STRATEGIC ASSESSMENT. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menyebut telah dua tahun menyiapkan konsep soal konsesi tambang yang akan mereka kelola. Sebuah perusahaan juga telah disiapkan untuk mengelola tambang tersebut.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan, perusahaan itu nantinya akan dipimpin oleh Bendahara Umum Gudfan Arif.
Gudfan merupakan putra dari seorang pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, KH Abdul Ghofur.
Gudfan selama ini dikenal aktif sebagai kader maupun pengurus Nahdlatul Ulama. Ia juga dikenal sebagai pengusaha di beberapa perusahaan.
Berdasarkan situs resmi NU, Gudfan beberapa kali menempati posisi sebagai bendahara. Pada periode 2012-2017 , ia menjabat Bendahara Pimpinan Pusat (PP) Pagar Nusa. Gudfan juga pernah menjabat sebagai Bendahara Rabithah Ma’ahid Islamiyah PWNU Jawa Timur pada periode 2013-2018.
Gudfan pada 31 Januari 2022 dikukuhkan sebagai bendahara PBNU. Kemudian pada Agustus 2022, ia didapuk menjadi Pelaksana tugas Bendahara Umum PBNU menggantikan Mardani H Maming yang menjadi tersangka kasus korupsi di Komisi Pemberantaan Korupsi atau KPK.
Gudfan diketahui memiliki beberapa usaha di bidang pertambangan batubara, minyak dan gas, petrokimia, serta di bidang informasi dan teknologi.
Adapun Yahya Cholil mengatakan Gudfan dipercaya bisa memberikan ruang yang memadai dalam bentuk jaringan bisnis usaha di pertambangan.
Menurut Ketua Umum PBNU itu pihaknya sampai saat ini belum mengetahui lokasi tambang yang akan mereka kelola.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Trisno Raharjo angkat bicara soal pemberian izin Presiden Jokowi ke organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola konsesi pertambangan.
Revisi PP Nomor 96 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024 itu juga berisi perubahan signifikan dalam proses pemberian izin tambang. Pemerintah menambahkan Pasal 83A yang mengatur WIUPK dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan, tanpa melalui proses lelang seperti yang diwajibkan dalam undang-undang sebelumnya.
Muhammadiyah menilai pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk ormas keagamaan tanpa proses melalui lelang melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Trisno Raharjo angkat bicara soal pemberian izin Presiden Jokowi ke organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola konsesi pertambangan.
Revisi PP Nomor 96 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024 itu juga berisi perubahan signifikan dalam proses pemberian izin tambang. Pemerintah menambahkan Pasal 83A yang mengatur WIUPK dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan, tanpa melalui proses lelang seperti yang diwajibkan dalam undang-undang sebelumnya.
Muhammadiyah menilai pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk ormas keagamaan tanpa proses melalui lelang melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Menurut beleid itu, IUP mineral logam dan batu bara seharusnya diberikan dengan cara lelang, tidak bisa diberikan atau ditetapkan secara langsung. Lelang itu dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha dalam hal manajemen, kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan, dan kemampuan finansial.
Sementara, dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023, Satuan Tugas dalam hal ini Menteri Investasi/Kepala BKPM disebut berhak menawarkan dan memberikan IUP kepada pelaku usaha, BUM Desa, BUMD, Badan usaha yang dimiliki oleh ormas, koperasi, badan usaha yang dimiliki oleh usaha kecil dan menengah. “Cara dengan pemberian (bagi-bagi) ini tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Trisno.
Trisno menilai, pemberian IUP tanpa lelang memungkinkan adanya unsur subjektivitas, potensi fraud, dan unsur transaksional atau motif lain di luar aspek teknis dan kemampuan dalam pengelolaan kegiatan usaha tambang.
Tak hanya itu, Trisno menyatakan pemberian IUP mineral logam dan batubara secara langsung tanpa melalui proses lelang merupakan penyalahgunaan kewenangan. Apabila timbul kerugian negara akibat izin itu, dia menilai itu termasuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Adalun Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB), lanjut Trisno, dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui permohonan kepada Menteri ESDM. Kewenangan itu, kata dia telah didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022.
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) memberikan apresiasi kepada Presiden soal organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang diizinkan memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Namun PGI mengatakan tak memiliki kemampuan untuk mengelola tambang.
“Apresiasi saya terhadap keputusan Presiden yang memberikan IUP kepada lembaga keagamaan, hendaknya tidak dipahami bahwa PGI sedang menyediakan diri untuk ikut dalam pengelolaan tambang,” ujarnya
Ketua Umum PGI Gomar Gultom mengatakan izin usaha tambang jangan membuat ormas agama kehilangan daya kritis.
