersebut yang melintas di wilayah udaranya dengan alasan prosedur tetap keamanan negara.
Yordania mengklaim, akan melakukan hal yang sama jika drone-drone itu berasal dri Israel sekalipun. Belakangan, Yordania dianggap sebagai posisi vital dari rencana serangan balik Israel ke Iran.
Dalam rapat marathon Dewan Perang Israel, dibahas mengenai tentang waktu dan metode serangan balik ke Iran tersebut.
Amerika Serikat (AS) lewat Presiden Joe Biden dan Menteri Keamanan Lloyd Austin dilaporkan sudah meminta Israel untuk tidak membalas serangan Iran karena akan memicu konflik yang lebih luas di kawasan.
Terlebih, Iran menyatakan, akan membalas lebih keras jika Israel memutuskan menyerang balik atas serbuan drone dan rudal Teheran ke sejumlah wilayah Israel dalam serangan bertajuk ‘Operasi Janji Sejati’, tersebut.
Terkait situasi yang terjadi, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dilaporkan memberi tahu rekannya dari Amerika, Lloyd Austin, kalau Israel tidak punya pilihan selain merspons serangan Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Situs web Ibrani Walla, mengutip sumber yang mengetahui rincian kontak antara Austin dan Gallant, melaporkan kalau Gallant menegaskan bahwa Israel tidak akan dapat menerima kenyataan baru di mana rudal balistik diluncurkan Iran ke wilayahnya tanpa serangan balasan.
Sementara itu, Austin menyampaikan kepada Gallant pesan serupa dengan pesan yang disampaikan Presiden AS Joe Biden kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Sabtu.
Baik Biden maupun Austin sama-sama menekankan kalau segala sesuatu harus dilakukan untuk menghindari eskalasi lebih lanjut di wilayah tersebut.
Pemerintahan Biden dan beberapa sekutu Barat Israel mendesak pemerintah Netanyahu untuk tidak terburu-buru melancarkan serangan balik, karena hal itu dapat menyebabkan eskalasi regional,.
Para pejabat AS mengatakan bahwa Presiden Biden mengatakan kepada Perdana Menteri Netanyahu selama panggilan telepon antara keduanya pada Sabtu kalau ia harus mempertimbangkan dengan penuh “kehati-hatian dan strategis” soal bagaimana cara merespons serangan Iran tersebut.
Biden menyarankan agar Netanyahu tidak membalas serangan Iran, menurut situs Walla.
Duta Besar Rusia untuk Israel, Anatoly Viktorov, memperingatkan akan terjadinya perang besar di Timur Tengah jika Israel merespons serangan Iran.
Para pejabat Israel mengatakan kalau Netanyahu sempat menolak gagasan tanggapan langsung terhadap Iran saat rapat dewan perang pada Minggu, setelah adanya panggilan telepon dari Presiden AS yang menuntut agar Israel tidak membalas serangan Iran.
Namun belakangan, Netanyahu kembali menggelar sesi rapat Dewan Perang Israel setelah para menteri kabinet Israel mendesak agar IDF segera menyerang balik Iran.
Arab Saudi telah secara terbuka mengakui perannya dalam membela Israel dari serangan ratusan drone dan rudal Iran pada Sabtu malam atau Minggu dini hari.
Konfirmasi tersebut datang melalui sebuah posting tidak lazim di situs web resmi keluarga kerajaan Arab Saudi. Menurut posting tersebut, peran Arab Saudi adalah membantu koalisi militer regional yang baru dibentuk—yang terdiri dari Israel, Amerika Serikat, Yordania, Inggris, dan Prancis—yang mengeklaim berhasil menggagalkan serangan Iran.
Posting tersebut merujuk pada sebuah laporan KAN News yang memperinci keterlibatan Arab Saudi dalam operasi militer tersebut, yang berhasil menetralisir 99% dari pesawat tanpa awak dan rudal Iran sebelum mereka mencapai target-targetnya di Israel.
