STRATEGIC ASSESSMENT. Presiden Prabowo Subianto meminta para aparat hukum membersihkan diri sebelum dibersihkan rakyat. Sebab, kata Prabowo, rakyat Indonesia bukan rakyat yang bodoh.
Prabowo pun meminta para hakim memberi hukuman yang setimpal, terlebih dalam kasus korupsi. Bila sudah jelas melanggar dan kerugian negara mencapai trilunan rupiah, hakim tidak boleh menjatuhkan vonis tingan.
Prabowo mengatakan rakyat mengerti persoalan ini. Ketika ada korupsi ratusan triliun rupiah dengan vonis ringan pun, rakyat mencurigai koruptor itu dipenjara dengan fasilitas AC hingga lemari es.
Prabowo tidak secara gamblang menyebut kasus korupsi dengan vonis ringan yang dimaksud. Namun, pernyataan Prabowo ini muncul di tengah kontroversi vonis hakim terhadap Harvey Moeis. Harvey yang terlibat kasua korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah dengan kerugian Rp 300 triliun.
Dalam sidang putusan yang berlangsung pada 23 Desember 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Harvey pidana penjara 6 tahun 6 bulan dan ganti rugi senilai Rp 210 miliar. Jika tidak dipenuhi dari harta bendanya, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Eko Ariyanto dengan anggota Suparman Nyompa, Eryusman, Jaini Basir, dan Mulyono itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Oleh penuntut umum, Harvey Moeis dituntut pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar, serta uang pengganti Rp 210 miliar.
Vonis 6,5 tahun pidana penjara untuk terdakwa Harvey Moeis dalam dugaan korupsi di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk, dinilai berdampak negatif pada kasus tindak pidana korupsi serupa.
“Vonis ini mengecewakan tentunya karena tidak akan bisa menyebabkan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya,” ujar mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap dalam keterangannya saat dikonfirmasi pada Minggu, 29 Desember 2024.
Yudi menggangap vonis 6,5 tahun itu terlalu rendah untuk tindak kejahatan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Menurut Yudi, hukuman penjara yang dibacakan oleh Hakim Ketua Eko Ariyanto itu tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Vonis ringan terhadap suami Sandra Dewi, Harvey Moeis sedang mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Pelaku korupsi Rp300 triliun tidak semestinya dijatuhi hukuman penjara cuma 6,5 tahun.
Kini, sorotan juga datang dari pelaku industri hiburan Tanah Air. Setelah Joko Anwar, giliran sutradara Fajar Nugros yang buka suara perihal vonis ringan Harvey Moeis.
Dikutip dari akun X pribadi Fajar Nugros, kritik keras terhadap vonis ringan Harvey Moeis sudah semestinya dilakukan. Kalau ditoleransi, para koruptor tidak akan kapok menyalahgunakan uang negara.
Fajar Nugros juga terang-terang mengkritik hakim Eko Aryanto yang menyebut tuntutan 12 tahun penjara bagi Harvey Moeis dari jaksa penuntut umum terlalu berat. “Pak Eko hakim apa pengacara?,” kata sutradara 45 tahun ini mempertanyakan.
Terdakwa kasus korupsi sekaligus suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis lagi-lagi jadi sorotan publik. Bukan hanya kasus korupsi PT Timah yang menyebabkan negara merugi Rp300 triliun, diduga dia dan istrinya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan PBI.
Hal ini diungkap dalam akun X @irwndfrry, memperlihatkan foto dua kartu BPJS tersebut. Dalam unggahannya, tercantum nama Sandra Dewi dan Harvey Moeis tercatat dalam Faskes I Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah,” tulis akun tersebut dalam unggahannya, dilihat Sabtu (28/12/2024).
Asal tahu saja, ada dua ketegori kepesertaan dalam BPJS Kesehatan yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya ditanggung pemerintah atau peserta non-PBI.
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan alias PBI adalah kepesertaan BPJS yang di dalamnya adalah orang yang tergolong fakir miskin. Peserta juga bisa dari kalangan orang tidak mampu menurut data Dinas Sosial.
Adapun biaya iuran bulanan BPJS Kesehatan PBI tak dibebani ke peserta, namun ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Kemudian peserta BPJS PBI hanya dapat berobat di fasilitas tingkat 1 puskesmas kelurahan atau desa.
