STRATEGIC ASSESSMENT. Banyak kebijakan pemerintah yang salah akibat evaluasi atau analisa yang salah. Tapera melanggar konstitusi sehingga harus dibatalkan. Pemerintah saat ini sangat sering melanggar konstitusi, sehingga menjadi kebiasaan dan menjadi pemerintahan yang tirani dengan membentuk UU untuk kepentingan sendiri.
Demikian dikemukakan Anthony Budiawan dalam diskusi akhir pekan Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertema “Apakah Tapera berhubungan dengan kegagalan Pemerintah dalam mengatasi krisis perumahan?” secara zoom meeting (9/6/2024) seraya menambahkan, backlog adalah permasalahan supply bukan demand. Permasalahan struktural perumahan yaitu ekonomi masyarakat lemah dimana 60,5% penduduk Indonesia adalah miskin; Harga properti mahal dan Perbankan sangat lemah.
“Rasio kredit di Indonesia sangat rendah 33,3% padahal Vietnam mencapai 128%. Rasio kredit menunjukkan maju tidaknya ekonomi. Anggota BPJS akan overlapping dengan anggota Tapera, karena BPJS memberikan pinjaman uang muka perumahan, sehingga Tapera bukan Solusi,” ujar Anthony Budiawan yang juga Direktur Eksekutif Political Economy and Policy Studies.
Sementara itu, Amanah Abdulkadir, Ph.D mengatakan, Tapera diumumkan saat “injury time” sehingga menimbulkan banyak pertanyaan. Biaya iuran “hanya” 3%, karena di negara lain jauh lebih besar tapi disinergikan dengan iuran-iuran lainnya.
“Kalau angka 3% sangat sulit untuk ketersediaan dana mengatasi backlog perumahan di Indonesia. Rata-rata pensiunan ASN dapat Rp 4 juta dari BP Tapera, dan tidak mungkin dapat beli rumah,” ujar Amanah seraya menambahkan, uang di Bapertarum mencapai Rp 11 triliun lebih dialihkan ke BP Tapera.
“Ribut-ribut Tapera menunjukkan kita tidak memiliki visi yang future oriented untuk membangun perumahan yang affordable. Krisis perumahan global terjadi saat ini karena pengurangan lahan dan pekerja konstruksi, terus menaiknya harga material dan lahan, inflasi, menurunnya daya beli masyarakat serta gentrification,” tambahnya.
Menurut perempuan berprofesi dosen ini, dibandingkan dengan negara lain maka skema manfaat Tapera masih terbatas, Tabungan sekalipun menjadi 3% gaji masih jauh dari memungkinkan beli rumah, kenapa tidak tersinergikan dengan iuran pensiun dan dana social lainnya serta tidak memiliki wacana yang konkrit tentang perumahan di masa depan.
Sedangkan pembicara lainnya, Alvon Kurnia Palma mengatakan, hak atas rumah ada dalam nilai umum HAM dan konstitusi Indonesia. Kebutuhan 12,075 juta unit rumah saat ini yang sebenarnya merupakan obligasi negara yang bersifat derogable rights atau hak yang dapat ditunda sesuai kemampuan negara.
“Dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan, tanggung jawab negara dishifting menjadi tanggung jawab rakyat, disebutkan dalam Pasal 41. Trust building terhadap negara sedang dipertanyakan saat ini seperti kasus Jiwasraya dan Asabri, rakyat yang dirugikan termasuk jika BP Tapera dilikuidasi sewaktu-waktu, uang tabungan milik rakyat akan hilang,” ujar advokat ini.
Sedangkan, Erick Hidayat mengatakan, kekurangan 13 juta rumah atau backlog di tahun 2023, dan tidak dapat terselesaikan karena dana yang kurang, serta ada program pembangunan 3 juta rumah oleh Prabowo-Gibran sehingga dikeluarkan PP Tapera.
“Potongan gaji untuk Tapera menjadi sorotan tajam di media massa, dibandingkan manfaat Tapera. Dana iuran Tapera dinilai tidak fair karena dipungut secara wajib. Yang sudah memiliki rumah, iurannya untuk mensubsidi yang belum punya rumah, timbul pertanyaan tugas subsidi adalah tugas negara, serta ada banyak pengurangan dan distrust pengelolaan uang publik oleh negara. BP Tapera belum siap mengelola dana yang besar, serta saat ini kondisi ekonomi sedang sulit,” ujar Ketua Umum HIPPI ini seraya menambahkan sebagai pengusaha memberikan usukan yaitu potongan gaji karyawan dikaji ulang dan ada detailnya buat apa;Pungutan dilakukan sekali dan dikelola secara transparan; Mengoptimalkan dana-dana lain yang masih terparkir seperti dana Jamsostek. Tapera sosialisasinya salah dan berhubungan dengan kegagalan pemerintah menyediakan hunian yang layak.