Pernyataan itu menyoroti bahwa banyak dari pesawat tanpa awak dan rudal tersebut telah melewati wilayah udara Yordania dan Arab Saudi dalam perjalanan menuju Israel, yang menegaskan posisi geografis strategis yang dimiliki oleh negara-negara ini. Yordania telah bersikap vokal tentang partisipasinya, tetapi hingga saat ini, Arab Saudi hanya secara samar-samar mengisyaratkan keterlibatannya.
Situs web keluarga kerajaan membagikan wawasan dari sumber keluarga kerajaan Arab Saudi, yang mengakui tindakan kerajaan tersebut terhadap “setiap entitas yang mencurigakan” yang melintasi wilayah udaranya.
Sumber Arab Saudi mengkritik Iran karena menciptakan konflik di Gaza, yang mereka klaim bertujuan untuk menggagalkan pembicaraan normalisasi yang sedang berlangsung dengan Israel. Sumber tersebut mengutuk Iran sebagai negara yang mendukung terorisme, berargumen bahwa masyarakat internasional seharusnya mengambil tindakan yang lebih keras terhadap Teheran lebih awal.
Samih al-Maaytah, mantan menteri informasi Yordania, membela tindakan negaranya yang membela Israel dari serangan Iran. “Tugas Yordania adalah melindungi tanah dan warganya,” katanya. “Apa yang dilakukan Yordania kemarin hanyalah melindungi wilayah udaranya.”
Yordania mungkin memiliki motivasi yang rumit untuk mendukung Israel. Seperti yang ditulis Deutsche Welle pada hari Minggu, negara tersebut berbatasan dengan Israel dan sering bekerja sama dengan otoritas Israel. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab secara terbuka menyerukan perdamaian di wilayah tersebut.
The Wall Street Journal, mengutip para pejabat AS, mengatakan Iran memberi informasi kepada beberapa negara Teluk tentang waktu dan sifat serangan yang direncanakannya. Mereka kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada AS, sekutu internasional utama Israel.
“Negara-negara Arab diam-diam menyampaikan informasi intelijen tentang rencana serangan Teheran, membuka wilayah udara mereka untuk pesawat tempur, berbagi informasi pelacakan radar atau, dalam beberapa kasus, memasok pasukan mereka sendiri untuk membantu,” tulis The Wall Street Journal, mengutip sumber-sumber AS tersebut, Selasa (16/4/2024).
Hal ini dapat membahayakan upaya Saudi untuk meningkatkan hubungan dengan Iran. Pada bulan Maret, Arab Saudi dan Iran memulihkan hubungan dengan bantuan dari China, setuju untuk membuka kembali kedutaan besar di ibu kota masing-masing. Tanggapan tersebut menunjukkan bahwa penolakan terhadap agresi Iran tetap menjadi faktor kunci yang membentuk pergeseran aliansi di kawasan, meskipun kemarahan semakin meningkat terhadap serangan Israel di Gaza.
Arab Saudi masih tertarik untuk kemungkinan menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Salah satu alasannya, menurut laporan The New York Times, adalah mereka mengharapkan adanya jaminan keamanan AS jika mereka diserang oleh Iran. Yasmine Farouk, seorang sarjana nonresiden di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan kepada The New York Times bahwa banyak negara Arab iri dengan keberhasilan sistem pertahanan Iron Dome Israel, yang dibangun dengan dukungan AS.
“Apa yang dilakukan negara-negara Barat di bawah kepemimpinan AS untuk melindungi Israel kemarin adalah apa yang diinginkan Arab Saudi untuk dirinya sendiri,” kata Farouk. Ketakutan negara-negara Arab terhadap agresi Iran adalah faktor kunci yang mendasari Abraham Accords—perjanjian untuk menormalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab yang ditengahi oleh pemerintahan Donald Trump.
Kesepakatan yang disetujui Uni Emirat Arab dan Bahrain di kawasan Teluk ini mengesampingkan isu kenegaraan Palestina yang telah lama memecah belah Israel dan tetangganya serta menjanjikan peningkatan dukungan AS terhadap negara-negara Arab terhadap potensi serangan Iran.
