KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Senin lalu (22/4) dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024 seolah menjadi antiklimaks. Tentu bagi pihak yang masih menaruh harapan besar dan harapan terakhir adanya keadilan di negeri ini. MK ternyata menolak seluruh gugatan Pihak Capres-Cawapres 01 (Anies-Muhaimin) dan 03 (Ganjar-Mahfud MD) atas dugaan kecurangan TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif) dalam Pilpres 2024. Keputusan MK ini otomatis melegitimasi kemenangan Pihak Capres-Cawapres 02 (Prabowo-Gibran).
Keputusan MK ini seolah hanya mengulangi keputusan MK pada Pilpres 2019 yang “memenangkan” pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Makruf Amin saat itu. Padahal Pilpres 2019 pun dituding oleh sejumlah pihak sarat dengan berbagai kecurangan TSM.
Curang: Wajah Asli Demokrasi
Patut disadari, kecurangan TSM sesungguhnya tak hanya sering terjadi pada proses Pemilu/Pilpres. Kecurangan TSM justru melekat pada sistem politik demokrasi itu sendiri. Pertama: Demokrasi curang dari sisi asas. Sebagaimana diketahui, politik demokrasi ditegakkan di atas asas sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan masyarakat). Jelas, ini adalah bentuk kecurangan yang paling mendasar. Sebabnya, memisahkan agama dari kehidupan bermakna menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam mengatur kehidupan ini. Ini jelas curang. Pasalnya, demokrasi mengakui keberadaan Tuhan (agama), tetapi menolak otoritas Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan manusia.
Sekularisme ini jelas bertentangan dengan Islam. Dalam ajaran Islam, sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini, kehidupan manusia ini seluruhnya justru wajib diatur oleh aturan Sang Pencipta, Allah SWT, yakni syariah Islam. Dengan kata lain, kaum Muslim wajib melaksanakan dan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Baik dalam urusan ibadah, muamalah (politik, ekonomi, sosial, pendidikan) maupun ‘uqûbât (sanksi hukum/peradilan). Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Kedua: Curang dalam hal kedaulatan dan kekuasaan. Sebagaimana diketahui, sistem politik demokrasi ditopang oleh dua pilar: (1) kedaulatan (as-siyâdah, sovereignty, hak membuat hukum) di tangan rakyat; (2) kekuasaan (as-sulthân, power, pengaruh) juga di tangan rakyat.
Dalam tataran praktiknya, klaim tersebut dusta belaka. Kedaulatan dan kekuasaan dalam demokrasi nyatanya ada di tangan segelintir orang. Mereka adalah orang-orang yang duduk di DPR dan pemerintahan. Di belakang mereka adalah para oligark (segelintir cukong pemilik modal). Rakyat hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan melalui mekanisme Pemilu/Pilpres.
Selain itu prinsip kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan rakyat bertentangan dengan prinsip Islam yang menegaskan bahwa hanya Allah SWT sebagai Pembuat hukum. Bukan manusia. Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ
Sungguh hak membuat hukum hanya milik Allah (TQS al-An’am [6]: 57).
Karena itu siapapun yang menetapkan hukum/UU yang bukan berasal dari Allah SWT (tidak berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah) bisa terkategori kafir, fasik atau zalim (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Selain itu, dalam Islam, kekuasaan yang dimiliki penguasa juga untuk menerapkan aturan Allah SWT, bukan aturan manusia.
Ketiga: Curang dalam hal keberpihakan. Dalam hal keberpihakan, demokrasi mengklaim berpihak pada kepentingan rakyat. Faktanya, demokrasi sering berpihak pada kepentingan segelintir cukong/pemilik modal. Ini makin terbukti dari berbagai UU, aturan dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah dan DPR selama ini. Misalnya saja UU Cipta Kerja Omnibus Law, UU Minerba, UU Kesehatan, UU IKN, kebijakan kenaikan harga BBM dan rencana penghapusan Pertalite, dll. Semuanya berpihak pada kepentingan para pemilik modal (oligark), bukan pada kepentingan rakyat kebanyakan.