Dikutip dari laman Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eko Aryanto lahir di Malang, Jawa Timur pada 25 Mei 1968. Hakim 56 ini merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dengan golongan IV/d. Eko Aryanto meraih gelar sarjana Hukum Pidana pada 1987 dari Universitas Brawijaya. Dia lulus S2 Ilmu Hukum dari IBLAM School of Law pada 2002. Gelar S3 Ilmu Hukum lalu didapatnya dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada 2015. Usai menjadi CPNS pada 1988, Eko Aryanto berkarier di sejumlah Pengadilan Negeri, termasuk di Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, serta Jawa Tengah. Sepanjang kariernya, Eko pernah menjadi ketua pengadilan negeri di Pandeglang pada 2009, Blitar pada 2015, Mataram pada 206, dan Tulungagung pada 2017.
Eko kerap mengadili tindak pidana kriminal seperti kasus kelompok kriminal John Kei, Bukon Koko, dan Yeremias Farfarhukubun terkait kasus kematian Yustis Corwing (Erwin). Saaf menjadi hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Eko mendapat tugas mengadili Harvey Moeis yang digugat hukuman penjara 12 tahun. Namun, dia meringankan vonis tersebut.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencatat, Eko Aryanto terakhir melaporkan harta kekayaan pada 29 Januari 2024 untuk periode laporan 2023. Eko Aryanto memiliki harta kekayaan dengan total Rp 2.820.981.000. Berikut rincian harta kekayaan hakim tersebut: 1. Tanah dan bangunan seluas 200 m2/100 m2 di Malang: Rp 1.350.000.000 2. Alat transportasi dan mesin total Rp 910.000.000 Mobil Honda CR-V Minibus 2013: Rp 300.000.000 Mobil Honda Civic Sedan 2013: Rp 300.000.000 Motor Kawasaki Ninya 2013: Rp 50.000.000 Motor Kawasaki KLV 2013: Rp 20.000.000 Mobil Toyota Innova Reborn G 2.0 AT 2016: Rp 240.000.000. 3. Harta bergerak lainnya: Rp 395.000.000 4. Kas dan setara kas: Rp 165.981.000. Bila dibandingkan pada pelaporan tahun 2022 yang memiliki kekayaan sejumlah Rp 2.783.981.000, harta Eko Aryanto naik Rp 37 juta pada 2023.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyoroti data pribadi hakim Eko Aryanto, seperti alamat hingga nomor telepon yang tersebar di media sosial. Eko merupakan hakim ketua yang menjatuhkan vonis pidana penjara 6 tahun 6 bulan kepada terdakwa kasus korupsi timah Harvey Moeis.
Julius mengatakan menyebarkan data pribadi seseorang merupakan perbuatan melanggar hukum. Tindakan ini yang disebut sebagai doxing dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Ia menuturkan, dalam kasus timah sempat ada istilah RBT yang diduga sebagai donatur Polri. Kemudian aliran-aliran dana hingga ke aparat penegak hukum, salah satunya seorang jenderal bindang satu Polri. Selain itu juga berhubungan dengan sistem dan struktur badan usaha milik negara (BUMN).
Ia mencontohkan pertimbangan yang meringankan terhadap vonis penjara 6,5 tahun dan denda beberapa miliar dari ratusan triliun. “Salah satunya adalah bersikap baik selama persidangan.”
Menurutnya, banyak keterangan-keterangan terdakwa yang tidak logis selama persidangan. Ia pun mencontohkan pernyataan istri Harvey Moeis, Sandra Dewi, yang mengaku tidak pernah dinafkahi sepeser pun sejak awal menikah.
“Ini kan harusnya dibongkar secara mudah, tapi tidak terlihat. Jadi majelis hakim ini seperti tersandera, seperti tidak berupaya membongkar sehingga tidak memperoleh kebenaran materiil.”
Oleh sebab itu ia menilai, hukum yang tidak dijalankan, prosedur yang tak terlihat, dan secara materiil tidak mewakili masyarakat. Sehingga, nuansa yang dihadapkan pada masyarakat adalah seolah ada kepentingan pribadi dalam vonis Harvey Moeis.
“Ini latar belakang yang membuat masyarakat muak, marah, dan kemudian memeriksa latar belakang personal (hakim Eko Aryanto),” ucap Julius.