Serangan Hamas pada 7 Oktober, yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel, tiba-tiba menghentikan proses tersebut. Yordania dan Arab Saudi termasuk di antara kelompok yang paling menyuarakan kecaman atas serangan Israel di Gaza, yang menewaskan lebih dari 33.000 orang. Namun, menurut berbagai laporan, Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya bersedia untuk melanjutkan diskusi normalisasi hubungan dengan Israel setelah pertempuran di Gaza mereda.
Giorgio Cafiero, CEO Gulf State Analytics, mengatakan kepada Business Insider bahwa negara-negara Arab akan dianggap memberikan bantuan kepada Israel. “Saat ini terdapat banyak kemarahan terhadap Yordania dari banyak pihak di dunia Arab-Islam yang melihat Amman melayani Israel dan kepentingan AS lebih dari enam bulan setelah kampanye pemusnahan Israel di Gaza yang hanya ditentang oleh pemerintah Arab seperti Yordania dalam retorika, bukan tindakan nyata,” ujarnya.
Ketika konflik antara Israel dan Iran meningkat, negara-negara Arab menghadapi pilihan sulit antara prioritas keamanan mereka dan mengatasi kemarahan publik terhadap Gaza. Arab Saudi mengatakan normalisasi dengan Israel harus mencakup jalan realistis menuju negara Palestina. Permintaan itu sepertinya tidak akan dipenuhi oleh pemerintahan Israel saat ini.
Surat kabar Washington Post, Senin (15/4/2024) mengutip para pejabat intelijen Amerika, Eropa, dan Arab, mengonfirmasi kalau Rusia membekali Iran dengan pesawat tempur dan teknologi artileri pertahanan udara (Arhanud) canggih.
Bantuan Rusia ini disebut-sebut dapat memperkuat pertahanan Teheran terhadap kemungkinan serangan balik Israel setelah serangan langsung Iran ke teritorial negara pendudukan tersebut.
Transfer jet dan Arhanud canggih dari Rusia ke Iran tersebut disebut-sebut dibalut dalam kerangka memperkuat hubungan antara kedua negara setelah perang Ukraina.
Para pejabat mengatakan kepada surat kabar tersebut kalau jumlah sistem pertahanan udara yang telah diberikan Moskow kepada Teheran tidak diketahui.
Laporan itu menekankan, teknologi Rusia dapat mengubah Iran menjadi musuh yang jauh lebih kuat bagi Israel dan sekutunya, dengan peningkatan kemampuan untuk menembak jatuh pesawat dan rudal.
Para pejabat mengkonfirmasi kalau Rusia juga berjanji untuk memberikan dukungan teknis untuk satelit mata-mata Iran dan membantu membangun rudal untuk menempatkan lebih banyak satelit Iran di luar angkasa.
Mereka menambahkan bahwa kesepakatan senjata antara kedua negara adalah bagian dari kerja sama yang lebih luas yang mencakup produksi bersama drone di Rusia dan pertukaran teknologi anti-jamming.
“Kesepakatan ini meningkatkan status Iran dari sekutu kecil menjadi mitra strategis bagi Rusia di kawasan,” tulis laporan tersebut dikutip Khaberni.
Hal ini terjadi setelah Iran menyerang Israel dengan puluhan drone dan rudal pada Sabtu lalu sebagai tanggapan atas penargetan konsulatnya di Damaskus oleh Tel Aviv pada awal bulan ini.
Adapun Israel sudah menyatakan akan menyerang balik Iran sebagai balasan namun belum mencapai keputusan tentang sifat tanggapannya terhadap serangan Iran.
Sumber juga mengatakan kepada Washington Post kalau Teheran dan Moskow sedang merundingkan pengiriman pesawat tempur “Sukhoi-35” ke Iran, yang merupakan salah satu pesawat Rusia paling kuat.
Namun, para pejabat dari Amerika Serikat dan Timur Tengah mengatakan kepada Washington Post bahwa belum ada bukti bahwa Iran telah menerima pesawat tempur tersebut.