Keadilan Hanya pada Islam
Islam jelas merupakan agama dan sistem kehidupan yang adil. Sebabnya, Islam berasal dari Tuhan yang Mahaadil, Allah SWT. Islam pun pasti berpihak pada semua manusia. Tanpa memandang agamanya, jenis kelaminnya, warna kulit dan suku/bangsanya, dll. Ini karena Allah SWT mengutus Rasulullah saw.—dengan membawa syariah Islam—sebagai rahmatan lil ‘alamin. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Karena itu saat hukum Islam diterapkan, ia akan berpihak kepada semua orang. Contohnya saja hukum potong tangan bagi pencuri. Rasulullah saw. jelas menolak dengan tegas pemberlakuan hukum ini secara tebang pilih. Beliau bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Sungguh kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka itu, jika seseorang dari kalangan terhormat di tengah-tengah mereka mencuri, mereka biarkan. Namun, jika yang mencuri di tengah-tengah mereka itu orang lemah, mereka memberlakukan hukuman tegas (had) atas orang lemah tersebut. Demi Allah, sungguh andai saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya! (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, jika diterapkan, seluruh aturan Islam akan menghilangkan segala bentuk ketidakadilan, juga menghapus segala bentuk kecurangan. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama: Dari segi asas. Asas kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam ranah politik, adalah akidah Islam. Akidah Islam akan melahirkan sikap takwa yang tercermin dari ketaatan pada seluruh aturan Allah SWT. Dengan itu seorang pemimpin, misalnya, akan sadar bahwa konsekuensi dari kekuasaan yang dimiliki dan kebijakan yang dibuat, bukan hanya sekadar berdampak di dunia, tetapi juga berimplikasi pada nasibnya di akhirat. Jika amanah, dia akan mulia di sisi Allah. Jika khianat, dia akan menjadi hina dan menyesal di akhirat.
Kedua: Dari segi pilar politik. Dalam politik Islam ada dua pilar penting: (1) kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan Allah SWT (syariah); (2) kekuasaan di tangan umat.
Kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdah li syar’i) menjadi pilar yang akan membuat pemimpin tidak dipilih dengan “cek kosong” (semau dia atau sesuai yang mengendalikan dia [oligark]). Seorang pemimpin dalam Islam diangkat dan dibaiat untuk menjalankan al-Quran dan as-Sunnah. Dengan begitu semua perilaku politiknya, atas dorongan keimanannya, dibatasi oleh syariah Islam. Ini akan menutup celah “cawe-cawe” dari para oligark.
Adapun kekuasaan di tangan umat (as-sulthân li al-ummah) akan menjadikan mereka sebagai penentu siapa yang layak menjadi memimpin. Tentu yang telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya pemimpin harus memiliki sifat adil. Bukan orang fasik. Keadilan pemimpin tampak pada keterikatan dirinya dengan syariah Islam serta komitmennya untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Umat akan mengawasi jalannya kekuasaan pemimpin mereka melalui mekanisme koreksi dan kontrol (muhâsabah dan amar makruf nahi munkar).
Ketiga: Dari segi mekanisme koreksi terhadap penguasa yang berlapis. Proses ini dilakukan baik secara individual, kelompok (partai politik Islam), kelembagaan atau institusi (Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim). Secara individual, Rasulullah saw. bahkan memberikan penghargaan yang tinggi pada aktivitas menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang menyimpang (zalim). Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَاِئرٍ
Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang menyimpang (zalim) (HR ath-Thabarani dan al-Baihaqi).
Secara kelompok, Allah SWT telah memerintahkan adanya partai politik Islam yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Allah SWT berfirman:
وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
Hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Di antara aktivitas amar makruf nahi mungkar yang paling penting tentu yang ditujukan kepada penguasa. Sebabnya, kemungkaran penguasa, jika tidak dicegah, akan berdampak buruk bagi jutaan rakyatnya.
Adapun secara kelembagaan, adanya Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim akan menjadi pintu melakukan koreksi dan juga pengadilan jika terjadi kezaliman penguasa atas rakyat.
Fokus pada Perjuangan Umat
Jelas, demokrasi tidak mungkin berpihak pada Islam dan umatnya. Karena itu tidak layak umat Islam sebagai khayru ummah terus berharap pada demokrasi. Sudah saatnya umat Islam mencampakkan demokrasi. Mulai sekarang, mereka harus fokus pada perjuangan untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Caranya tentu dengan meneladani Rasulullah saw. dalam menegakkan Islam. Pertama: Dengan membangun partai politik Islam dan intens melakukan kaderisasi dakwah. Kedua: Dengan terus membentuk opini umum tentang Islam dan melakukan penyadaran politik Islam di tengah-tengah umat. Ketiga: Dengan meraih kekuasaan melalui jalan umat (‘an tharîq al-ummah) yang didukung oleh ahlul-quwwah (pemilik kekuatan) untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Tentu dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah).
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. []
—*—
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
وَإِنَّ مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي أَئِمَّةً مُضِلِّينَ
Sungguh di antara perkara yang aku khawatirkan menimpa umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.(HR Ibnu Majah). []