Menurut Gomar, ormas keagamaan memiliki keterbatasan dalam mengelola tambang. Dia pun mengimbau agar lembaga keagamaan berfokus pada pembinaan umat.
Gomar menghormati ormas keagamaan yang akan mengelola tambang. Namun dia mengingatkan soal kehati-hatian.
Gomar menegaskan PGI belum memiliki sikap resmi soal IUP bagi ormas keagamaan. Namun PGI menegaskan dia tak memiliki kemampuan untuk mengelola tambang.
PGI saat ini aktif mendampingi korban-korban pembangunan, khususnya korban usaha tambang. Akan menjadi anomali jika akhirnya PGI ikut mengelola tambang.
“Selain itu, harus dipertimbangkan juga bahwa selama ini PGI aktif mendampingi korban-korban kebijakan pembangunan, termasuk korban usaha tambang. Ikut menjadi pelaku usaha tambang potensial akan menjadikan PGI berhadapan dengan dirinya sendiri kelak dan akan sangat rentan kehilangan legitimasi moral,” katanya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Din Syamsuddin meminta agar Muhammadiyah menolak tawaran izin tambang yang akan diberikan oleh pemerintah. Sebab, pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan itu, banyak mudaratnya daripada maslahat.
”Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil dan Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat dari pada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa, bukan bagian dari masalah,” kata Din dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Bukan hanya itu, Din juga menilai pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan itu juga berpotensi menjadi sumber korupsi. ”Wewenang pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan) sebagai sumber korupsi,” kata Din yang juga menjabat Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu Jakarta itu.
Din menjelaskan, dia husnuzon (berbaik sangka) pemberian konsesi tambang untuk Ormas Keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka.
Dia bercerita, sewaktu menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja sama Antar Agama dan Peradaban yang ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi, dia mempersyaratkan agar Presiden Joko Widodo menanggulangi ketakadilan ekonomi antara kelompok segelintiran yang menguasai aset nasional di atas 60 persen dan umat Islam yang terpuruk dalam bidang ekonomi.
Dia minta agar mau menaikkan derajat satu-dua pengusaha muslim menjadi setara dengan taipan. Menurutnya, itu perlu agar kesenjangan ekonomi yang berhimpit dengan agama dan etnik tidak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia.
Menurut dia, pemberian konsesi tambang kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu. Tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh kelompok segelintiran tadi.
Din memberi contoh, satu perusahaan seperti Sinarmas, menguasai lahan walau bukan semuanya batubara seluas sekitar 5 juta hektare. Bahkan dunia Minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber daya alam Indonesia sungguh dijarah secara serakah oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat.
Dia berpendapat pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah, potensial membawa jebakan.
Din menyebut, menurut pakar, Sistem Tata Kelola Tambang dengan menggunakan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020.
Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi tidak menjamin bahwa perolehan negara harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang. Bahkan, sistem IUP selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari bupati, gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP.
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menolak privilese mengelola tambang yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada ormas keagamaan.
Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migrant, dan Perantau serta Keutuhan Ciptaan KWI Marthen Jenarut mengatakan gereja Katolik selalu mendorong tata kelola pembangunan sesuai prinsip berkelanjutan.
Marthen mengatakan KWI berdiri pada 1927 sebagai lembaga keagamaan. Peran KWI hanya berkaitan dengan tugas-tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), martyria (semangat kenabian).
Dengan begitu, KWI akan tetap konsisten sebagai lembaga keagamaan yang melakukan pewartaan dan pelayanan. Mereka ingin mewujudkan tata kehidupan bersama yang bermartabat.
“KWI selalu memegang prinsip kehati-hatian agar segala tindakan dan keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan Gereja Katolik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, keadilan solidaritas, subsidiaritas, kesejahteraan umum/kebaikan bersama serta menjaga keutuhan ciptaan alam semesta,” ucap Marthen.
Marthen mengatakan Gereja Katolik tidak mengenal ormas-ormas keagamaan. KWI pun tidak membawahi ormas keagamaan Katolik mana pun.
Dia berkata memang ada ormas keagamaan yang dibentuk masyarakat atas nama Katolik. Dia berharap ormas-ormas itu tetap menjalankan ajaran Katolik.
“Gereja katolik sangat mengharapkan supaya ormas-ormas dengan nama Katolik untuk taat terhadap prinsip spiritualitas dan ajaran sosial Gereja Katolik dalam setiap tindakannya,” ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memperbolehkan ormas keagamaan mengelola tambang. Hal itu dituang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.
Peraturan itu memberi prioritas kepada ormas keagamaan untuk memiliki wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).