“Alasan di balik hal ini mungkin adalah keterlambatan Iran dalam membayar iuran untuk pesawat tersebut,” tulis laporan tersebut.
Warga Yordania murka setelah pemerintahnya ikut mencegah serangan rudal Iran ke Israel. Banyak warga menilai pemerintah Yordania lebih memilih untuk mendukung Israel ketimbang warganya atau Gaza, Palestina. Ungkapan marah mereka meluas di media sosial.
Masyarakat Yordania mayoritas menentang agresi Israel di Gaza yang hingga kini telah menewaskan lebih dari 33.000 jiwa. “Raja Yordania menembak jatuh rudal Iran ke warganya demi melindungi Israel,” kata salah satu netizen di X.
Warga lain, Walid Al Jamaiye, mengatakan Raja Abdullah tak bisa melindungi Tepi Barat. “Raja Abdullah II melindungi Israel dari drone Iran, semuanya baik-baik saja. Tapi dia tak bisa melindungi Tepi Barat,” ujar dia.
Pendiri dan direktur Pusat Studi Ekonomi dan Informatika Phenix, Ahmad Awad, mengatakan muncul kemarahan di kalangan warga atas penggunaan wilayah udara Yordania untuk mencegah rudal Iran.
Namun, Awad mengungkapkan bahwa masyarakat ragu untuk mengkritik tindakan pemerintah di depan umum.
Awad lantas mengkritik sikap pemerintah Yordania dalam menghadapi semua rudal yang melintas di wilayah udara mereka. “Pertanyaannya adalah, apakah Yordania akan menghadapi pesawat atau rudal militer Israel jika mereka menyerang Iran,” ujar Ahmad, dikutip New Arab.
Lebih lanjut, dia melontar kritik ke negara Barat yang dianggap bias dan tak adil karena membela Israel.
“Mereka tak memperhatikan kepentingan rakyat di Yordania dan Palestina,” imbuh Awad.
Tak lama setelah tindakan Yordania, media Israel menyatakan pemerintahan Benjamin Netanyahu akan memperpanjang perjanjian bantuan air ke negara tersebut untuk satu tahun ke depan.
Kemarahan warga Yordania muncul usai pasukan negara itu mencegah serangan rudal Iran ke Israel. Rudal yang ditembak jatuh menyisakan serpihan yang berserakan di Amman.
Iran menggempur Israel dengan menyasar fasilitas militer mereka. Serangan ini merupakan aksi balasan usai pasukan Zionis menyerang fasilitas diplomatik Iran di Damaskus, Suriah pada awal April lalu.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan Indonesia akan terkena dampak jika ketegangan antara Israel dan Iran berlanjut. Salah satunya rantai pasok yang terganggu hingga defisit APBN yang meningkat.
Menurut Mari, apabila Israel membalas serangan Iran yang terjadi pada Sabtu (waktu setempat), maka perekonomian dunia akan terganggu termasuk ke Indonesia. Besaran dampaknya tergantung pada bagaimana cara pembalasan yang direncanakan Israel.
“Nah, untuk Indonesia apa pengaruhnya? Rantai pasok melalui Suez kanal akan mengalami gangguan, sehingga ada gangguan terhadap input kita, apakah itu minyak, gandum maupun produk dari Eropa yang lainnya,” ujarnya dalam Diskusi Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowships Indonesia, Senin (15/4).
Selain itu, harga minyak diperkirakan akan meningkat terutama jika Amerika Serikat (AS) yang selama ini mendukung Israel memberikan sanksi ke minyak Iran, maka kenaikan harga tak bisa dihindari. Dampaknya juga akan terasa ke dalam negeri.
“Di luar itu, gejolak harga minyak, inflasi dan gejolak harga komoditi yang lain juga akan mempengaruhi Indonesia,” imbuhnya.
Bila terjadi kenaikan harga minyak, maka akan ikut berdampak pada perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, terutama dari sisi belanja dan defisit. Sebab, kenaikan harga minyak bisa menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi atau menambah anggaran subsidi.
