STRATEGIC ASSESSMENT. Seperti diberitakan, seorang remaja laki-laki melompat dari gedung parkir sepeda motor Metropolitan Mall, Bekasi. Remaja itu mengenakan kemeja dan celana panjang putih tanpa disertai bet di kantong kemeja. Ia tidak membawa identitas diri. Satu-satunya petunjuk hanyalah lambang ikat pinggang yang menunjukkan bahwa ia diduga merupakan siswa SMP (Kompas.id, 23/10/2024).
Ini hanyalah satu contoh kasus bunuh diri remaja/pelajar yang belum lama terjadi. Selebihnya, sungguh miris melihat data peningkatan angka bunuh diri di kalangan pelajar/remaja. Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023) tercatat ada 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia. Sebanyak 985 kasus (atau 46,63 persen) di antaranya dilakukan oleh remaja. Survei lebih mendalam dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 yang mengungkapkan hasil mengkhawatirkan. Dari seluruh sampel survei yang diambil dalam 12 bulan terakhir, ada 1,4 persen remaja mengaku memiliki ide bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri dan 0,2 persen telah melakukan percobaan bunuh diri (Kompas.com, 17/12/2023).
Masalah kesehatan mental adalah penyebab utamanya. Dari survei yang sama, terungkap satu dari 20 remaja atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental. Biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI Ana Susanti memaparkan faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab masalah kesehatan mental pada remaja, yaitu tekanan akademik, pergeseran sosial, pengaruh media sosial dan totalitas harapan yang tinggi dari orangtua atau keluarga (Kompas.com, 7/12/2024).
Ada yang lebih ironis lagi di negeri ini, yakni ketika profesi guru tidak mendapatkan kedudukan yang mulia. Faktanya, saat ini, misalnya, banyak pelajar dengan emosi tak terkendali berani melawan guru dan bahkan mencelakai guru. Banyak pula kasus guru yang dikriminalisasi saat memberikan teguran dan sanksi bagi peserta didik yang melanggar disiplin. Ada guru BK masuk penjara karena mencubit siswinya. Ada guru honorer yang juga masuk penjara gara-gara memotong rambut siswa yang sudah gondrong. Bahkan ada guru yang diketapel orangtua siswa lantaran menegur siswa merokok di lingkungan sekolah pada saat jam pelajaran. Terakhir adalah kasus yang menimpa guru honorer, Ibu Supriyani, di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia sempat menjadi terdakwa atas tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswa meski akhirnya divonis bebas oleh Majelis Hakim (Kompas.com, 25/11/2024).
Dua fenomena ini, bunuh diri pelajar/remaja dan kriminalisasi guru, hanyalah bagian kecil dari buramnya potret pendidikan di negeri ini.
Urgensi Sistem Pendidikan Islam
Fenomena buramnya pendidikan nasional saat ini, yang antara lain ditandai oleh meningkatnya jumlah bunuh diri remaja/pelajar serta kriminalisasi guru, menunjukkan sistem pendidikan yang kehilangan ruh. Di satu sisi para guru merasa tak dihargai sebagai guru. Di sisi lain para pelajar kehilangan jatidirinya sehingga tak mampu memahami apa sesungguhnya tujuan hidup mereka. Hal ini bermuara pada sistem pendidikan sekuler yang diterapkan selama ini, yang abai terhadap pentingnya keimanan dan ketakwaan sebagai output pendidikan.
Padahal jelas, pendidikan merupakan persoalan vital dan strategis bagi negara. Rusaknya pendidikan akan berpengaruh terhadap rusaknya suatu negara. Inilah yang terjadi ketika yang diberlakukan adalah sistem pendidikan sekuler yang menihilkan peran agama (Islam). Padahal Indonesia adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Tentu negeri ini terancam bahaya jika pendidikannya didasarkan pada sekularisme yang hanya memandang kemajuan dengan ukuran duniawi. Sudah semestinya negeri mayoritas Muslim ini menerapkan sistem pendidikan Islam yang mengutamakan pembentukan kepribadian islami peserta didik serta mewujudkan peradaban maju dan mulia.
Saat ideologi Islam diterapkan oleh negara (Khilafah Islam), tidak kurang dari 1300 tahun lamanya peradaban Islam menjadi peradaban unggul yang memayungi dunia yang diliputi dengan aneka kemajuan, termasuk di bidang pendidikan. Kemajuan pendidikan pada masa keemasan peradaban Islam bahkan telah terbukti menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lainnya. Hal tersebut, antara lain, diungkapkan oleh Tim Wallace-Murphy (WM) yang menerbitkan buku berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006).
Buku WM tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam (Khilafah Islam) ke Barat pada Abad Pertengahan. Disebutkan pula bahwa Barat telah berutang pada Islam dalam hal pendidikan dan sains. Utang tersebut tidak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun.
Jelas, keunggulan sistem pendidikan Islam adalah fakta sejarah. Ini karena di dalam Islam meraih ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan. Rasulullah saw. bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah).
Orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu di antara kalian beberapa derajat.” (TQS al-Mujadilah [58]: 11).
Dengan ilmu, seseorang dapat mempelajari manusia, alam semesta dan kehidupan. Dengan itu ia akan semakin dekat kepada Pencipta, Allah SWT. Ia pun dapat memanfaatkan ilmunya secara efektif untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia di berbagai bidang seperti pertanian, teknik, kedokteran, farmasi dan astronomi. Karena itulah pendidikan menjadi salah satu perhatian utama para penguasa Muslim (khalifah) sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.
Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah mencerdaskan akal dan membentuk jiwa islami. Dengan itu terbentuk sosok pribadi Muslim sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan. Rasulullah saw. pun mendidik kaum Muslim di Makkah dan Madinah dengan tujuan membentuk pribadi Muslim seutuhnya, yang tercermin dalam pola pikir islami dan pola sikap islami mereka.
Dalam sistem pendidikan Islam, pembentukan pola pikir peserta didik berkaitan dengan pemahamannya terhadap hukum-hukum syariah baik yang berkaitan dengan perbuatan (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) maupun benda (seperti makanan dan minuman). Adapun pembentukan pola sikap peserta didik berkaitan dengan perilakunya yang sesuai dengan syariah Islam pada semua aspek kehidupan peserta didik. Pola pikir islami mengindikasikan kecerdasan peserta didik, yakni kesadaran akan keterikatan kepada Allah (idrâk shilah bilLâh). Adapun pola sikap islami berkaitan dengan adab dan akhlak terpuji.
Keterikatan seorang pelajar dengan Allah SWT akan menumbuhkan keimanan dan ketakwaan. Dengan itu dia, misalnya, akan menyadari bahwa bunuh diri adalah perbuatan haram yang wajib ditinggalkan. Allah SWT telah menegaskan larangan bunuh diri melalui firman-Nya:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian melakukan tindakan bunuh diri. Sungguh Allah itu Maha Penyayang kepada kalian.” (TQS an-Nisa’ [4]: 29).
Dalam Hadis Nabi saw. juga disebutkan bahwa bunuh diri adalah perbuatan yang sangat dilarang. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ
“Siapa saja yang melakukan tindakan bunuh diri dengan suatu benda maka ia akan disiksa (di akhirat) dengan benda itu.” (HR Ahmad).
Karena itu dalam menghadapi kesulitan hidup, seorang pelajar yang memiliki kepribadian islami akan bersikap sabar, berdoa dan mencari solusi dengan cara yang baik; bukan dengan mengakhiri hidup sendiri.
Seorang pelajar yang memiliki kepribadian islami pun akan selalu memuliakan guru-gurunya. Bukan malah merendahkan bahkan menghinakan mereka. Apalagi sampai mengkriminalisasi mereka. Sebabnya, dalam Islam, ilmu menempati kedudukan amat mulia. Karena itu ilmu harus dimuliakan. Di antara cara terpenting memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan para pengajar (guru)-nya. Imam Ali ra. bahkan pernah berkata, “Aku berpendapat bahwa hak yang paling layak dan wajib ditunaikan oleh setiap Muslim ialah hak seorang guru.” (Az-Zarnuji, Ta’lîm al-Muta’allim, hlm. 16). Hak yang paling layak bagi seorang guru atas murid-muridnya tentu saja adalah penghormatan dan penghargaan.
Demikianlah. Peserta didik yang dilahirkan dari sistem pendidikan Islam akan memiliki pola pikir islami dan pola sikap islami.
Karena itu aqidah Islam harus menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang Muslim, asas bagi negaranya, asas bagi hubungan antar sesama Muslim, juga asas bagi aturan dan masyarakat umumnya. Aqidah Islam pun tentu harus menjadi asas bagi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat.
Hanya saja, sistem pendidikan yang berasaskan aqidah Islam tidak mungkin bisa diterapkan dalam negara sekuler. Ia hanya mungkin diterapkan di dalam negara yang juga berlandaskan aqidah Islam, yakni Khilafah Islam. Hanya Khilafah Islam yang menjadikan aqidah Islam sebagai asas negaranya. Hanya Khilafah Islam pula yang menjadikan aqidah Islam sebagai asas bagi sistem pendidikannya. Dengan asas aqidah Islam itulah disusun kurikulum pendidikan di sekolah dasar, menengah maupun di perguruan tinggi. Dengan itu pula akan lahir output pendidikan terbaik, yakni lahirnya generasi emas yang berakhlak mulia, yang selama ini dicita-citakan. Mereka adalah generasi yang berkepribadian islami, yang mampu mewujudkan peradaban agung dan mulia.
Alhasil, saatnya negeri ini menerapkan sistem pendidikan Islam, sekaligus meninggalkan sistem pendidikan sekuler.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
—*—
Hikmah:
Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
“Belajarlah kalian (Islam) secara mendalam (sejak dini) sebelum kalian dijadikan pemimpin (saat dewasa).” (HR Ibnu Abi Syaibah dan ad-Darimi).