STRATEGIC ASSESSMENT. Dugaan pelanggaran administrasi Pemilu sebanyak 47%, dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu 15%, dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu 7% dan dugaan pelanggaran hukum lainnya 31%. Pelaku pelanggaran antara lain Tim Paslon 3%, anonim 2%, aparat negara 1%, caleg 10%, kepala daerah 2%, KPPS 33%, KPU 2%, KPUD 2%, PPK 15% dan Sirekap 41%.
Demikian disampaikan Rusdi Marpaung dalam Konferensi Pers: Kolaborasi Pemantau Pemilu 2024 ke-2 Temuan Dugaan Kecurangan Sementara di Ruang Pertemuan Jaga Pemilu, Gd. Permata Kuningan, Lt. 9, Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C, Jakarta (24/2/2024) seraya menambahkan, pihaknya sudah melaporkan kecurangan Pemilu 2024 ke Bawaslu sebanyak 207 laporan. Selama ini ada kerjasama antara Bawaslu dengan LSM Jaga Pemilu, dan LSM Jaga Pemilu sudah terakreditasi, sehingga laporan Jaga Pemilu sudah sesuai dengan variable dan kolom informasi yang disusun Bawaslu untuk melaporkan adanya kecurangan Pemilu.
“Tugas pemantauan belum selesai akan terus dilaksanakan sampai 20 Maret 2024,” kata aktifis senior dari Perkumpulan jagapemilu.com ini.
Sementara itu, Ismail Fahmi mengatakan, dugaan kecurangan sebelum pencoblosan antara lain pertama, kecurangan sistematis dan intervensi politik seperti Pilpres 2024 dicirikan oleh dugaan kecurangan yang TSM termasuk intervensi langsung dari Presiden untuk mendukung pasangan tertentu; Kecurangan mencakup penyalahgunaan Bansos untuk tujuan politik, peningkatan anggaran Bansos dan gaji ASN dalam tahun Pemilu serta politik uang yang melibatkan penggunaan dana negara.
“Kedua, pelanggaran etika dan penyalahgunaan wewenang seperti pelanggaran etika berat di Mahkamah Konstitusi (MK), ketidaknetralan penyelenggara negara, dan perilaku tidak etis oleh ketua dan anggota KPU menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan kegagalan dalam menjaga integritas proses pemilu,” ujar Founder Drone Emprit ini.
Sedangkan dugaan kecurangan pada saat dan pasca pencoblosan, ungkapnya, antara lain dugaan adanya kecurangan dalam Sirekap KPU yang bertujuan untuk memenangkan Paslon tertentu, dugaan tercoblosnya surat suara untuk Paslon tertentu dan dugaan manipulasi data dalam Sirekap KPU yang menguntungkan Paslon tertentu.
Sementara itu, Trisna Dwi Yuni Aresta dari Migrant CARE mengatakan, Pemilu nampaknya memang sejak lama meninggalkan pekerja migran, namun pelaksanaan tahun ini paling buruk dalam sejarah reformasi. Bukan hanya sengaja ditinggalkan, namun suaranya kerapkali dimanipulasi dan digunakan sebagai transaksi dalam politik.
“Di tahapan pelaksanaan diwarnai ketiadaan sistem informasi yang memadai di TPS, masifnya implikasi kesalahan data, implikasi perubahan metode memilih dan resistensi pada pemantau. Di Hongkong ditandai dengan kesalahan pada pendataan pemilih yang berimplikasi pada hilangnya suara pekerja migran dan implikasi manajemen metode pos yang buruk. Jumlah pemilih di Hongkong hanya 41,1% dari total DPTLN atau 67.693 pemilih saja yang menggunakan haknya,” ujarnya.
Yanuar Nugroho yang juga Dosen STF Driyakara mengatakan, kecurangan Pemilu tetap harus dipermasalahkan oleh elemen masyarakat sipil serta jangan dibiarkan dan jangan dianggap normal, apalagi Pilkada akan dilaksanakan pada September 2024, sehingga jika kecurangan saat ini tidak dipermasalahkan, maka kecurangan pasti akan terjadi saat Pilkada.
Kemudian Okky Madasari dari Omong-omong media mengatakan, jika Parpol gagal melaksanakan hak angket, maka unjuk rasa, diskusi, pembuatan opini di media massa adalah langkah konstitusional yang dapat dilakukan elemen sipil.
Sementara, Feri Amsari dari Kecuranganpemilu.com menurut temuan kami yang melakukan penelusuran kecurangan Pemilu secara manual menemukan praktik penggelembungan suara di TPS terjadi di 16 provinsi dan 83 kabupaten/kota, dan hal ini juga membuktikan Sirekap patut dipertanyakan karena sebagai sebuah sistem seharusnya otomatis akan menolak penghitungan jika suara sudah lebih 300 suara di TPS.
“Kemenangan Paslon 02 satu putaran dengan suara mencapai 58% sudah disetting, karena akan menyulitkan mereka yang menggugat hasil Pemilu 2024 saat disidang ke MK untuk membuktikan terjadi kecurangan atau sedikitnya membutuhkan 16 juta suara yang terbukti dicurangi,” ujar akademisi ini.