“Dengan harga minyak, tentunya masalah kepada anggaran dan fiskal ya. Defisit anggaran dan fiskal, karena kalau harga naik, tentunya subsidi BBM juga akan naik, kecuali harga BBM-nya mau dinaikkan,” kata dia.
Sejumlah negara turut menjadi sorotan usai menyatakan sikapnya terhadap perilaku Iran yang menggempur pangkalan militer Israel pada akhir pekan lalu. Pasalnya, serangan balasan yang melibatkan lebih dari 300 drone dan rudal balistik tersebut menuai kontroversi komunitas internasional.
Tak sedikit negara yang menyatakan dukungan terhadap Iran hingga memuji tindakannya sebagai aksi pembelaan diri. Lebanon menunjukkan eksistensinya sebagai sekutu Iran melalui salah satu proksi syiah buatan Garda Revolusi Iran (IRGC) bernama Hizbullah.
Hizbullah yang sudah berdiri sejak 1982 menjadi proksi politik dan militer yang berkoordinasi langsung dengan IRGC. Mereka juga mendominasi kekuasaan di Lebanon sehingga kerap mengklaim sebagai bagian dari Lebanon.
Menurut intelijen Israel, gudang senjata Hizbullah memiliki lebih dari 70 ribu roket dan rudal. Ini mengapa Hizbullah dapat menjadi garda depan pelindung Teheran. Melansir dari Strait Times, satu-satunya sekutu Iran dalam bentuk negara di Timur Tengah adalah Suriah.
Namun, pemerintahan Presiden Bashar al-Assad tidak mungkin bisa membantu karena masih berjuang untuk menguasai seluruh negeri setelah pecahnya perang saudara pada 2011 silam.
Suriah pun mengenal Iran sebagai “sekutu terdekat” karena menjalin hubungan strategis antara kedua negara dalam aspek pertahanan maupun politik.
Rusia telah lama mengenal Iran sebagai sekutu militer dalam konflik di Suriah, Irak, hingga Afganistan. Melansir dari ABC, kedua negara menjalin hubungan bilateral mulanya sebagai mitra kerja sama antara badan intelijen. Seiring berjalannya waktu, kemitraan di bidang ekonomi juga mereka jalankan sampai saat ini.
Namun, perang Rusia dengan Ukraina kemungkinan akan membatasi kemampuan Negeri Beruang Merah itu untuk membantu. Sebagai sesama negara Islam Syiah, Irak mempunyai hubungan yang erat dengan Iran.
Hubungan keduanya terjalin erat sejak pertama kali Irak setelah invasi AS pada 2003 dan jatuhnya pemerintahan Saddam Hussein.
Kedua negara juga menjalin hubungan politik hingga pertahanan. Itu dapat terbukti dari kehadiran kelompok milisi Iran yang menjadi satuan aparat keamanan Irak.
Hubungan China dengan Iran telah terjalin sejak lama. Ini karena Iran pernah berperan sebagai jalur penghubung perdagangan yang terkenal dengan sebutan ‘jalur sutra’.
Terlebih, hubungan Iran dan China semakin kuat usai kedua negara menandatangani perjanjian kerja sama selama 25 tahun. Perjanjian itu mencakup berbagai komponen strategis seperti politik, pertahanan, hingga ekonomi. China pun melihat Iran sebagai negara yang potensial untuk melebarkan sayap politiknya di tengah pengaruh AS yang berada di kawasan Timur Tengah.
Namun, menurut direktur eksekutif Australian Institute of International Affairs Bryce Wakefield, China memilih untuk melakukan hubungan secara diam-diam mengingat situasi yang terjadi.
“China mungkin mendukung Iran di PBB dengan memberikan suara menentang resolusi Dewan Keamanan, sanksi atau izin untuk menggunakan kekuatan dari pihak AS,” kata Wakefield.
“Tetapi mereka tidak ingin secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka mendukung Iran,” tambahnya.