
STRATEGIC ASSESSMENT. Dari akun dan channel media sosial yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) diberitakan sejumlah kegiatan pertemuan di bulan Syawal semacam halal bi halal di sejumlah daerah. Sebagian besar dilaksanakan di ballroom-ballroom hotel.
Hotel-hotel menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua kalangan untuk menyelenggarakan suatu kegiatan. Kegiatan positif atau negatif tak jadi soal. Bagi pengelola hotel yang penting bisnis jasa perhotelan mereka berjalan lancar dan menghasilkan keuntungan.
Pengelola hotel pada umumnya tidak punya ideologi tertentu sehingga tidak memiliki sense of ideology. Kurang sensitif terhadap hal-hal yang berbau ideologi. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh HTI.
Ketimbang di aula-aula milik instansi pemerintah, swasta dan masyarakat yang ribet perizinannya semenjak HTI menjadi organisasi terlarang, ballroom-ballrom hotel menjadi pilihan tepat untuk mengadakan kegiatan.
Pemesanan tempat dilakukan oleh salah seorang aktivis HTI atas nama pribadi atau atas komunitas. Meski harus membayar lebih mahal, HTI dapat melaksanakan agenda mereka dengan aman dan nyaman. Tidak ada yang curiga. Peserta berdasarkan undangan guna mengantisipasi penyusup. Jadi, acara sebenarnya bersifat tertutup dan terbatas.
Tentang ideologi, motif, isi, substansi dan tujuan kegiatan dari pelanggan bukan urusan dari pihak pengelola hotel. Bukan tanggung jawab mereka. Tanggung jawab mereka adalah melayani semua pelanggan sesuai SOP yang berlaku. Membuat pelanggan puas dan suatu saat mau menggunakan jasa mereka kembali.
Dari perspektif teori pertukaran (exchange theory) yang diutarakan oleh George Homas, hubungan antara aktivis HTI dengan pengelola hotel terjadi walaupun terdapat perbedaan nilai yang melatarbelakanginya. Antara nilai ideologis dengan nilai bisnis. Keduanya rasional bagi masing-masing pihak. Lalu mereka pertukarkan demi memperoleh nilai yang mereka inginkan. Mereka sama-sama untung.
Keuntungan HTI, mereka berhasil menunjukkan kepada peserta bahwa perjuangan menegakkan khilafah bukan perjuangan kelas bawah, ugal-ugalan dan penuh kekerasan. Bagi peserta dari kalangan bawah, menghadiri acara di hotel telah mengangkat harkat dan martabat mereka. Bagi peserta dari kalangan menengah atas, kegiatan HTI di hotel menepis anggapan bahwa kelompok pejuang khilafah adalah gerombolan orang-orang jahat dan bodoh.
Dalam jangka pendek HTI berhasil melakukan rebranding. Dan seiring dengan perjalanan waktu stigma negatif tentang mereka menjadi terkikis. Diganti dengan isu seolah-olah mereka orang-orang baik yang didzalimi oleh pemerintah.
Pada jangka menengah dan panjang aktivitas HTI di hotel-hotel riskan dan mengkhawatirkan. Hotel-hotel menjadi tempat rekrutmen, konsolidasi dan penyebaran ideologi khilafah yang sulit diawasi oleh pemerintah. Rasanya perlu edukasi bagi pengelola hotel terkait dengan ideologi-ideologi radikal yang membahayakan negara. Agar hotel-hotel tidak menjadi khilafatel yaitu tempat untuk menegakkan khilafah.